6.13.2009

refleksi to pembibming rohani

MERAJUT HIDUP DALAM PANGGGILAN
(Refleksi panggilan)

Keluarga
Saya lahir pada tanggal 24 Agustus 1982 di suatu desa yang terpencil. Fabianus Selatang (fano), itulah nama yang diberikan oleh Bapa-mama. Saya anak ke-6 dari 7 besaudara (2 putri dan 5 laki-laki). Saya berasal dari keluarga yang sederhana. Bapa-mama saya keduanya bertani. Saya tidak merasa menyesal karena lahir dalam sebuah keluarga petani. Sebaliknya, saya merasa bangga dan bahagia dengan keluarga saya. Dari keluarga sederhana inilah justru Tuhan memilih dan memanggil saya untuk menjadi alat di tangan-Nya. Bahagia dan bangga oleh karena mereka dengan setia, tanggung jawab dan penuh kebijaksaan melahirkan, membesarkan, mendidik, membimbing dan membiayai hidup saya sejak dalam kandungan hingga sekarang.
Melukiskan kembali benang-benang kehidupan dan keluarga saya, saya merasa berat. Berat bukan karena saya tidak mampu membahasakan dalam bentuk tulisan, melainkan pengalaman masa lalu saya menorehkan luka menadalam dalam diri saya. Membangkitkan kembali berarti sama dengan membuka kembali luka yang ada dan membiarkan nanahnya mengalir kambali. Akan tetapi, apakah saya harus berkubang terus dalam pengalaman itu? Tidak...tidak saya katakan. Saya harus membuka tabir pengalaman ini. Meskipun terasa sulit, tetapi saya harus mensharingkan. Mama saya meninggal ketika saya berumur delapan tahun. Kepergian mama sungguh merupakan suatu pukulan bagi saya sendiri karena saya sangat dekat dengan mama. Saya merasa kehilangan, kesedihan yang mendalam dan seakan tak mempunyai peganagan serta harapan dengan kepergiannya. Kendatipun bapa masih ada juga kakak, tetapi mereka tak mampu mengembalikan dan memulihkan luka batin karena pengalaman kehilangan mama. Selang beberapa tahun kemudian kakak puteri no satu juga dipanggil Tuhan. Kesedihan tak dapat dilukiskan lagi dengan kata-kata. Pada saat itulah secara tidak lansung kondisi dan keadaan saya didewasakan yang walaupun masih dibilang usia anak-anak. Saya dan adik bungsung terpaksa harus menggurus sendiri segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga kami. Oleh karena kakak saya ada yang masih SMP dan mencari pekerjaan di tempat lain maka, saya dan adiklah yang mengurus dalam rumah. Kebebasan sudak tidak lagi seperti teman-teman yang sebaya dengan saya karena begitu banyak tugas dan pekerjaan yang harus saya kerjakan. Ketika bapa menikah lagi, tanggung jawab saya dalam kelurga sedikit ringan. Saya mulai lega dan merasa leluasa dalam bertindak, bermain dan hidup dalam dunia saya yang masih anak-anak. Tidak terasa waktu berlalu. Saya telah lalui masa pendidikan di bangku SD. Oleh karena orang tua tidak mampu melanjutkan pendidikan saya ke SLTP terpaksa saya harus istirahat di kampung sambil bekerja. Dua tahun saya telah merasakan pahit manis, senang susah, baik buruk hidup sebagai petani. Bagi saya waktu dua tahun ini cukup lama. Saya berpikir orang tua saya tidak memikirkan lagi masa depan saya. Teman-teman seangkatan dengan saya sudah sedikit melangkah jauh dari saya. Saya merasa ditinggalkan dari teman-teman. Apa yang terjadi justru sebaliknya. Dari kekurangan orang tua masih mempunyai hati untuk memikirkan masa depan saya. Orang tua memberikan kesempatan kepada saya untuk mengenyam pendidikan di SLTP. Saya merasa bangga dan senang. Saya tidak lagi memikirkan lagi pengalaman yang saya alami selama dua tahun di kampung. Saya tidak merasa kecil hati, untuk mau mengatakan sebuah pengalaman ketertinggalan. Justru dalam situasi ini saya semakin dipacu untuk secara sungguh memanfaatkan kesempatan yang ada dengan belajar. Dalam proses belajar selanjutnya pun, toh segala harapan dan impian orang tua dan saya sendiri tidak sia-sia.

