12.06.2010

Islamologi

AGAMA ADALAH CINTA, CINTA ADALAH AGAMA
(Sebuah alternatife dalam membangun dialog antar Katolik dan Islam)
By Fabianus Selatang

1. Pengantar
Opium untuk membangun dialog antar agama bukanlah wacana baru dalam perjalanan sejarah manusia dan agama. Dialog antar umat beragama sudah sejak lama didengung-dengungkan oleh manusia. Dialog ini adalah sebuah alternatife dalam membangun suatu pemahaman yang komprehensif mengenai agama lain dan bukan bermaksud untuk mencari kelemahan agama lain. Namun, upaya ini seakan dibantah oleh fakta di mana kekerasan dan penindasan atau intimidasi antara sesama masih saja menggeroti manusia.
Berbicara mengenai agama tidak terlepas dari manusia sebab hanya manusialah yang memeluk agama. Ketika kita berbicara mengenai manusia, maka mau tidak mau kita juga berusaha untuk menggeledah pemahaman manusia mengenai agama. Manusia yang bagaimana? Manusia yang mempunyai kesadaran akan dirinya dalam berelasi dengan sesamanya dan akan Allah yang disembahnya.
Konsep Agama adalah Cinta, Cinta adalah Agama merupakan sebuah usaha untuk membangun kesadaran dalam diri setiap penganut agama. Ungkapan di atas hendak menghantar manusia pada pemahaman dan pengertian yang mendalam tentang agama, bahwa agama bukanlah kumpulan orang-orang, bukan pula kumpulan ajaran-ajaran. Sebab jikalau agama dipahami sebatas itu, maka tak mengherankan tindakan kekerasan selalu mengatasnamai agama dan ajaran-ajaran agamanya menjadi tolok ukur kebenaran. Kekerasan dan tindakan sejenisnya kerapkali bersembunyi dibalik konsep-konsep agama yang dibangunnya. Jadi, segala sesuatu yang tidak masuk dalam bingkai konsep-konsep yang dibangunya, maka itu dinilai bertentangan dengan agama. Judul yang diusung oleh penulis dalam paper ini adalah “Agama adalah Cinta, Cinta adalah Agama” hendak membongkar peradaban pemikiran manusia yang dangkal tentang agamanya. Di bawah ini akan diuraikan secara mendalam mengenai hal ini.


II. Indetifikasi masalah
Agar uraian kita tidak melebar jauh dari judul ini, maka kita patut mengajukan beberapa pertanyaan antara lain; apakah yang dimaksud dengan agama adalah cinta, cinta adalah agama dalam pandangan Katolik dan Islam? Apakah esensi dasar dari cinta dan agama? Apakah yang sebenarnya aku cintai ketika aku mencintai Tuhanku?

III. Agama adalah Cinta
Pertanyaan diawal uraian ini, apakah yang dimaksud dengan Agama? Untuk menjawab dan memahami pertanyaan ini, saya meminjam konsep David Caputo tentang agama. Agama yang ia maksudkan adalah cinta kasih Tuhan, sesuatu yang sederhana, terbuka. Dengan kata lain, agama adalah wilayah di mana cinta mendapat wujudnya secara konkret, nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun, agama juga adalah medan penuh paradoks yang harus disadari oleh setiap pemeluknya demi menghindari kesalahpahaman. Oleh Karena itu, agama bukanlah satu-satunya kebenaran. Agama hanyalah salah satu penawar alternatife kebenaran dan bukan penjamin kebenaran yang sifatnya mutlak. Penulis mencoba menguraikannya satu persatu.

3.1. Agama adalah Medan Perwujudan Cinta
Agama apapun pasti medan perwujudan cinta. Tidak ada satu pun agama yang menampilkan hal-hal yang buruk. Agama tentu saja membawa nilai-nilai luhur, kebaikan bagi orang lain. Karena agama adalah medan perwujudan cinta, maka tidak ada tempat dan ruang dimana kejahatan dan tindakan yang bertentangan dengan itu yang dipraktikan dalam agama. Bagaimana dengan kenyataan yang terjadi, di mana agama secara tidak langsung memproduksi penganutnya untuk melakukan kejahatan dan kekerasan terhadap agama lain, lantaran atas nama agama? Dalam hal ini penulis berusaha mencari kesamaan pemahaman konsep agama dalam Katolik dan Islam.
Penulis mengakui bahwa baik agama Islam maupun Katolik, mengakui bahwa agama sebagai wadah cinta kasih Tuhan kepada manusia dan wadah di mana manusia mewujudkan Cintanya kepada Tuhan. Agama sebagai wadah Cinta kasih Tuhan. Artinya adanya agama karena kemurahan Tuhan, tetapi tidak disempitkan bahwa agama diciptakan oleh Tuhan. Agama ada karena Tuhan ingin dekat dengan manusia dan mau menyapa manusia. Allah ingin merasakan seperti yang dirasakan dan dialami oleh manusia. Lebih dari itu, melalui agama Tuhan hendak menyatakan kebesaran, kebaikan, kemurahan-Nya dan sebagainya.
Agama sebagai wadah dalam mewujudkan cinta Tuhan, dalam artinya agama sebagai tanggapan manusia terhadap panggilan Tuhan. Melalui agama manusia ingin menanggapi cinta Tuhan. Jadi, agama berarti cinta kasih Tuhan, baik dalam arti cinta kasih Tuhan kepada manusia maupun cinta kasih manusia terhadap Tuhan. Dalam pandangan Islam Cinta merupakan konsep yang paling penting dan agung. Kecintaan atau cinta merupakan azas keimanan seseorang. Nabi SAW dalam suatu hadist yang sangat terkenal bertanya kepada para sahabat tentang apakah iman yang sejati. Sahabat tidak mampu menjawab pertanyaan itu, lalu Rasulullah SAW bersabda: "Iman yang sempurna adalah mencintai semata-mata karena Allah, membenci semata-mata karena Allah, menjadi kekasih Allah sebagai kekasihNya, dan membenci sesuatu yang dibenci-Nya." Ungkapan ini, hendak melukiskan kedua hal di atas yakni jawaban manusia atas sapaan Allah yang nyata dalam Agama dan agar manusia bertumbuh dalam kasih dan cinta kepada Tuhan yang telah hadir secara nyata mewahyukan diri-Nya kepada manusia dalam agama.
Seorang teolog Katolik yakni Edward Schillebeekcx mengatakan bahwa agama itu pada dasarnya ialah sebuah pertemuan antara Allah dan manusia. Dalam pandangan Katolik, pertemuan antara Allah dan manusia mencapai kepenuhannya dalam diri Yesus Kristus. Perwahyuan diri Allah yang tampak dalam pribadi Yesus Kristus merupakan gambaran bahwa Allah ingin menyatu dengan manusia dan mau hidup bersama dengan manusia. Inilah ungkapan cinta yang paling dalam dari Allah kepada manusia. Ia memberikan putra tunggal-Nya, menderita, sengsara dan mati di Salib demi menebus dosa umat manusia. Nah, di sinilah titik temu konsep mengenai agama antara Katolik dan Islam. Jikalau konsep ini telah mengendap dalam diri para penganutnya, maka tidak sampai melakukan hal-hal di luar apa yang dinamakan agama adalah cinta.

3.2. Agama adalah Medan Penuh Paradoks
Semua orang mengakui bahwa nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam setiap agama adalah nilai-nilai kebenaran yang menghantar setiap para penganutnya untuk menjadikan nilai kebenaran itu sebagai batu pijakan hidup. Namun, sadar atau tidak nilai-nilai kebenaran itu terimplisit suatu yang hal yang sifatnya paradoks. Dengan kata lain, ketika manusia masuk dan memeluk satu agama, maka manusia masuk dalam wilayah ketidakmungkinan yang mungkin. Misalnya, ketika manusia berbicara tentang iman, sesungguhnya manusia sekaligus berada dalam suatu wilayah yang bertolak belakang. Wilayah yang bertolak belakang yang dimaksud ialah satu sisi manusia mengatahui, tetapi disisi lain manusia tidak mengetahui perihal objek yang diimaninya, perihal sikap dan perilakunya sebagai orang yang beriman. Oleh karena itu, cinta menempati tempat dan ruang terdalam dari diri manusia, karena cinta manusia didorong dan dipacu untuk menanamkan sikap-sikap dan kabajikan manusiawi seperti kesabaran, kerendahan hati dan sebagainya. Dengan menyadari hal ini, setiap para penganut agama disadarkan untuk tidak mengklaim nilai kebenaran agamannya sebagai kebenaran yang sifatnya mutlak dan absolut dan memandang di luar agamannya tidak ada kebenaran.