Benih panggilan muncul,
Cita-cita untuk masuk Seminari sudah ada ketika saya istirahat di kampung selama dua tahun. Pada saat itu, saya merasa tertarik dengan sosok seorang Seminaris yang sekampung dengan saya. Dari kepribadiaannya, tutur kata, sikap, perbuatan sungguh menggugah hati saya untuk mencoba melamar ke Seminari. Keinginan ini hanya dipendamkan dalam hati. Ketika saya memasuki kelas III SLTP keinginan dan kerinduan yang terpendam dalam palungan hati saya mencuat kepermukaan. Keinginan dan kerinduan itu semakin kuat mendorong saya untuk diwujudkannya. Saatnya pun telah tiba. Seminari Labuan Bajo membuka pendaftaran bagi calom Seminaris. Dengan bermodalkan keyakinan dan rasa percaya diri yang kuat, saya memberanikan diri untuk mengikuti testing masuk. Hasil test pun saya dinyatakan lulus.
Keberhasilan ini merupakan wujud panggilan pertama Tuhan atas diri saya. Di sinilah saya merasa bahwa Tuhan selalu dan bersama. Di antara sekian banyak teman yang mengikuti tes hanya beberapa yang diterima. Adalah suatu kebanggga bagi saya ketika mendapat kabar gembira ini. Hati berbunga-bunga meluapkan rasa senang, bahagia dan gembira. Akan tetapi, satu pertanyaan besar yang menggerogoti saya saat itu adalah apakah orang tua mampu membiayai sekolah saya. Jangan sampai saya mengalami lagi pengalaman sebagaimana yang telah saya alami setelah tamat SD. Harapan dan kenyataan masih terbentang di hadapan saya. Antara melanjutkan dan istirahat juga masih sebuah teka-teki bagi saya. Manakala orang tua mengetahui bahwa saya lulus ujian tes masuk Seminari, mereka serempak gembira. Mereka senang dengan pilihan hidup yang saya pilih. Singal-singal untuk melanjutkan pendidikan ke SMU ( Seminari gabungan Labuan Bajo) sudah tampak. Akhirnya dengan penuh tanggung jawab mereka pun bersedia membiayai sekolah saya. Namun saya merasa beban karena adik saya terpaksa harus istirahat tidak melanjutkan sekolah, hanya karena saya masuk Seminari. Orang tua tidak mampu lagi untuk membiayai. Inilah rahmat yang terbesar bagi saya, yang mana orang tua sungguh memperhatikan nasib saya yang tentu perhatiaan untuk adik dan kakak tidak sebesar yang tunjukan kepada saya. Awal sebuag perjalanan bagi saya di mana saya harus meningglakan orang tua dan kenalan serta sahabat.

Masa pencarian
Pada awal mula ketika saya menginjakan kaki di Seminari Menengah sejuta perasaan sedih menggerogoti saya. Rasanya berat untuk meniggalkan keluarga. Akan tetapi saya berusaha untuk menepis segala perasaan itu. Satu hal yang sungguh mengutkan saya yakni saya menyadari bahwa saya utusan dari keluarga. Masa depan keluarga dan sungguh kesempatan yang sangat istimewa bagi saya. Hari-hari pun berlalu. Rasanya tiga tahun terlalu cepat bagi saya.
Benih panggilan yang telah tumbuh dalam hati saya, kembali saya olah dengan membuka mata untuk melihat ke masa depan ke mana saya harus melangkah dan apa yang harus saya lakukan. Bagi saya saaat itu masih terbilang samar-samar. Tidak ada titik terang sedikitpun. Membayangkan untuk melanjutkan studi sama sekali tidak. Betapa warna kehidupan saya datar dan biasa-biasa saja. Singkat kata, segalanya tak pasti bagi saya. Hari-hari hidup dilalui begitu saja. Berbarengan dengan itu, rasa pesimistis pun sangat kuat dalam diri saya. Saya menyadari keterbatasan, kekurangan dan kelebihan yang ada dalam diri saya. Pada poin ini saya lebih mengggarisbawahi sisi negatif dalam diri saya. Saya menyadari keterbatasan dan kekurangan sebagai sesuatu yang tidak menunjang dan memberikan harapan akan masa depan. Akan tetapi, di atas segala kekurangan dan keterbatasan itu, saya letakan rasa percaya diri yang dalam bahwa siapa lagi kalau bukan saya dan kapan lagi kalau bukan sekarang. Inilah prinsip hidup yang saya bangun yang mampu memberikan dorongan bagi diri saya sendiri. Dengan berkaca akan pengalaman masa lalu, justru membangkitkan harapan dan niat yang kuat dalam diri saya. Selain itu, memotivasikan saya agar memperoleh sesuatu yang jauh lebih baik dari apa yang telah saya alami sebelumnya. Sebersit harapan sungguh merekah dalam angan-angan saya. Saya pun bangun agar tidak merasa ketinggalan dari teman-teman saya.