3.3. Agama adalah Medan Alternatife Kebenaran
Agama adalah medan alternatife kebenaran. Artinya agama bukanlah satu-satunya tolok ukur kebenaran sebagaimana yang yang dijelaskan di atas. Agama hanyalah salah satu komponen dari sekian komponen kebenaran. Agama tidak mutlak dalam dirinya sendiri. Agama hanya medan alternatife kebenaran dan bukan medan di mana kebenaran mendapat nilai kemutlakan. Agama mesti membuka ruang bagi kemungkinan lain.
Dalam setiap agama memang ada kebenaran, tetapi kebenaran dalam setiap agama tidak dimengerti secara sempit. Kebenaran dalam agama dipahami dalam pengertian kebenaran tanpa pengetahuan. Artinya, kebenaran tanpa pengetahuan mutlak dan tanpa klaim. Jikalau pengetahuan itu disertai dengan klaim, maka secara tidak langsung di sana pengetahuan itu membentuk dan memproduksi manusia untuk masuk dalam wilayah kesombongan. Jikalau setiap orang menganggap dirinya memiliki pengetahuan, maka sesungguhnya ia belum mencapai pengetahuan sebagaimana yang dicapainya. Pengetahuan yang dipahami disini berada pada wilayah di mana manusia mengakui apa yang sesungguhnya ia tidak tahu. Dalam kaitan dengan iman, iman adalah instrument yang memungkinkan manusia dapat melihat dan mengakui sesuatu yang melampaui pengertian dan pencarian akal budi. Iman hanyalah salah satu alternatife dari sekian alternatife. Oleh karena itu, pengetahuan pun bergantung pada iman dan iman adalah alternatife cara memandang, mengelola dan mengetahui sesuatu tatkala akal budi manusia tidak mampu menjelasakan sesuatu yang metafisis.
Dengan demikian, tidak satu pun agama yang mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang mempunyai kebenaran. Agama adalah salah satu medan alternatife kebenaran. Itu berarti di luar agama masih dapat ditemukan kebenaran yang bisa dipercaya misalnya kekuatan moral. Durkeim mengatakan bahwa :
“Agama tidak lagi menjadi suatu halusinasi yang tidak dapat dijelaskan. Sebaliknya dia mendapatkan suatu kepastian dalam realitas. Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa orang yang beriman tidak salah apabila ia percaya kepada adanya suatu kekuatan moral dan bahwa ia tergantung darinya dan apabila ia menganggap kekuatan moral sebagai sumber dari apa yang terbaik dalam dirinya.”

IV. Cinta adalah Agama
Di atas telah diuraikan gagasan Agama adalah cinta, yang mana dikatakan bahwa agama adalah medan perwujudan cinta. Pada bagian ini kita akan menelisik gagasan cinta adalah Agama. Pertanyaannya, apakah konsep Cinta adalah agama hanya kebalikan dari konsep Agama adalah cinta di atas? Jawabannya tidak. Lalu bagaimana mendefinisikan gagasan cinta adalah Agama? Langkah pertama yang kita ambil adalah mendefinisikan cinta.

4.1. Apa itu Cinta?
Cinta mempunyai arti pemberian diri yang utuh, total dan sebuah komitmen tanpa syarat. Apakah tolok ukur dari Cinta? Tolok ukur cinta adalah cinta tanpa tolok ukur. Dengan kata lain, cinta mengatasi segala hal. Melampaui apa-apa yang bisa diindrawi. Berbicara mengenai cinta ternyata cinta bukan sebagai suatu tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan cinta itu sendiri menjadi tujuannya. Cinta yang dimaksud ialah Allah sendiri. Oleh karena cinta bukan sebuah tujuan dalam dirinya sendiri, maka cinta mempunyai keterarahan keluar yakni kepada sesama, orang lain atau pada hal-hal yang konkret sekaligus mempunyai nilai transendental yakni kepada Allah Sang Cinta itu sendiri.
Karena cinta dari dirinya sendiri memiliki nilai transendental yakni terarah kepada Allah, maka cinta mengandaikan adanya perjuangan. Artinya, cinta yang terarah kepada Allah harus sejalan dengan usaha manusia dalam kehidupan konkret, harus diwujudnyatakan dalam kehidupan yang nyata. Pemahaman ini tidak berarti manusia boleh melakukan apa saja atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai agama, ajaran-ajaran agama, kemudian menamakan tindakan itu sebagai bentuk cinta pada Allah yang telah mewahyukan diriNya dalam agama. Pemahaman seperti ini, menjerumuskan manusia pada paham yang dangkal akan keberadaannya dan pemahamannya mengenai agama.
Usaha manusia untuk menjawabi sapaan Allah terungkap dalam agama. Kita dapat meminjam pertanyaan yang disampaikan oleh Agustinus “apa yang sebenaranya aku cintai ketika aku mencintai Tuhanku?” Pertanyaan yang senada kita dapat lontarkan mengenai agama. Apakah yang sebenarnya aku cintai ketika aku mencintai agamaku? Pertanyaan ini penting untuk dikemukan “sebab sudah cukup lama orang berdebat mengenai agama yang benar dan banyak pemeluk agama yang mendaku agamanya sendiri yang paling benar lalu menafikan agama yang lain.” Ketika manusia mencintai Tuhan atau mencintai agamanya, maka konsekuensinya ialah manusia harus menanggalkan ke-aku-annya atau keluar dari dirinya agar tidak terpenjara dalam cinta diri, kemudian mengenakan apa-apa yang dimiliki oleh Tuhan atau agama. Kiranya itulah yang menjadi jiwa yang menggerakkan kesadaran(ku) sebagai pribadi yang ada untuk Tuhan dan agama.

4.2. Analogi Cinta Manusia Sebagai Refleksi akan Kebenaran Sejati
Cinta Tuhan kadang sulit dimengerti oleh manusia. Meskipun di atas telah dikatakan bahwa melalui agama, Allah hadir menyatakan diriNya kepada manusia, tetapi kesadaran manusia akan Allah yang demikian itu tidak dengan sendirinya dimengerti secara utuh dan penuh. Misalnya pemahaman Islam mengenai Allah dalam Al-Qur’an 49: 15 yang berbunyi “sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” Bagaimana kita pahami Allah dalam konteks ini? Masihkah kita berkata bahwa Allah itu sempurna, baik dan sebagainya sementara tindakan manusia yang menjalankan dan menganut ajaran agama sama sekali tidak menghadirkan sebuah opium mengenai Allah yang baik, sempurna, Mahatahu? Meskipun hal ini menimbulkan banyak pertanyaan, tetapi paling tidak kita telah dihantar untuk masuk dalam wilayah pemahaman Islam mengenai Allah yang secara nyata tertuang dalam ajaran-ajaran agamanya.
Kita dapat mengerti cinta Allah kepada manusia melalui analogi cinta manusia. Relasi cinta yang dibangun manusia diantara sesamanya merupakan gambaran sederhana yang dapat membantu kita dalam memahami cinta Tuhan. Itulah sebabnya kami mengatakan bahwa analogi cinta manusia sebagai refleksi akan kebenaran sejati. Kebenaran sejati yang dimaksudkan di sini ialah Allah sendiri. Allah adalah kebenaran mutlak yang merangkum semua kebenaran yang lain. Oleh karena itu, analogi cinta manusia dalam memahami cinta Tuhan merupakan suatu upaya atau refleksi akan Kebenaran sejati artinya refleksi manusia yang terarah kepada Allah. Jadi, dari seluruh uraian di atas, kita menemukan dengan pasti bahwa esensi cinta dan agama adalah Allah.

V. Penutup

5.1. Relevansi
Pristiwa nas kemanusiaan yang terjadi belakangan ini di mana banyak korban nyawa manusia antara lain serangan yang dilakukan oleh sekelompok manusia yang sering disebut terorisme. Kata teror sudah dengan sendirinya mempunyai arti negatife. Dalam kaca mata manusia pada umumnya, terorisme lahir dari kebencian dan rasa dendam terhadap sesuatu hal atau orang, dan masyarakat tertentu. Tindakan mereka yang rela mengorbankan dirinya adalah sebuah bentuk pemaknaan terhadap nilai-nilai atau ajaran agamanya. Atau suatu cara manusia dalam membela kebenaran nilai agama atas nama Allah. Pertanyaannya, apakah terorisme merupakan cetusan cinta terdalam terhadap Tuhan? Ataukah terorisme merupakan suatu indikasi akan kegagalan cinta?
Dalam kaitan dengan uraian mengenai agama adalah cinta, cinta adalah agama, mungki tidak salah kalau kita mengatakan bahwa teroris adalah gambaran atau simbol cinta yang gagal. Mengapa dikatakan symbol cinta yang gagal? Cinta mengandaikan adanya kesadaran diri. Cinta tumbuh dari kesadaran diri yang kemudian kesadaran itu mendorong dan menghantar manusia untuk sampai pada kesadaran yang tinggi yakni Allah. Jikalau tindakan para teroris merupakan ungkapan cinta terhadap Tuhan yang lahir dari kesadaran diri yang mendalam, kita mungkin menyangsikan kesadaran diri dan ungkapan cinta mereka yang demikian. Meskipiun dalam pandangan mereka apa yang mereka lakukan itu adalah baik oleh karena Nilai yang dipertaruhkan, kita juga dapat mengatakan bahwa kesadaran cinta yang demikian adalah ketidaksadaran akan kesadaraan diri. Sebab jikalau mereka sadar, mereka pasti tidak sampai bertindak demikian yang mengakibatkan banyak korban nyawa manusia.
Kita kembali pada persoalan yakni mengapa terorisme dikatakan symbol cinta yang gagal? Sebagaimana kami katakan sebelumnya bahwa cinta tidak mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri. Cinta itu sendiri adalah tujuannya. Lalu, bagaimana dengan agama? Agama pada prinsipnya baik. Agama selalu mengajarkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan sebagainya. Meskipun terorisme selalu dikaitkan dengan agama, tetapi kita tidak serta merta mengatakan bahwa agamalah yang memungkinkan mereka bertindak kekerasan. Wajah kekerasan yang ditampilkan oleh terorisme adalah wajah atas nama pribadi atau kelompok tertentu dan bukan wajah agama. Namun, betapa sulitnya kita membedakan antara tindakan atas nama pribadi dan atas nama agama. Seringkali keduanya disatukan sehingga yang dipersalahkan adalah agamanya dan bukan orangnya. Sejalan dengan pemikiran di atas, Caputo mengatakan bahwa masalah terbesar dalam agama adalah orang-orang yang beragama itu sendiri (tanpa mereka, catatan prestasi agama pastilah tak bernoda). Orang-orang yang beragama ini atau orang-orang religius ini yakni ”umat Allah”, adalah orang-orang dari yang tidak mungkin, hidup dalam hasrat cinta kasih yang membuat mereka resah dan gusar, “seperti rusa yang merindukan aliran air” kata pemazmur (Mzm 42:1) dan memang mereka adalah orang yang tidak mungkin. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa terorisme murupakan simbol cinta yang gagal. Sebab cinta yang gagal akan memukul rata semua orang sebagai musuh. Cinta yang gagal adalah cinta yang menyeragamkan. Cinta yang gagal membunuh akal sehat. Cinta yang gagal akan memiliki daya untuk menghancurkan, dan inilah sumber energi bagi terorisme.

5.2. Kesimpulan
Agama diperuntukan bagi para kekasih Allah (yakni manusia) yang mencintai yang tidak-mungkin. Para kekasih Allah yang membuat kita di luar mereka tampak seperti bongkahan sepi, tanpa cinta. Namun, pada waktu yang bersamaan, mereka yang bergairah dan penuh cinta pada yang tidak mungkin ini (misalanya teroris) adalah orang-orang yang menukar secara membingungkan diri mereka dengan Allah yang kemudian mengancam kekebasan sipil atau sosial dan orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka yang mungkin dalam pikiran mereka juga tidak sependapat denga Allah.
Namun, sesungguhnya Allah tidak perlu dibela. Allah bisa membela diriNya sendiri. Allah bisa melakukan jauh dari apa yang dilakukan oleh manusia atau Allah bisa melakukan jauh dari apa yang tidak mungkin bagi manusia. Oleh karena itu, gagasan agama adalah cinta, cinta adalah agama membuka pemahaman baru mengenai agama sehingga terciptalah ruang dialog yang dialogal.
Prinsip keraguan. Penting membangun suatu prinsip keraguan, sebab dengan itu kita dapat melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang luput dari perhatian kita. Dalam kaitan dengan cinta kepada Allah dan manusia, yang kita butuhkan di dalam mencintai adalah sedikit keraguan. Keraguan membuat kita terus menerus haus dan merasa diri belum utuh dan penuh. Keraguan menjauhkan kita dari sikap ekstrem. Hidup keagamaan yang tidak disertai sedikit keraguan membuat kita tak bedanya dengan robot-robot ideologis yang bermental fundamentalis. Tanpa keraguan cinta akan mudah lelah, gagal dan bisa jadi kemudian cinta kita berubah menjadi kebencian. Inilah mekanisme jiwa para teroris. Pola inilah yang pelan-pelan harus kita sadari dan hindari.
Cinta yang sejati selalu memberi ruang untuk kebencian, supaya cinta tidak jatuh dan berubah menjadi kebencian murni. Inilah salah satu paradoks dan ironi kehidupan yang masih jauh dari pemahaman kita sebagai bangsa yang mengaku bermoral dan beragama, tetapi tidak pernah berani menyentuh keraguan sebagai obat untuk tetap waras. Akibatnya kita merasa bermoral sekaligus membenci dalam waktu yang sama kepada penganut agama lain dan lebih fatal jikalau dalam diri para penganut sudah tumbuh benih pengklaim kebenaran agama.
Pengklaim-pengklaim terhadap kebenaran dalam agama tak jarang mencipta ruang konflik dan bahkan melahirkan sikap kekerasan. Adanya anggapan dan pengakuan yang mutlak terhadap kebenaran agamanya sendiri, mengkerdilkan konsep kebenaran itu sendiri dan akhirnya orang lain seakan dipaksa untuk masuk dalam kerangka berpikir yang dibangunnya. Sikap dan cara pemaknaan terhadap agama atau nilai-nilai yang terkandung di dalam agama yang demikian karena didasarkan pada suatu klaim yang sifatnya mutlak, statis dan kaku. Seperti yang dikatakan oleh Purwanto bahwa ”setiap pemeluk agama, bahkan setiap penganut prinsip tertentu mengimani bahwa ia berada dalam kebenaran dan orang selainnya berada dalam kebatilan, atau seperti disinyalir dalam Al-Quran (Al-Baqorah; 256) ia beriman kepada agama dan prinsipnya serta kafir kepada selain.”




DAFTAR PUSTAKA
BUKU SUMBER
Caputo, John D., agama Cinta- agama Masa depan, Bandung: Mizan, 2001.

Handoko, Petrus Maria, Diktat Kuliah Sakramentologi I, STFT Widya Sasana Malang.

Keene, Michael, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Leahy, Louis, Manusia di hadapan Allah - Edisi kedua, Gunung Mulia: Kanisius, 1984.

Purwanto, Mencari Agama Yang Benar Melalui Kodifikasi Kitab Suci, Tangerang: ili Y
Press, 2004.

Sudiarja, A., Agama (di Zaman) Yang Berubah, Yogyakarta: Kanisius, 2010..


INTERNET
AliHassan, Konsep Cinta dalam Islam, http://yayasan-aalulbayt.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1:konsep-cinta-dalam-islam&catid=62:artikel, Diakses hari Sabtu, 23-1-2010.

Filsafat Modern

LEGITIMASI KEKUASAAN LEWAT POLITIK PENAKLUKAN
MENURUT MACHIAVELLI
By Fabianus Selatang

1. Pengantar
Wilayah eksplorasi etika politik Machiavelli berada pada wilayah kekuasaan. Berbicara mengenai kekuasaan berarti juga berbicara tentang manusia, sebab yang menjalankan kekuasaan adalah manusia. Manusia yang dimaksudkan di sini tidak lain adalah pemimpin negara. Seorang pemimpin negara dengan segala kapasitasnya berhak mengendalikan dan mengantur negaranya dari serangan warga negaranya sendiri atau dari luar. Kekuasaannya bersifat mutlak. Ia berkuasa dalam segala hal demi menjamin sebuah negara yang aman dan kondusif. Mengutip kata-kata Machiavelli bahwa “tugas pemerintah yang sebenarnya adalah mempertahankan serta mengembangakan dan mengekspansikan kekuasaan karena itu dibutuhkan kekuatan sebagai unsur intergral dan elemen paling esensial dalam politik”. Jadi, seorang pemimpin negara dengan kekuasaan yang dimilikinya mampu mengakomodasi segala kepentingan yang berkaitan dengan ketahanan sebuah negara.
Dalam rangka meningkatkan stabilitas yang aman dan kondusif, negara membangun sebuah sistem kekuasaan yang sifatnya mutlak. Artinya apa pun yang dilakukan oleh seorang pemimpin negara, sekalipun itu buruk tetap dipandang baik. Itu karena legitimasi kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Dalam arti tertentu tindakan seorang pemimpin negara tidak dituntut untuk mempertanggungjawabkan tindakannya dari siapapun. Ia tidak peduli pada tuntutan masyarakat atas wewenang legitimasi kekuasaannya.
Machiavelli adalah salah satu tokoh yang lahir di zaman renainsans dan tokoh perintis yang menggagas konsep negara yang berada sepenuhnya di bawah tangan sang penguasa. Usahannya dalam merumuskan negara di mana negara tidak boleh tunduk pada agama merupakan sebuah gebrakan yang besar terhadap paham negara pada abad pertengahan yang selalu mengagungkan dan menjunjung tinggi manusia sebagai citra Allah. Penulis dalam paper ini berusaha menampilkan gagasan Machiavelli tentang legitimasi kekuasaan seorang penguasa negara. Dalam kajian dan uraian ini, penulis juga berupaya melihat implikasi praktis gagasannya ini terhadap model kepemimpinan negara dewasa ini. Tak dapat dipungkiri bahwa jiwa kepemimpinan seorang kepala negara dan dalam menjalankan kekuasaan negaranya masih dibarengi dengan nilai-nilai dan kebenaran agama yang dianutnya. Machiavelli pun dalam uraiannya mengenai negara tidak terlepas dari agama. Oleh karena itu, mengutip kembali kata-kata Machiavelli bahwa ulasan mengenai substansi kekuasaan,…,organisasi militer dengan pernyataan-pernyataan politis yang kontroversial tetap menarik perhatian dunia.

II. Identifikasi masalah
Pertanyaan yang muncul adalah apakah yang dimaksud dengan kekuasaan dalam pandangan Machiavelli? Uraian mengenai legitimsai kekuasaan melalui politik penaklukan menurut Machiavelli pada akhirnya menghantar kita pada sebuah diskursus hubungan negara dan agama. Bagaimana hubungan antara agama dan negara? Sejauhmana agama mengambil bagian atau berperan dalam negara? Persoalan inilah yang ditelisik oleh penulis dalam paper ini.

III. Inti paham kekuasan politik Machiavelli
Inti paham kekuasaan politik yang dimaksudkan di sini adalah bahwa hakikat kekuasaan politik bersifat duniawai dan manusiawi. Artinya penaklukan kekuasaan selalu bersentuhan dengan manusia sebagai ornament dalam sebuah tatatan mansyarakat dan kekuasaan itu kekuasaan manusiawi atau selalu berangkat dari realitas manusia yang konkret dan aktual. Sebelum masuk lebih jauh dalam kajian mengenai hal ini, baiklah kita merumuskan arti kekuasaan.

IV. Apa yang Dimaksud Dengan Kekuasaaan
Uraian mengenai kekuasaan dengan sangat indah dan mendalam diuraikan dalam bukunya yang berjudul Sang Penguasa. Buku ini ditujukan kepada penguasa Florence, Lorenzo De’Medici yang sedang berkuasa pada waktu itu. Maha karya ini dengan sangat tajam mengupas citra seorang penguasa. Menurut dia menjadi raja berarti menjadi seorang penguasa. Penguasa yang disegani oleh siapa saja. Selain itu, dalam buku ini berisiskan nasehat bagaimana mempertahankan sebuah kekuasaan. Menurut Machiavelli seorang raja boleh melakukan apa saja atau menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan. Dengan kata lain, seorang penguasa tidak perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral. Pendapat Machiavelli ini bertolak dari kondisi riil tingkah laku politik anggota masyarakat masing-masing negara yang telah diamati oleh Machiavelli.
Gagasan yang dikemukannya di atas sungguh menarik untuk dicermati khususnya soal “seorang penguasa tidak perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral”. Apa artinya hal ini? Penguasa bukanlah personifikasi dari keutamaan-keutamaan moral. Dengan demikian pertimbangan-pertimbangan baik-buruk suatu tindakan penguasa tidak bergantung dan bertolak dari kemauan dan penilaian masyarakat, tetapi bertolak dari segi efisiensi secara politik. Dengan kata lain, tindakan yang diambil oleh penguasa tidak berdasarkan kepentingan rakyat. Akan tetapi, tergantung dari keadaan dan desakan situasi sosial. Seorang penguasa tidak perlu takut akan kecaman yang timbul karena kekejamannya selama ia dapat mempersatukan dan menjadikan rakyat setia, dan demi keselamatan negara. Menurut Machiavelli seorang penguasa jauh lebih baik ditakuti oleh rakyatnya daripada dicintai.
Jadi, tugas penguasa adalah mengamankan kekuasaan yang ada ditangannya agar dapat bertahan dengan langgeng. Tujuan berpolitik adalah memperkuat dan memperluas kekuasaan. Untuk itu segala usaha yang dapat mensukseskan tujuan dapat dibenarkan. Legitimasi kekuasaan membenarkan segala teknik pemanipulasian supaya dukungan masyarakat terhadap kekuasaan tetap ada. Keagungan seorang penguasa tergantung pada keberhasilannya mengatasi kesulitan dan perlawanan.
Seorang penguasa yang bijaksana tidak harus memegang janji apabila akan merugikan diri sendiri dan tidak ada alasan yang mengikat. Seorang penguasa tidak akan kehabisan alasan untuk menutupi tipuannya dan kelihatan seolah-olah baik. Seorang penguasa yang bijaksana mampu melihat dan membaca situasi yang mengancamnya dan memperkecil bahaya yang dapat ditimbulkannya. Oleh karena itu, seorang penguasa sedapat mungkin memahami masalahnya sendiri (unsur internal), lalu menghargai pemahaman orang lain (unsur eksternal), akhirnya menegasi pernyataan pertama dan kedua yakni tidak memahami masalah sendiri dan tidak menghargai pemahaman orang lain. Dari ketiga hal di atas sikap yang terakhir yang dipandang buruk. Dari mana pun datangnya nasihat yang bijaksana, tergantung dari kebijaksanaan penguasa, dan kebijaksanaan sang penguasa tidak tergantung pada nasihat yang baik.

V. Legitimasi Kekuasaan Melalui Politik Penaklukan
Apa yang dimaksud dengan legitimasi kekuasaan? Pertanyaan ini dapat kita temukan jawabannya dalam uraian mengenai kekuasaan di atas. Machiavelli mengatakan bahwa seorang raja boleh melakukan apa saja atau dengan kata lain menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan. Penyataan ini dengan jelas juga dirumuskan oleh Max Weber bahwa “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apa pun dasar kemampuan ini”. Akan tetapi, kekuasaan yang dimaksudkan oleh Machiavelli lebih pada kekuasaan negara. Dengan demikian, legitimasi kekuasaan negara berada pada posisi di mana dengan segala kemampuannya dan wewenangnya ia sedapat mungkin mengakomodir sebuah negara. Kewenangan adalah ciri khas kekuasaan negara.
Dalam pemikiran Machiavelli fakta kekuasaan adalah legitimasinya. Artinya kekuasaan pada posisi ini diakui sebagai sarana dan fondasi untuk mempertahankan negara secara mutlak demi kekuasaan itu sendiri. Negara identik dengan penguasa tunggal yang bedaulat dengan kekuasaan penuh berupaya tiada henti mempertahankan kekuasaan demi keutuhan negara dari ancaman manapun, termasuk warga negaranya sendiri. Jadi, kebijakan stabilisasi kekuasaan demi pertumbuhan kekuasaan itu sendiri menjadi ciri dan perhatian utama.
Sebagaimana yang dikatakan pada bagian pengantar di atas bahwa berbicara mengenai kekuasan juga bersentuhan dengan manusia. Oleh karena itu, baiklah kita menilisik konsep mengenai manusia menurut Machiavelli. Antropologi manusia dalam kaca mata Machiavelli bersifat negatife bahkan pesimistis. Hal ini terungkap dengan jelas dalam pandangannya bahwa manusia adalah makhluk irasional yang tingkahlakunya diombang-ambingkan oleh nafsu-nafsu dan pada dasarnya manusia itu buruk. Dari pandangan antropologi tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep manusia dalam konteks kekuasaan adalah objek yang bisa dimanipulasi karena tidak mempunyai kapasitas rational yang bisa memobilisasi nafsu-nafsunya. Akan tetapi, sisi lain manusia juga bersifat reaktif tatkala berhadapan dengan kekuasaan yang otoriter. Oleh karena itu, langkah politik yang diambil oleh seorang panguasa adalah menarik simpati rakyat dengan pelbagai bantuan dan menyatukan mereka melalui kepentingan mereka. Hal ini hanya mungkin jikalau seorang penguasa sedapat mungkin mengendalikan dorongan-dorongan, reaktif masa terhadap penguasa.
Dengan kelihaian dan keterampilan dalam memainkan perannya ini berarti penguasa juga telah memanfaatkan sifat dasar manusia. Akan tetapi, tindak dan sikap penguasa tidak boleh bertentangan dengan hukum karena hukum diidentikan dengan dirinya. Jikalau hukum identik dengan dirinya maka pengandaianya hukum ada karena desakan akan adanya kebutuhan untuk menjaga opini publik tentang dirinya dan negara. Jadi, sah saja bila hukum itu memaksa dan membatasi rakyat supaya kekuasaan penguasa terjaga. Rakyat menjadi objek pengawasan penguasa. Akhirnya, penguasa itu adalah kekuasaan, dan dia adalah penakluk.

VI. Hubungan antara agama dan negara
Machiavelli yang lahir dan hidup di Firenze Italia dianggap juga sebagai pelopor pemikiran konsep negara sebagai karya seni. Dalam kaitan dengan konsep kekuasaan, Machiavelli beranggapan bahwa pertimbangan kebaikan dan nilai moral bisa ditinggalkan demi keberhasilan politis. Gagasan ini senada dengan apa yang telah diungkapkan pada point mengenai kekuasan di atas. Pertimbangan moral dan agama dianggap tidak relevan dalam kehidupan politik. Dengan kata lain, ajaran-ajaran moral dan dogma-dogma agama pada dirinya tidak begitu penting, tetapi hal itu akan berfungsi dan penting sejauh memberikan sumbangan untuk mempertahankan negara. Jadi, fungsi dan peran agama sifatnya skunder. Nilai-nilai yang terkandung dalam agama dibutuhkan apabila dipandang baik dan bermanfaat bagi negara.
Pikiran dasar buku Il Principe adalah, demi suatu keberhasilan seorang penguasa harus mengabaikan kepentingan moral sepenuhnya. Sebaliknya, penguasa harus mengandalkan segala sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Dalam bukunya itu Machiavelli memberikan nasehat, demi persatuan bangsa, tidak masalah jika penguasa mempraktekkan kekerasan dan kekejaman kepada rakyatnya.
Deliar Noer dalam bukunya yang berjudul "Pemikiran Politik di Negeri Barat" melukiskan dengan sangat jelas bagaimana pandangan Machiavelli tentang agama dalam kaitan dengan negara;
“Machiavelli sangat mengagung-agungkan kemasyhuran, kemegahan dan kekuasaan, sehingga demi itu moral dan hukum dapat diabaikan. Machiavelli berprinsip, kepatuhan pada hukum tergantung pada soal apakah kepatuhan ini sesuai dengan nilai-nilai kemegahan, kekuasaan dan kemasyhuran. Demi itu pula, kalau memang diperlukan, maka tindakan seperti penipuan boleh saja dilakukan, termasuk menggunakan agama sebagai alat untuk kepentingan kekuasaan. "Ia mengakui bahwa agama mendidik manusia menjadi patuh, dan oleh sebab kepatuhan itu perlu untuk kesuksesan seorang yang berkuasa, maka perlulah agama itu. Jadi, agama itu diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung agama itu”. Lebih lanjut dikataka bahwa "dalam hal nilai-nilai agama, menurut Machiavelli, kalau perlu diperlihatkan, ini sungguhpun tidak merupakan keyakinan. Demikian pula nilai-nilai lain, ia dapat dipergunakan secara pura-pura saja. Dalam mengikat janji, kata Machiavelli, perlihatkanlah bahwa engkau seakan berpegang teguh padanya, meskipun batinmu menolak," tambah Deliar.

VII. Relevansi
Gagasan kekuasaan yang dicetus oleh Machiavelli, rupa-rupanya pernah terjadi di Indonesia. Sekilas kita melihat bahwa konsep politiknya Machiavelli sesungguhnya menginginkan kekuasaan absolut di tangan seorang raja atau penguasa. Persis inilah yang terjadi pada zaman orde baru. Pada zaman orde baru model dan sistem kepemerintahan sifatnya diktator. Kekuasaan sepenuhnya berada di tangan presiden. Dari praktik kekuasaan seperti ini, dengan sendirinya lahir sebuah tuntutan agar orang tunduk dan patuh pada pemimpin negara. Presiden mempunyai kekuasaan yang tak terbatas. Presiden saat itu menggunakan tangan kanannya yakni militer dan para kroni-kroninya memberikan sokongan dana untuk melancarkan kekuasaan yang tak terbatas tersebut.
Kritik penulis terhadap gagasan Machiavelli. Pertama, Menurut penulis di sana pemerintah atau penguasa mereduksi nilai kebebasan setiap orang untuk mengaktualisasi daya-dayanya. Pereduksian nilai kebebasan dengan sendirinya berarti menyangkal hakikat manusia sebagai yang ada untuk orang lain. Jikalau manusia hanya dipandang sebagai objek, maka nilai terdalam dari eksistensi manusia sebagai pribadi seakan disamakan dengan benda, yang selalu dipandang dari nilai kegunaannya. Menurut penulis, pada titik ini sesungguhnya Machiavelli mengalami titik terendah akan makna hakikat manusia.
Kedua, jikalau moral dan agama dianggap tidak relevan dalam kehidupan politik, maka yang terjadi adalah chaos. Tatanan hidup manusia semakin buruk. Tidak ada nilai atau norma yang mengatur tingkah laku manusia. Manusia dapat bertindak sesuka hatinya. Manusia bisa membunuh sesamanya. Tak mengherankan terjadi Dehumanisasi. Dengan demikian, dapat dikatakan manusia tidak lebih dari binatang yang hanya dikontrol menurut naluri lahiriah semata. Nilai-nilai moral dan agama hanya diukur dari segi kegunaan. Jikalau baik, maka dipakai, sebaliknya diabaikan atau tidak berguna jikalau tidak memberikan sumbangan bagi kehidupan politik. Cara pandang seperti ini jatuh pada paham materialistik. Akhirnya, penulis mengakui bahwa konteks gagasan ini, memang tidak terlepas dari situasi zaman di mana Machiavelli hidup. Dalam konteks hidup sekarang, pandangan ini hampir pasti ditolak karena agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Agama memberikan sumbangan yang berarti bagi kebijakan pemerintah dalam mengambil keputusan. Setiap keputusan yang diambil hampir pasti selalu digandengkan dengan agama dan moral. Agama dan moral sebagai penjamin kehidupan manusia dalam mewujudkan jati dirinya sebagai pribadi yang ber-Tuhan dan bermasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU SUMBER
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Machiavelli, Niccolo. Sang Penguasa. Jakarta: Gramedia, 1987.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik. Jakarta: Gramedia, 1988.
SUMBER INTERNT

http://forum.kompas.com/showthread.php?13761-Machiavelli-Lebih-Ditakuti-daripada-Dicintai-Rakyat, Diakses hari Kamis, 14-10-2010.

http://bumiayubook.drupalcafe.com/node/5, Diakses hari Kamis, 14-10-2010.
http://djokoyuniarto.multiply.com/journal/item/14/Pemikiran_Niccolo_Machiavelli,Diakses hari Kamis, 14-10-2010.

Antropologi Budaya

TEING HANG KEPADA ARWAH NENEK MOYANG
DAN SUMBANGANNYA TERHADAP KEBUDAYAAN NASIONAL
(Sebuah Analisis Kritis Atas Kearifan Lokal Budaya Manggarai)
By Fabianus Selatang

I. Pengantar
Setiap daerah atau tempat mempunyai kekhasan budaya. Budaya yang dianut disuatu tempat tentu mempunyai makna dan nilai serta pesan moral etisnya masing-masing. Nilai dan maknanya hanya mungkin kita pahami dan mengerti apabila kita masuk dalam budaya tersebut atau paling kurang menimba percikan-percikannya melalui dan dalam penghayatan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Dewasa ini, rasionalitas (cara berpikir kritis) menguasai alam pemikiran manusia. Segala sesuatu selalu didasarkan dan dibangun dalam sebuah konstruksi pikiran yang logis dan masuk akal. Pisau bedah untuk membuktikan kebenaran sesuatu adalah rasio. Apa-apa yang bisa dijelaskan dengan rasio itulah yang dapat diakui dan diterima oleh manusia. Oleh karena itu, rasio mejadi patokan kebenaran. Segala sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dengan sendirinya ditolak atau dipertanyakan. Jadi, rasio menduduki tingkat paling atas dalam tatanan hidup manusia. Apakah rasionalitas mampu menjelaskan kedudukan upacara Teing Hang?
Te’ing Hang adalah salah satu kearifan lokal budaya manggarai. Masyarakat Manggarai mengamini dan percaya bahwa roh atau arwah nenek moyang masih hidup, sehingga tetap membangun relasi dengan mereka yang telah meninggal. Pernyataan di atas menjadi kebenaran yang mendasari penghormatan kepada arwah nenek moyang secara khusus dalam upacara Teing Hang. Upacara Teing Hang hampir pasti ada di setiap daerah, agama, suku. Akan tetapi, caranya yang mungkin berbeda. Namun, yang menjadi persoalan adalah mengapa harus diberi makan atau Teing Hang? Apakah ini sebuah bentuk penyembahan berhala? Ketika orang mendengar kata Teing Hang mungkin yang terlintas dalam pikiran mereka adalah sebuah bentuk praktik penyimpangan terhadap agama.
Kajian terhadap problematis di atas secara rasional barangkali dapat melahirkan sikap skeptis terhadap bentuk budaya seperti ini. Dalam tulisan ini, penulis berusaha sedapat mungkin mengkaji dan menggeledah serta membutikan semua asumsi di atas.

II. Teing Hang Kepada Arwah Nenek Moyang
2.1. Arti FrasaTeing Hang
Teing Hang terdiri atas dua kata. Teing artinya memberi. Hang artinya makanan. Jadi, frasa Teing Hang berarti memberi makanan. Yang dimaksud di sini ialah Teing Hang kepada arwah nenek moyang yang telah meninggal. Teing Hang merupakan salah satu kearifan lokal budaya Manggarai. Budaya Teing Hang tentu saja sudah lama dipraktikan di Manggarai dan sudah mendarah daging dalam diri masyarakat orang Manggarai. Yang mendasari upacara Teing Hang ini adalah karena adanya sebuah keyakinan dan kepercayaan akan adanya kehidupan setelah kematian. Keyakinan dan kepercayaan ini sejalan dengan iman Kristiani. Dengan demikian, upacara Teing Hang tidak terlepas dari iman Katolik. Pratik keagamaan yang berpusat pada penghormatan, cinta dan kenangan akan para leluhur sudah berumur setua iman akan Allah.
Dalam upacara seperti ini harus ada hewan korban. Umumnya binatang yang dikorbankan adalah ayam, babi, kerbau, atau kambing. Setelah hewan korban disembelih maka diambil sebagian dari bagian-bagian tertentu dari hewan korban itu misalnya hati, dada dan kepala. Setelah dibakar ketiga bagian dari hewan korban itu, dagingnya diiris lalu dicampur dengan nasi. Orang yang memimpin upacara ini memanggil roh nenek moyang dan memberikan nasi dan air, seperti layaknya memberi makan manusia yang masih hidup. Sejenak kita mungkin berpikir apakah ini tidak berlebihan? Kita bisa menjawab, tidak. Tidak. Upacara Teing Hang bukan hal yang berdiri sendiri dari iman. Upacara Teing Hang justru lahir dari iman akan Allah yang hidup.
Konteks upacara ini dilasanakan. Upacara Teing Hang ini dilaksanakan dalam berbagai konteks, bentuk dan dengan tujuan tertentu. Misalnya saat membuka kebun baru, penti , wu’at wa’i , penutup tahun dan pembuka tahun yang baru dan seterusnya. Meskipun konteksnya berbeda, tetapi makna, tujuan dan isi dibalik upacara Teing Hang tetap sama yakni menghormati para leluhur dan memohon perlindungan kepada Morin Kraeng (Tuhan Mahakuasa) melalui para leluhur. Isi permohonan ini akan kita lihat dalam uraian selanjutnya dan secara jelas kami akan memperlihatkan hal ini melalui goet (ungkapan) khas Manggarai dalam upacara Teing Hang.
Di atas telah dikatakan bahwa dalam upacara Teing Hang selalu ada hewan korban dan dari hewan korban itu diambil tiga bagian tertentu. Pertanyaan yang patut dilontarkan di sini adalah mengapa hanya mengambil tiga bagian tertentu dari hewan korban itu? Apa maknanya? Pertanyaan ini memang tidak mudah dijawab. Apalagi tidak ada sumber tertulis yang menerangkan dan menjelaskan hal itu. Namun, penulis menggali informasi mengenai hal itu melalui tradisi lisan yang pernah dilihat dan dialami selama ini.
Pertama, orang Manggarai menyakini bahwa ketiga bagian itu mewakili keseluruhan dari binatang yang dikorbankan itu. Ketiga bagian itu merupakan simbol penyerahan yang total dari pihak keluarga yang menyelenggarakan upacara. Bahwa binatang itu adalah ciptaan Tuhan. Binatang itu hanya dititip kepada manusia untuk dipelihara. Maka, sekarang pun binatang itu diserahkan semuanya kepada Tuhan. Tidak satu bagian pun yang dinikamati oleh manusia yang memeliharanya. Semuanya diberikan kepada Tuhan. Jadi, ketiga bagian yang diambil dari binatang korban itu mengandung makna simbolis.
Kedua, dalam tradisi orang Manggarai apabila ada tamu penting yang berkunjung ke suatu keluarga, hewan yang disembelih dan yang disajikan kepada tamu tersebut harus lengkap, tidak boleh ada yang kurang. Dengan ini pihak keluarga yang menerima menunjukkan rasa penghormatan yang mendalam kepada tamu tersebut dan melayani tamu tersebut dengan sepenuh hati. Tradisi lisan ini entah secara langsung atau tidak langsung juga ikut memengaruhi konsep upacara Teing Hang arwah nenek moyang. Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa binatang yang dikorbankan diserahkan seluruhnya kepada arwah nenek moyang. Meskipun dalam praktiknya hanya diambil ketiga bagian seperti yang disebutkan di atas, tetapi makna dibalik itu sangat mendalam. Jadi, ungkapan simbolis ketiga bagian dari binatang yang dikorbankan itu adalah sebuah penyerahan diri yang total dan seutuhnya.
2.2. Teing Hang: Suatu Ungkapan Penghormatan
Upacara Teing Hang merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada arwah nenek moyang. Masyarakat Manggarai menyakini bahwa kendatipun nenek moyang tidak tampil secara lahiriah, tetapi mereka tetap ada bersama mereka yang masih hidup. Upacara Teing Hang ini bukan sekedar ritual belaka atau karena menjadi kebiasaan yang sudah diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun. Masyarakat Manggarai sungguh-sungguh percaya bahwa di balik upacara Teing Hang kepada arwah nenek moyang terungkap suatu credo atau pengakuan dan kepercayaan kepada Wujud Tertinggi yang disebut Mori(n) Kraeng yang telah memberikan nafas kehidupan kepada manusia. Sehingga dalam setiap upacara Teing Hang nama Morin Kraeng selalu disebutkan pertama. Namun, penyebutan nama Morin Kraeng bukan hanya bertujuan untuk mengelabui orang lain sehingga tidak menilainya sebagai sebuah praktik penyembahan berhala, melainkan sungguh-sungguh lahir dan tumbuh dari kesadaran bahwa hakikat penghormatan kepada arwah nenek moyang atau para leluhur tidak pernah terlepas dari Morin Kraeng.
Sebagaimana dalam upacara ini ada perantara yang bisa berkomunikasi denga arwah para leluhur, demikian pula upacara Teing Hang menjadikan arwah nenek moyang menjadi perantara kepada Morin Kraeng. Dalam upacara Teing Hang biasanya salah seorang dipercayakan untuk menjadi pemimpin. Dia yang mengucapkan kata-kata adat atau goet dalam bahasa Manggarai. Orang yang dipercayakan untuk memimpin acara ini bukan orang sembarang, melainkan orang yang sungguh dihormati dalam suatu kampung atau mempunyai peran penting dalam sebuah suku atau orang yang dituakan karena pandai merumuskan dan merangkai kata-kata adat. Dialah perantara yang bisa berhubungan dan bisa berbicara dengan roh nenek moyang.
2.3. Mori (n) Kraeng
Upacara Teing Hang selalu digandengkan dengan Morin Kraeng (Tuhan Mahakuasa), maka baiklah kita menjelaskan bagaiman konsep Morin Kraeng sebagai Wujud Tertinggi dalam kaitannya dengan upacara Teing Hang. Di sini kita membedakan kata Mori dan Morin. Kata Mori (dalam pelbagai dialek Muri) berarti tuan, pemilik, penguasa, ketua. Seorang atasan bisa dipanggil mori. Kata ini bisa juga dipakai sebagai sebutan manja kepada anak-anak. Jadi, tidaklah secara ekslusif dipakai mengenai atau terhadap Tuhan. Namun, jikalau kata Morin dipakai tanpa menambahkan kata penentu jadi berarti “Tuhan Tertinggi”. Kata morin yang ditambah dengan kata penentu misalnya dalam frasa morin jarang hitu berarti ‘si pemilik kuda itu’. Dengan adanya akhiran (n) Mori dan tanpa diikuti kata penentu menjadi nama Allah yang paling lazim dipakai di Manggarai yang menunjukkan hubungan antara Allah dengan yang tunggal khususnya alam semesta termasuk manusia. Dari konsep Morin Kraeng di atas menjadi jelas bahwa upacara Teing Hang selalu terkait dengan Allah yang menciptakan manusia dan juga mengandung nilai penghormatan kepada Allah.
Upacara Teing Hang membidani kesadaran orang Manggarai bahwa hidup ini tidak hanya berakhir dengan kematian. Dengan adanya penghormatan kepada arwah nenek moyang khususnya melalui upacara Teing Hang, hubungan manusia dengan Tuhan semakin dekat dan mendalam. Allah dekat dengan manusia sebagaimana orang Manggarai menganggap roh atau arwah nenek moyang dekat mereka.
2.4. Teing Hang Sebuah Penyembahan Berhala atau kepercayaan?
Setelah kita melihat arti kata Teing Hang dan maknanya serta konsep Morin Kareng dalam budaya Manggarai di atas, maka kita perlu melihat pendasaran mengenai hal itu dengan menelisik kepercayaan atau sistem religi orang Manggarai. Hal ini penting untuk melihat dasar adanya penghormatan melalui upacara Teing Hang kepada arwah nenek moyang.
Pertama-tama harus dikatakan bahwa dalam masyarakat Manggarai, satu bentuk tradisi keberagamaan yaitu agama lokal dan yang sering dilakukan adalah acara Teing Hang. Acara Teing Hang dilaksanakan oleh masyarakat Manggarai yang beragama lokal untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal yang diyakini mempunyai kekuatan supra empiris. Artinya memiliki kekuatan-kekuatan yang melampaui segala hal yang bisa diindrai. Upacara ini kadang dilakukan oleh masyarakat yang beragama lokal di Manggarai di bawah pohon besar (langke), batu besar dan mata air/temek untuk mempersembahkan kepada arwah nenek moyang atau leluhur yang menjaga benda-benda tersebut dan diyakini mempunyai kekuatan supra empiris. Dengan adanya praktik keagamaan seperti ini, maka ada anggapan bahwa masyarakat Manggarai adalah agama kafir dan berkepercayaan anismis.
Namun, anggapan ini merupakan suatu kesalahan. Pemberian nama “animis” terhadap orang Manggarai yang menganut sistem religi asli dengan maksud agar tidak disebut ‘kafir’. Penyebutan atau pemberian nama ‘animis’ ini sungguh menyesatkan. Padahal aktivitas religi asli orang Manggarai adalah “monoteis implisit” sebab dasar religinya menyembah Tuhan Maha Pencipta (dalam ungkapan manggarai “Mori Jari Dedek, Ema pu’un Kuasa), walaupun terdapat praktik penyembahan selain di ‘compang’ (rumah adat, mesbah untuk sesajian). Mesbah juga terkadang di bawah pohon-pohon besar yang dianggap angker dan suci. Jadi, Teing Hang bukan penyembahan berhala melainkan lahir dari keyakinan agama asli Manggarai.
Istilah ‘monoteis implisit’ secara jelas terungkap dalam doa-doa atau ungkapan khas Manggarai. Pemahaman terhadap setiap doa yang diucapkan dalam suatu upacara tradisi memberikan tempat pertama dan utama kepada yang disembah yakni “Morin agu Ngaran Bate Jari Agu Dedek” (Tuhan Sang penguasa, pemilik yang Menjadikan dan Menciptakan). Dalam setiap upacara adat orang Manggarai tempat pertama yang diberi sesajian adalah arwah leluhur (nenek moyang).
Dibalik upacara Teing Hang kepada arwah leluhur ini, orang Manggarai sungguh-sungguh percaya bahwa ada Morin (Tuhan) yang menciptakan leluhur. Dalam ungkapan orang Manggarai yakni “ Morin Wura atau Morin Andung atau Morin agu Ngaran Bate Jari agu Dedek, Hia Te Pukul Parn awo kolepn sale, Ulunle wa’i lau, Tanan wa awang eta” (artinya Tuhan Maha Pencipta atau Tuhan Sang Penguasa yang Menjadikan dan menciptkan, Dia yang menerbitkan Matahari di Timur sampai pada terbenamnya, Kepala di atas-kaki di bawah, tanah di bawah-langit di atas). Kata-kata seperti ini selalu diucapkan dalam setiap upacara Teing Hang. Dari sini juga terungkap pengertian tentang manusia yang mengakui adanya bimbingan, lindungan dan penyelenggaran Tuhan atas semua ciptanya.
Pengetian tentang manusia ini sangat jelas terlihat dalam ungkapan ini: “Denge le Morin agu Ngaran, Bate Jari Agu Dedek, Ite Te pukul pasrn awo kolepn sale, ulunle wa’in lau, tanan wa awangn eta torong ata molorn, titong koe tingo, Tura eta Mori Wura, baro eta Mori Andung, senget koe lite, gesar dami mendid, kaing dani tegi becur, Sor Monggong nggelak nata dami mendim.” (artinya dengarlah kiranya oleh Tuhan Penguasa dan Pemilik alam semesta, tunjukkanlah kebenaran, bimbingilah kami agar memperoleh kebenaran, Engkau yang menguasai dunia dari terbit hingga terbenamnya matahari, lindungi kami, sampaikanlah kiranya doa dan permohonan kehadapan Dia yang telah menciptkan leluhur kami, sembah sujud kami sekalian yang dengan rendah hati memohon kemurahan-Mu).
Secara sosiologis, upacara Teing Hang bermaksud untuk memberi makan kepada arwah leluhur atau nenek moyang yang sudah meninggal yang diyakini memiliki kekuatan supra empiris. Arwah leluhur yang sudah mati itu diyakini oleh masyarakat agama lokal di Manggarai memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari orang Manggarai. Arwah leluhur dipandang sebagai jembatan do’a atau letang temba kepada Tuhan bagi yang ditinggalkan dan juga dipandang sebagai suatu bentuk ucapan syukur kepada roh atau arwah nenek moyang yang tinggal atau menjaga mereka serta memberi berkat yang berlimpah kepada masyarakat agama lokal (di Manggarai). Atas dasar itu, upacara Teing Hang dilakukan dengan maksud agar arwah leluhur itu tetap menjaga mereka yang masih hidup dan tetap setia menyampaikan doa dari orang yang masih hidup Morin Kraeng.
III. Nilai-nilai yang Ditawarkan Dari upacara Teing Hang Terhadap Kebudayaan Nasional
Pertanyaan yang pantas diajukan sebelum kita melihat nilai-nilai yang ditawarkan dari upacara Teing Hang terhadap kebudayaan Nasional adalah apakah sumber kebijakan kebudayaan Nasional itu? Jawaban atas pertanyaan ini, dapat kita rujuk pada gagasan Soerjanto. Menurut Prof. Soerjanto Poespowardojo bahwa sumber kebijakan kebudayaan nasional adalah nilai-nilai budaya yang masih hidup dan dihayati oleh masyarakat. Dari gagasannya ini, kita bisa menyimpulkan bahwa Teing Hang juga merupakan salah satu kearifan budaya lokal yang dapat membangun kebudayaan nasional.
Teing Hang adalah nilai budaya yang masih sangat kuat hidup dan dihayati dalam diri masyarakat Manggarai. Pengandaiannya jikalau upacara Teing Hang bukan suatu nilai budaya yang hidup, maka bentuk upacara Teing Hang pasti sudah ditinggalkan dan hilang. Upacara Teing Hang lahir dari kesadaran akan eksistensi manusia itu sendiri dan secara khusus dalam hubungan dengan Morin Kraeng (Tuhan Mahakuasa). Kesadaran inilah yang mendasari keyakinan upacara Teing Hang ini, sehingga tetap eksis sampai sekarang. Di bawah ini, penulis memaparkan nilai-nilai dari upacara Teing Hang terhadap kebudayaan nasional.
Pertama, Nilai sosial. Upacara Teing Hang yang dilakukan oleh masyarakat Manggarai pada umumnya dilihat sebagai suatu bentuk keyakinan masyarakat agama lokal di Manggarai. Mereka menyakini bahwa arwah nenek moyang atau leluhur sebagai perantara atau jembatan doa kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang memiliki kekuatan yang supra empiris. Selain membangun relasi dengan sesuatu yang memiliki kekuatan supra empiris, upacara ini juga menyiratkan sebuah undangan kepada sesama untuk mengambil bagian dalam upacara ini. Dengan demikian, nilai sosial yang terungkap dari upacara Teing Hang adalah adanya sebuah undangan kepada keluarga yang lain untuk sama-sama berkumpul. Dengan berkumpul bersama-sama dengan sendirinya ikatan kekerabatan atau ikatan sosial semakin kuat. Upacara Teing Hang meretas kesukuan, keegoisan, sehingga tidak ada sekat atau kelas sosial dalam masyarakat. Inilah nilai yang disumbangakan dalam membangun kebudayaan nasional.
Kedua, aspek religius. Upacara Teing Hang dilihat sebagai alat ukur yang menilai aspek religius masyarakat yang beragama lokal di Manggarai. Orang Manggarai percaya bahwa dengan melaksanakan upacara Teing Hang, mereka memperoleh keselamatan baik bagi dirinya (pihak yang menyelenggarakan upacara ini) maupun orang lain yang terlibat dalam upacara yang sama. Dengan demikian, dalam aspek religius ini juga mencakup aspek sosialnya sebagaimana yang telah dikemukakan di atas pada poin (2.1) khususnya berkaitan dengan penerimaan tamu.
Upacara Teing Hang sesungguhnya ‘mencerminkan usaha dan perjuangan manusia untuk menggapai kebenaran metafisis’ dan bahwa dibalik apa yang tampak, nyata atau real ada Dia, yang kepada-Nyalah segala pujian dan syukur diucapkan dalam upacara Teing Hang. Jadi, upacara Teing Hang merupakan hasil upaya reifikasi atas kebutuhan manusia untuk mendapatkan kejelasan tentang hidup ini serta keselamatannya ‘di sana’ yang manusia tidak tahu, maupun dalam keadaan di mana hidupnya merasa teracam.
Ketiga, aspek kekerabatan. Upacara Teing Hang merupakan salah satu cara yang dapat membina dan membangun kekerabatan. Wujud dan nilai kekerabatan dengan sangat indah dilukiskan dalam ungkapan yang paling terkenal masyarakat Manggarai adalah Lonto Leok ( Lonto artinya duduk, Leok artinya bersama-sama membentuk satu lingkaran). Lonto Leok berarti duduk bersama dengan membentuk sebuah lingkaran kecil. Dari ungkapan ini, tampak jelas dimensi atau aspek kekerabatan yang dibangun oleh orang Manggarai satu dengan yang lain. Lonto Leok menggambarkan kesatuan, kekerabatan dan ikatan kekeluargaan yang sangat dalam satu dengan yang lain. Upacara Teing Hang bercirikan Lonto Leok. Oleh karena itu, dalam upacara Teing Hang ini terungkap rasa kedekatan, ikatan batin yang kuat dan mendalam antara orang yang masih hidup dengan arwah nenek moyang. Perasaan kedekatan dan ikatan batin dengan arwah nenek moyang, akhirnya orang dibawa dan dihantar serta disadarkan untuk membangun relasi dengan Allah.

IV. Penutup
Pada bagian ini, kita mencoba kembali pada persoalan pokok sebagaimana yang telah dikemukakan pada pengantar tulisan ini. Kita mencoba menjawabnya satu per satu. Pertama, mengapa arwah nenek moyang harus diberi makan atau Teing Hang? Upacara Teing Hang bertitik tolak dari suatu kayakinan bahwa meskipun mereka sudah berpisah secara fisik, tetapi mereka masih menjalin hubungan dengan orang yang masih hidup. Sebagaimana orang memperhatikan sesama dengan memberikan makan, maka demikian juga arwah nenek moyang harus diberi makan. Mereka juga butuh makanan. Dibalik keyakinan ini terungkap sebuah credo yang amat dalam yakni penghormatan kepada Allah yang menciptakan mereka. Arwah nenek moyang diyakini sebagai perantara doa-doa mereka yang masih hidup kepada Allah.
Kedua, Apakah ini sebuah bentuk penyembahan berhala? Upacara Teing Hang bukan berhala. Upacara Teing Hang sudah berakar dalam masyarakat agama lokal Manggarai. Kepercayaan agama lokal yang bersifat ‘monoteis implisit’ dengan sendirinya memperlihatkan bahwa upacara Teing Hang selalu digandengkan dengan kepercayaan akan Allah (Morin Kraeng). Pada masyarakat agama lokal Manggarai sudah mengakui bahwa jiwa manusia tidak akan mati. Jiwa manusia tetap hidup meskipun tubuh sudah mati. Logika sederhan menjelaskan kebenaran di atas. Tidak akan ada penghormatan kepada arwah nenek moyang kalau orang tidak percaya akan eksistensi jiwa manusia dan bahwa jiwa manusia ini terus hidup sesudah kematian badan. Mengutip kembali gagasan Herbert Spencer yang mangatakan bahwa kepercayaan manusia akan Allah berasal dari kesadaran purba manusia akan kontinuitas kehidupan sesudah kematian yang diyakini ditopang oleh Wujud Tertinggi—Allah—yang adalah pencipta dan pemilik dari segala sesuatu termasuk hidup kekal sesudah kematian. Dari uraian ini, dengannya kita sudah menjawab persoalan ketiga, yang mempertanyakan apakah upacara Teing Hang sebuah bentuk praktik penyimpangan terhadap agama? Jelasa bukan penyimpangan terhadap agama, sebab upacara Teing Hang justru berangkat dari keyakinan agama lokal dan kesadaran purba manusia.
Kesimpulan
Penghormatan kepada arwah nenek moyang yang secara khusus dilaksanakan melalui upacara Teing Hang lebih merupakan urusan religius keluarga atau kesalehan religius pribadi dari pada praktik religius publik resmi. Pertanyaannya, kapan upacara Teing Hang dipandang sebagai salah satu karakter kebudayaan Nasional? Upacara Teing Hang menjadi salah satu karakter kebudayaan nasional ketika satu suku atau masyarakat dipersatukan dalam penghormatan kepada arwah nenek moyang. Dengan demikian, jelaslah bahwa aspek sosial, religius, dan kekerabatan dari upacara Teing Hang sebagaimana yang diungkapkan di atas menunjukkan karakter kebudayaan nasional.




DAFTAR PUSTAKA
SUMBER UTAMA
Dagur, Antony Bagul. Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah Satu Khasanah
Kebudayaan Nasional. Surabaya: Ubhara Press, 1997.

Hemo, Doroteus. Sejarah Daerah Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Ruteng:--
-,1988.
Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Kebudayaan; Proses Realisasi Manusia. Bandung:
Jalasutra, 2009.
Jebadu, Alex. Bukan Berhala! Penghormatan kepada para Leluhur .Maumere: Ledalero,
2009.
Sudhiarsa, Raimundus I Made. Diktat Antropologi Dan Konstruksi Kebudayaan Nasional
Indonesia. Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2007.

Verheijen, Jilis A. J., Manggarai dan Wujud Tertinggi. Jakarta: LIPI-RUL, 1991.

SUMBER TAMBAHAN

Brouwer, M. A. W., Studi Budaya Dasar. Bandung: Alumni, 1986.
Ihromi, T.O., (ed.). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia, 1987.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: P.D. Aksara, 1969.
-------------------- Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1987.
Nggoro, Adi M., Budaya Manggarai Selayang Pandang. Ende: Nusa Indah, 2006.