Pemurnian panggilan,
Ketika saya duduk di bangku kelas III SMU, saya pun sadar bahwa saya adalah seorang yang dipanggil oleh Tuhan. Seorang yang dipanggil untuk menjadi alat di tangan Tuhan, menjadi pewarta sabda-Nya. Pada titik ini saya mulai membangun kesadaran akan masa depan. Saya mau menyingkapi panggilan ini dengan serius. Di sinilah jalan pemurnian panggilan saya tempuh. Saya tidak mau lagi terkungkung dalam idealisme yang konyol akan masa depan. Masa depan bukan hanya bayangan saja. Masa depan adalah diri saya sendiri. Masa depan tidak lain adalah usahan dan perjuangan saat ini. Dengan bersandar pada keyakinan yang kuat akan kebesaran Tuhan, saya pun melangkah dengan pasti dan penuh keyakinan.
Hari-hari menjelang berkahirnya pendidikan di bangku SMU, adalah saat atau kesempatan bagi saya untuk melihat ke mana arah atau jalan yang harus saya tempuh. Pada saat itu, belum ada kesempatan untuk memilih ordo atau tarekat. Akan tetapi, satu kaayakinan dalam diri saya bahwa Tuhan pasti menunjukan kepada saya jalan yang terbaik bagi masa depan saya.
Melihat kembali benih awal panggilan yang tumbuh dalam diri saya, rasanya lucu dan mungkin terkesan hanya sepele. Meskipun demikian, saya sadari hal itu sebagai jembatan dan gerbang bagi saya dalam memulai panggilan. Rasa tertarik untuk menekuni panggilan ini, tidak lagi hanya karena apa yang tampak pada indera atau hal-hal yang bersifat luaran, tetapi saya sungguh menyadri akan karya Tuhan dalam seluruh pergulatan hidup saya. Hal itu, menjadai lebih konkter lewat bimbingan dan arahan dari para formator di Seminari Menengah yang dengan setia dan penuh kasih sayang membawa saya pada sebuah kesadaran yang penuh akan panggilan. Selain itu, cara hidup dan seluruh kepribadian para formator juga adalah hal yang sungguh membuat saya semakin kuat untuk menjalani panggilan. Saya menyadari kehadiran Tuhan sungguh nyata lewat para Formator. Dengan caranya masing-masing secara tidak lansung Tuhan ingin manyapa dan mangajak saya untukmengikuti Dia. Tidak kalah penting juga, kebersamaan dengan teman sungguh memberiakan warna tersendiri bagi hidup dan perjuangan saya. Dikala sakit atau mengalami kegagalan dalan studi temanlah yang pertama tempat untuk mensharingkannya. Ada peneguhan, dorongan dan nasehat di sana. Inilah nilai-nilai positif yang sangat mambantu saya dalam menjawabi panggilan Tuhan.

Sebuah pilihan
Saya menjatuhkan pilihan untuk menjadi seorang imam, ketika saya duduk di bangku kelas IV seminari. Pada jenjang pendidikan ini saya dihadapkan pada sebuah pilihan hidup. Pilihan yang bagi saya cukup berat, karena saya hanya mengetahui sedikit seluk beluk perjalanan panggilan ini. Selain itu, saya menyadari bahwa pilihan ini mengandaikan adanya rasa tanggung jawab dan menuntut banyak hal dari diri saya. Akan tetapi, segala persoalan ini saya letakan dalam tangan Tuhan. Akhirnya saya berani mengambil keputusan memilih menjadi seorang calon biarawan. Dengan bebas dan tanpa paksaan saya memilih SMM. Meskipun pengetahuan saya tentang SMM minim, tetapi pilihan saya ini bukan karena kebetulan. Pilihan ini lahir dari kesadaran dan hati nurani. Karena pilihan ini lahir dari kekebebas saya, maka saya pun siap untuk menerima segala konsekuensi, segala kemungkinan yang terjadi selama perjalanan.
Saya merasa bahwa tangan Tuhan masih menuntun saya dan membawa saya lewat Serikat Maria Montfortan ke tempat yang sekarang ini (Malang). Pada tempat yang baru ini dan dengan suasana yang baru pula, saya merasa panggilan ini semakin teruji di tengah perkembangan zaman. Di sini saya dituntut untuk semakin setia pada komitmen yang telah saya ikrarkan lewat kaul-kaul kebiaraan. Akhirnya dengan penuh keyakinan saya meletakan segala harapan pada Dia yang memanggilku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar