tag:blogger.com,1999:blog-13105290460643180472024-02-20T12:37:51.802-08:00filsafat-teologifabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.comBlogger52125tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-85894438496693387032010-12-06T21:00:00.000-08:002010-12-06T21:01:12.185-08:00IslamologiAGAMA ADALAH CINTA, CINTA ADALAH AGAMA<br />(Sebuah alternatife dalam membangun dialog antar Katolik dan Islam)<br />By Fabianus Selatang<br /><br />1. Pengantar <br />Opium untuk membangun dialog antar agama bukanlah wacana baru dalam perjalanan sejarah manusia dan agama. Dialog antar umat beragama sudah sejak lama didengung-dengungkan oleh manusia. Dialog ini adalah sebuah alternatife dalam membangun suatu pemahaman yang komprehensif mengenai agama lain dan bukan bermaksud untuk mencari kelemahan agama lain. Namun, upaya ini seakan dibantah oleh fakta di mana kekerasan dan penindasan atau intimidasi antara sesama masih saja menggeroti manusia.<br />Berbicara mengenai agama tidak terlepas dari manusia sebab hanya manusialah yang memeluk agama. Ketika kita berbicara mengenai manusia, maka mau tidak mau kita juga berusaha untuk menggeledah pemahaman manusia mengenai agama. Manusia yang bagaimana? Manusia yang mempunyai kesadaran akan dirinya dalam berelasi dengan sesamanya dan akan Allah yang disembahnya.<br />Konsep Agama adalah Cinta, Cinta adalah Agama merupakan sebuah usaha untuk membangun kesadaran dalam diri setiap penganut agama. Ungkapan di atas hendak menghantar manusia pada pemahaman dan pengertian yang mendalam tentang agama, bahwa agama bukanlah kumpulan orang-orang, bukan pula kumpulan ajaran-ajaran. Sebab jikalau agama dipahami sebatas itu, maka tak mengherankan tindakan kekerasan selalu mengatasnamai agama dan ajaran-ajaran agamanya menjadi tolok ukur kebenaran. Kekerasan dan tindakan sejenisnya kerapkali bersembunyi dibalik konsep-konsep agama yang dibangunnya. Jadi, segala sesuatu yang tidak masuk dalam bingkai konsep-konsep yang dibangunya, maka itu dinilai bertentangan dengan agama. Judul yang diusung oleh penulis dalam paper ini adalah “Agama adalah Cinta, Cinta adalah Agama” hendak membongkar peradaban pemikiran manusia yang dangkal tentang agamanya. Di bawah ini akan diuraikan secara mendalam mengenai hal ini. <br /><br /><br />II. Indetifikasi masalah<br />Agar uraian kita tidak melebar jauh dari judul ini, maka kita patut mengajukan beberapa pertanyaan antara lain; apakah yang dimaksud dengan agama adalah cinta, cinta adalah agama dalam pandangan Katolik dan Islam? Apakah esensi dasar dari cinta dan agama? Apakah yang sebenarnya aku cintai ketika aku mencintai Tuhanku? <br /><br />III. Agama adalah Cinta<br />Pertanyaan diawal uraian ini, apakah yang dimaksud dengan Agama? Untuk menjawab dan memahami pertanyaan ini, saya meminjam konsep David Caputo tentang agama. Agama yang ia maksudkan adalah cinta kasih Tuhan, sesuatu yang sederhana, terbuka. Dengan kata lain, agama adalah wilayah di mana cinta mendapat wujudnya secara konkret, nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun, agama juga adalah medan penuh paradoks yang harus disadari oleh setiap pemeluknya demi menghindari kesalahpahaman. Oleh Karena itu, agama bukanlah satu-satunya kebenaran. Agama hanyalah salah satu penawar alternatife kebenaran dan bukan penjamin kebenaran yang sifatnya mutlak. Penulis mencoba menguraikannya satu persatu.<br /><br />3.1. Agama adalah Medan Perwujudan Cinta<br />Agama apapun pasti medan perwujudan cinta. Tidak ada satu pun agama yang menampilkan hal-hal yang buruk. Agama tentu saja membawa nilai-nilai luhur, kebaikan bagi orang lain. Karena agama adalah medan perwujudan cinta, maka tidak ada tempat dan ruang dimana kejahatan dan tindakan yang bertentangan dengan itu yang dipraktikan dalam agama. Bagaimana dengan kenyataan yang terjadi, di mana agama secara tidak langsung memproduksi penganutnya untuk melakukan kejahatan dan kekerasan terhadap agama lain, lantaran atas nama agama? Dalam hal ini penulis berusaha mencari kesamaan pemahaman konsep agama dalam Katolik dan Islam.<br />Penulis mengakui bahwa baik agama Islam maupun Katolik, mengakui bahwa agama sebagai wadah cinta kasih Tuhan kepada manusia dan wadah di mana manusia mewujudkan Cintanya kepada Tuhan. Agama sebagai wadah Cinta kasih Tuhan. Artinya adanya agama karena kemurahan Tuhan, tetapi tidak disempitkan bahwa agama diciptakan oleh Tuhan. Agama ada karena Tuhan ingin dekat dengan manusia dan mau menyapa manusia. Allah ingin merasakan seperti yang dirasakan dan dialami oleh manusia. Lebih dari itu, melalui agama Tuhan hendak menyatakan kebesaran, kebaikan, kemurahan-Nya dan sebagainya. <br />Agama sebagai wadah dalam mewujudkan cinta Tuhan, dalam artinya agama sebagai tanggapan manusia terhadap panggilan Tuhan. Melalui agama manusia ingin menanggapi cinta Tuhan. Jadi, agama berarti cinta kasih Tuhan, baik dalam arti cinta kasih Tuhan kepada manusia maupun cinta kasih manusia terhadap Tuhan. Dalam pandangan Islam Cinta merupakan konsep yang paling penting dan agung. Kecintaan atau cinta merupakan azas keimanan seseorang. Nabi SAW dalam suatu hadist yang sangat terkenal bertanya kepada para sahabat tentang apakah iman yang sejati. Sahabat tidak mampu menjawab pertanyaan itu, lalu Rasulullah SAW bersabda: "Iman yang sempurna adalah mencintai semata-mata karena Allah, membenci semata-mata karena Allah, menjadi kekasih Allah sebagai kekasihNya, dan membenci sesuatu yang dibenci-Nya." Ungkapan ini, hendak melukiskan kedua hal di atas yakni jawaban manusia atas sapaan Allah yang nyata dalam Agama dan agar manusia bertumbuh dalam kasih dan cinta kepada Tuhan yang telah hadir secara nyata mewahyukan diri-Nya kepada manusia dalam agama. <br />Seorang teolog Katolik yakni Edward Schillebeekcx mengatakan bahwa agama itu pada dasarnya ialah sebuah pertemuan antara Allah dan manusia. Dalam pandangan Katolik, pertemuan antara Allah dan manusia mencapai kepenuhannya dalam diri Yesus Kristus. Perwahyuan diri Allah yang tampak dalam pribadi Yesus Kristus merupakan gambaran bahwa Allah ingin menyatu dengan manusia dan mau hidup bersama dengan manusia. Inilah ungkapan cinta yang paling dalam dari Allah kepada manusia. Ia memberikan putra tunggal-Nya, menderita, sengsara dan mati di Salib demi menebus dosa umat manusia. Nah, di sinilah titik temu konsep mengenai agama antara Katolik dan Islam. Jikalau konsep ini telah mengendap dalam diri para penganutnya, maka tidak sampai melakukan hal-hal di luar apa yang dinamakan agama adalah cinta. <br /><br />3.2. Agama adalah Medan Penuh Paradoks<br />Semua orang mengakui bahwa nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam setiap agama adalah nilai-nilai kebenaran yang menghantar setiap para penganutnya untuk menjadikan nilai kebenaran itu sebagai batu pijakan hidup. Namun, sadar atau tidak nilai-nilai kebenaran itu terimplisit suatu yang hal yang sifatnya paradoks. Dengan kata lain, ketika manusia masuk dan memeluk satu agama, maka manusia masuk dalam wilayah ketidakmungkinan yang mungkin. Misalnya, ketika manusia berbicara tentang iman, sesungguhnya manusia sekaligus berada dalam suatu wilayah yang bertolak belakang. Wilayah yang bertolak belakang yang dimaksud ialah satu sisi manusia mengatahui, tetapi disisi lain manusia tidak mengetahui perihal objek yang diimaninya, perihal sikap dan perilakunya sebagai orang yang beriman. Oleh karena itu, cinta menempati tempat dan ruang terdalam dari diri manusia, karena cinta manusia didorong dan dipacu untuk menanamkan sikap-sikap dan kabajikan manusiawi seperti kesabaran, kerendahan hati dan sebagainya. Dengan menyadari hal ini, setiap para penganut agama disadarkan untuk tidak mengklaim nilai kebenaran agamannya sebagai kebenaran yang sifatnya mutlak dan absolut dan memandang di luar agamannya tidak ada kebenaran.<br /><br />3.3. Agama adalah Medan Alternatife Kebenaran<br />Agama adalah medan alternatife kebenaran. Artinya agama bukanlah satu-satunya tolok ukur kebenaran sebagaimana yang yang dijelaskan di atas. Agama hanyalah salah satu komponen dari sekian komponen kebenaran. Agama tidak mutlak dalam dirinya sendiri. Agama hanya medan alternatife kebenaran dan bukan medan di mana kebenaran mendapat nilai kemutlakan. Agama mesti membuka ruang bagi kemungkinan lain. <br />Dalam setiap agama memang ada kebenaran, tetapi kebenaran dalam setiap agama tidak dimengerti secara sempit. Kebenaran dalam agama dipahami dalam pengertian kebenaran tanpa pengetahuan. Artinya, kebenaran tanpa pengetahuan mutlak dan tanpa klaim. Jikalau pengetahuan itu disertai dengan klaim, maka secara tidak langsung di sana pengetahuan itu membentuk dan memproduksi manusia untuk masuk dalam wilayah kesombongan. Jikalau setiap orang menganggap dirinya memiliki pengetahuan, maka sesungguhnya ia belum mencapai pengetahuan sebagaimana yang dicapainya. Pengetahuan yang dipahami disini berada pada wilayah di mana manusia mengakui apa yang sesungguhnya ia tidak tahu. Dalam kaitan dengan iman, iman adalah instrument yang memungkinkan manusia dapat melihat dan mengakui sesuatu yang melampaui pengertian dan pencarian akal budi. Iman hanyalah salah satu alternatife dari sekian alternatife. Oleh karena itu, pengetahuan pun bergantung pada iman dan iman adalah alternatife cara memandang, mengelola dan mengetahui sesuatu tatkala akal budi manusia tidak mampu menjelasakan sesuatu yang metafisis.<br />Dengan demikian, tidak satu pun agama yang mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang mempunyai kebenaran. Agama adalah salah satu medan alternatife kebenaran. Itu berarti di luar agama masih dapat ditemukan kebenaran yang bisa dipercaya misalnya kekuatan moral. Durkeim mengatakan bahwa :<br />“Agama tidak lagi menjadi suatu halusinasi yang tidak dapat dijelaskan. Sebaliknya dia mendapatkan suatu kepastian dalam realitas. Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa orang yang beriman tidak salah apabila ia percaya kepada adanya suatu kekuatan moral dan bahwa ia tergantung darinya dan apabila ia menganggap kekuatan moral sebagai sumber dari apa yang terbaik dalam dirinya.” <br /><br />IV. Cinta adalah Agama <br />Di atas telah diuraikan gagasan Agama adalah cinta, yang mana dikatakan bahwa agama adalah medan perwujudan cinta. Pada bagian ini kita akan menelisik gagasan cinta adalah Agama. Pertanyaannya, apakah konsep Cinta adalah agama hanya kebalikan dari konsep Agama adalah cinta di atas? Jawabannya tidak. Lalu bagaimana mendefinisikan gagasan cinta adalah Agama? Langkah pertama yang kita ambil adalah mendefinisikan cinta. <br /><br />4.1. Apa itu Cinta?<br />Cinta mempunyai arti pemberian diri yang utuh, total dan sebuah komitmen tanpa syarat. Apakah tolok ukur dari Cinta? Tolok ukur cinta adalah cinta tanpa tolok ukur. Dengan kata lain, cinta mengatasi segala hal. Melampaui apa-apa yang bisa diindrawi. Berbicara mengenai cinta ternyata cinta bukan sebagai suatu tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan cinta itu sendiri menjadi tujuannya. Cinta yang dimaksud ialah Allah sendiri. Oleh karena cinta bukan sebuah tujuan dalam dirinya sendiri, maka cinta mempunyai keterarahan keluar yakni kepada sesama, orang lain atau pada hal-hal yang konkret sekaligus mempunyai nilai transendental yakni kepada Allah Sang Cinta itu sendiri. <br />Karena cinta dari dirinya sendiri memiliki nilai transendental yakni terarah kepada Allah, maka cinta mengandaikan adanya perjuangan. Artinya, cinta yang terarah kepada Allah harus sejalan dengan usaha manusia dalam kehidupan konkret, harus diwujudnyatakan dalam kehidupan yang nyata. Pemahaman ini tidak berarti manusia boleh melakukan apa saja atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai agama, ajaran-ajaran agama, kemudian menamakan tindakan itu sebagai bentuk cinta pada Allah yang telah mewahyukan diriNya dalam agama. Pemahaman seperti ini, menjerumuskan manusia pada paham yang dangkal akan keberadaannya dan pemahamannya mengenai agama.<br />Usaha manusia untuk menjawabi sapaan Allah terungkap dalam agama. Kita dapat meminjam pertanyaan yang disampaikan oleh Agustinus “apa yang sebenaranya aku cintai ketika aku mencintai Tuhanku?” Pertanyaan yang senada kita dapat lontarkan mengenai agama. Apakah yang sebenarnya aku cintai ketika aku mencintai agamaku? Pertanyaan ini penting untuk dikemukan “sebab sudah cukup lama orang berdebat mengenai agama yang benar dan banyak pemeluk agama yang mendaku agamanya sendiri yang paling benar lalu menafikan agama yang lain.” Ketika manusia mencintai Tuhan atau mencintai agamanya, maka konsekuensinya ialah manusia harus menanggalkan ke-aku-annya atau keluar dari dirinya agar tidak terpenjara dalam cinta diri, kemudian mengenakan apa-apa yang dimiliki oleh Tuhan atau agama. Kiranya itulah yang menjadi jiwa yang menggerakkan kesadaran(ku) sebagai pribadi yang ada untuk Tuhan dan agama. <br /><br />4.2. Analogi Cinta Manusia Sebagai Refleksi akan Kebenaran Sejati<br />Cinta Tuhan kadang sulit dimengerti oleh manusia. Meskipun di atas telah dikatakan bahwa melalui agama, Allah hadir menyatakan diriNya kepada manusia, tetapi kesadaran manusia akan Allah yang demikian itu tidak dengan sendirinya dimengerti secara utuh dan penuh. Misalnya pemahaman Islam mengenai Allah dalam Al-Qur’an 49: 15 yang berbunyi “sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” Bagaimana kita pahami Allah dalam konteks ini? Masihkah kita berkata bahwa Allah itu sempurna, baik dan sebagainya sementara tindakan manusia yang menjalankan dan menganut ajaran agama sama sekali tidak menghadirkan sebuah opium mengenai Allah yang baik, sempurna, Mahatahu? Meskipun hal ini menimbulkan banyak pertanyaan, tetapi paling tidak kita telah dihantar untuk masuk dalam wilayah pemahaman Islam mengenai Allah yang secara nyata tertuang dalam ajaran-ajaran agamanya.<br />Kita dapat mengerti cinta Allah kepada manusia melalui analogi cinta manusia. Relasi cinta yang dibangun manusia diantara sesamanya merupakan gambaran sederhana yang dapat membantu kita dalam memahami cinta Tuhan. Itulah sebabnya kami mengatakan bahwa analogi cinta manusia sebagai refleksi akan kebenaran sejati. Kebenaran sejati yang dimaksudkan di sini ialah Allah sendiri. Allah adalah kebenaran mutlak yang merangkum semua kebenaran yang lain. Oleh karena itu, analogi cinta manusia dalam memahami cinta Tuhan merupakan suatu upaya atau refleksi akan Kebenaran sejati artinya refleksi manusia yang terarah kepada Allah. Jadi, dari seluruh uraian di atas, kita menemukan dengan pasti bahwa esensi cinta dan agama adalah Allah.<br /><br />V. Penutup<br /><br />5.1. Relevansi<br />Pristiwa nas kemanusiaan yang terjadi belakangan ini di mana banyak korban nyawa manusia antara lain serangan yang dilakukan oleh sekelompok manusia yang sering disebut terorisme. Kata teror sudah dengan sendirinya mempunyai arti negatife. Dalam kaca mata manusia pada umumnya, terorisme lahir dari kebencian dan rasa dendam terhadap sesuatu hal atau orang, dan masyarakat tertentu. Tindakan mereka yang rela mengorbankan dirinya adalah sebuah bentuk pemaknaan terhadap nilai-nilai atau ajaran agamanya. Atau suatu cara manusia dalam membela kebenaran nilai agama atas nama Allah. Pertanyaannya, apakah terorisme merupakan cetusan cinta terdalam terhadap Tuhan? Ataukah terorisme merupakan suatu indikasi akan kegagalan cinta? <br />Dalam kaitan dengan uraian mengenai agama adalah cinta, cinta adalah agama, mungki tidak salah kalau kita mengatakan bahwa teroris adalah gambaran atau simbol cinta yang gagal. Mengapa dikatakan symbol cinta yang gagal? Cinta mengandaikan adanya kesadaran diri. Cinta tumbuh dari kesadaran diri yang kemudian kesadaran itu mendorong dan menghantar manusia untuk sampai pada kesadaran yang tinggi yakni Allah. Jikalau tindakan para teroris merupakan ungkapan cinta terhadap Tuhan yang lahir dari kesadaran diri yang mendalam, kita mungkin menyangsikan kesadaran diri dan ungkapan cinta mereka yang demikian. Meskipiun dalam pandangan mereka apa yang mereka lakukan itu adalah baik oleh karena Nilai yang dipertaruhkan, kita juga dapat mengatakan bahwa kesadaran cinta yang demikian adalah ketidaksadaran akan kesadaraan diri. Sebab jikalau mereka sadar, mereka pasti tidak sampai bertindak demikian yang mengakibatkan banyak korban nyawa manusia. <br />Kita kembali pada persoalan yakni mengapa terorisme dikatakan symbol cinta yang gagal? Sebagaimana kami katakan sebelumnya bahwa cinta tidak mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri. Cinta itu sendiri adalah tujuannya. Lalu, bagaimana dengan agama? Agama pada prinsipnya baik. Agama selalu mengajarkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan sebagainya. Meskipun terorisme selalu dikaitkan dengan agama, tetapi kita tidak serta merta mengatakan bahwa agamalah yang memungkinkan mereka bertindak kekerasan. Wajah kekerasan yang ditampilkan oleh terorisme adalah wajah atas nama pribadi atau kelompok tertentu dan bukan wajah agama. Namun, betapa sulitnya kita membedakan antara tindakan atas nama pribadi dan atas nama agama. Seringkali keduanya disatukan sehingga yang dipersalahkan adalah agamanya dan bukan orangnya. Sejalan dengan pemikiran di atas, Caputo mengatakan bahwa masalah terbesar dalam agama adalah orang-orang yang beragama itu sendiri (tanpa mereka, catatan prestasi agama pastilah tak bernoda). Orang-orang yang beragama ini atau orang-orang religius ini yakni ”umat Allah”, adalah orang-orang dari yang tidak mungkin, hidup dalam hasrat cinta kasih yang membuat mereka resah dan gusar, “seperti rusa yang merindukan aliran air” kata pemazmur (Mzm 42:1) dan memang mereka adalah orang yang tidak mungkin. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa terorisme murupakan simbol cinta yang gagal. Sebab cinta yang gagal akan memukul rata semua orang sebagai musuh. Cinta yang gagal adalah cinta yang menyeragamkan. Cinta yang gagal membunuh akal sehat. Cinta yang gagal akan memiliki daya untuk menghancurkan, dan inilah sumber energi bagi terorisme. <br /><br />5.2. Kesimpulan <br />Agama diperuntukan bagi para kekasih Allah (yakni manusia) yang mencintai yang tidak-mungkin. Para kekasih Allah yang membuat kita di luar mereka tampak seperti bongkahan sepi, tanpa cinta. Namun, pada waktu yang bersamaan, mereka yang bergairah dan penuh cinta pada yang tidak mungkin ini (misalanya teroris) adalah orang-orang yang menukar secara membingungkan diri mereka dengan Allah yang kemudian mengancam kekebasan sipil atau sosial dan orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka yang mungkin dalam pikiran mereka juga tidak sependapat denga Allah. <br />Namun, sesungguhnya Allah tidak perlu dibela. Allah bisa membela diriNya sendiri. Allah bisa melakukan jauh dari apa yang dilakukan oleh manusia atau Allah bisa melakukan jauh dari apa yang tidak mungkin bagi manusia. Oleh karena itu, gagasan agama adalah cinta, cinta adalah agama membuka pemahaman baru mengenai agama sehingga terciptalah ruang dialog yang dialogal. <br />Prinsip keraguan. Penting membangun suatu prinsip keraguan, sebab dengan itu kita dapat melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang luput dari perhatian kita. Dalam kaitan dengan cinta kepada Allah dan manusia, yang kita butuhkan di dalam mencintai adalah sedikit keraguan. Keraguan membuat kita terus menerus haus dan merasa diri belum utuh dan penuh. Keraguan menjauhkan kita dari sikap ekstrem. Hidup keagamaan yang tidak disertai sedikit keraguan membuat kita tak bedanya dengan robot-robot ideologis yang bermental fundamentalis. Tanpa keraguan cinta akan mudah lelah, gagal dan bisa jadi kemudian cinta kita berubah menjadi kebencian. Inilah mekanisme jiwa para teroris. Pola inilah yang pelan-pelan harus kita sadari dan hindari. <br />Cinta yang sejati selalu memberi ruang untuk kebencian, supaya cinta tidak jatuh dan berubah menjadi kebencian murni. Inilah salah satu paradoks dan ironi kehidupan yang masih jauh dari pemahaman kita sebagai bangsa yang mengaku bermoral dan beragama, tetapi tidak pernah berani menyentuh keraguan sebagai obat untuk tetap waras. Akibatnya kita merasa bermoral sekaligus membenci dalam waktu yang sama kepada penganut agama lain dan lebih fatal jikalau dalam diri para penganut sudah tumbuh benih pengklaim kebenaran agama. <br />Pengklaim-pengklaim terhadap kebenaran dalam agama tak jarang mencipta ruang konflik dan bahkan melahirkan sikap kekerasan. Adanya anggapan dan pengakuan yang mutlak terhadap kebenaran agamanya sendiri, mengkerdilkan konsep kebenaran itu sendiri dan akhirnya orang lain seakan dipaksa untuk masuk dalam kerangka berpikir yang dibangunnya. Sikap dan cara pemaknaan terhadap agama atau nilai-nilai yang terkandung di dalam agama yang demikian karena didasarkan pada suatu klaim yang sifatnya mutlak, statis dan kaku. Seperti yang dikatakan oleh Purwanto bahwa ”setiap pemeluk agama, bahkan setiap penganut prinsip tertentu mengimani bahwa ia berada dalam kebenaran dan orang selainnya berada dalam kebatilan, atau seperti disinyalir dalam Al-Quran (Al-Baqorah; 256) ia beriman kepada agama dan prinsipnya serta kafir kepada selain.” <br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />BUKU SUMBER<br />Caputo, John D., agama Cinta- agama Masa depan, Bandung: Mizan, 2001.<br /><br />Handoko, Petrus Maria, Diktat Kuliah Sakramentologi I, STFT Widya Sasana Malang. <br /><br />Keene, Michael, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Kanisius, 2010.<br /><br />Leahy, Louis, Manusia di hadapan Allah - Edisi kedua, Gunung Mulia: Kanisius, 1984.<br /><br />Purwanto, Mencari Agama Yang Benar Melalui Kodifikasi Kitab Suci, Tangerang: ili Y <br />Press, 2004.<br /><br />Sudiarja, A., Agama (di Zaman) Yang Berubah, Yogyakarta: Kanisius, 2010..<br /><br /><br />INTERNET<br />AliHassan, Konsep Cinta dalam Islam, http://yayasan-aalulbayt.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1:konsep-cinta-dalam-islam&catid=62:artikel, Diakses hari Sabtu, 23-1-2010.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-7424027924311656252010-12-06T20:55:00.000-08:002010-12-06T20:57:40.719-08:00Filsafat ModernLEGITIMASI KEKUASAAN LEWAT POLITIK PENAKLUKAN<br />MENURUT MACHIAVELLI<br />By Fabianus Selatang<br /><br />1. Pengantar<br />Wilayah eksplorasi etika politik Machiavelli berada pada wilayah kekuasaan. Berbicara mengenai kekuasaan berarti juga berbicara tentang manusia, sebab yang menjalankan kekuasaan adalah manusia. Manusia yang dimaksudkan di sini tidak lain adalah pemimpin negara. Seorang pemimpin negara dengan segala kapasitasnya berhak mengendalikan dan mengantur negaranya dari serangan warga negaranya sendiri atau dari luar. Kekuasaannya bersifat mutlak. Ia berkuasa dalam segala hal demi menjamin sebuah negara yang aman dan kondusif. Mengutip kata-kata Machiavelli bahwa “tugas pemerintah yang sebenarnya adalah mempertahankan serta mengembangakan dan mengekspansikan kekuasaan karena itu dibutuhkan kekuatan sebagai unsur intergral dan elemen paling esensial dalam politik”. Jadi, seorang pemimpin negara dengan kekuasaan yang dimilikinya mampu mengakomodasi segala kepentingan yang berkaitan dengan ketahanan sebuah negara. <br />Dalam rangka meningkatkan stabilitas yang aman dan kondusif, negara membangun sebuah sistem kekuasaan yang sifatnya mutlak. Artinya apa pun yang dilakukan oleh seorang pemimpin negara, sekalipun itu buruk tetap dipandang baik. Itu karena legitimasi kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Dalam arti tertentu tindakan seorang pemimpin negara tidak dituntut untuk mempertanggungjawabkan tindakannya dari siapapun. Ia tidak peduli pada tuntutan masyarakat atas wewenang legitimasi kekuasaannya. <br />Machiavelli adalah salah satu tokoh yang lahir di zaman renainsans dan tokoh perintis yang menggagas konsep negara yang berada sepenuhnya di bawah tangan sang penguasa. Usahannya dalam merumuskan negara di mana negara tidak boleh tunduk pada agama merupakan sebuah gebrakan yang besar terhadap paham negara pada abad pertengahan yang selalu mengagungkan dan menjunjung tinggi manusia sebagai citra Allah. Penulis dalam paper ini berusaha menampilkan gagasan Machiavelli tentang legitimasi kekuasaan seorang penguasa negara. Dalam kajian dan uraian ini, penulis juga berupaya melihat implikasi praktis gagasannya ini terhadap model kepemimpinan negara dewasa ini. Tak dapat dipungkiri bahwa jiwa kepemimpinan seorang kepala negara dan dalam menjalankan kekuasaan negaranya masih dibarengi dengan nilai-nilai dan kebenaran agama yang dianutnya. Machiavelli pun dalam uraiannya mengenai negara tidak terlepas dari agama. Oleh karena itu, mengutip kembali kata-kata Machiavelli bahwa ulasan mengenai substansi kekuasaan,…,organisasi militer dengan pernyataan-pernyataan politis yang kontroversial tetap menarik perhatian dunia. <br /><br />II. Identifikasi masalah<br />Pertanyaan yang muncul adalah apakah yang dimaksud dengan kekuasaan dalam pandangan Machiavelli? Uraian mengenai legitimsai kekuasaan melalui politik penaklukan menurut Machiavelli pada akhirnya menghantar kita pada sebuah diskursus hubungan negara dan agama. Bagaimana hubungan antara agama dan negara? Sejauhmana agama mengambil bagian atau berperan dalam negara? Persoalan inilah yang ditelisik oleh penulis dalam paper ini.<br /><br />III. Inti paham kekuasan politik Machiavelli<br />Inti paham kekuasaan politik yang dimaksudkan di sini adalah bahwa hakikat kekuasaan politik bersifat duniawai dan manusiawi. Artinya penaklukan kekuasaan selalu bersentuhan dengan manusia sebagai ornament dalam sebuah tatatan mansyarakat dan kekuasaan itu kekuasaan manusiawi atau selalu berangkat dari realitas manusia yang konkret dan aktual. Sebelum masuk lebih jauh dalam kajian mengenai hal ini, baiklah kita merumuskan arti kekuasaan. <br /><br />IV. Apa yang Dimaksud Dengan Kekuasaaan <br />Uraian mengenai kekuasaan dengan sangat indah dan mendalam diuraikan dalam bukunya yang berjudul Sang Penguasa. Buku ini ditujukan kepada penguasa Florence, Lorenzo De’Medici yang sedang berkuasa pada waktu itu. Maha karya ini dengan sangat tajam mengupas citra seorang penguasa. Menurut dia menjadi raja berarti menjadi seorang penguasa. Penguasa yang disegani oleh siapa saja. Selain itu, dalam buku ini berisiskan nasehat bagaimana mempertahankan sebuah kekuasaan. Menurut Machiavelli seorang raja boleh melakukan apa saja atau menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan. Dengan kata lain, seorang penguasa tidak perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral. Pendapat Machiavelli ini bertolak dari kondisi riil tingkah laku politik anggota masyarakat masing-masing negara yang telah diamati oleh Machiavelli.<br />Gagasan yang dikemukannya di atas sungguh menarik untuk dicermati khususnya soal “seorang penguasa tidak perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral”. Apa artinya hal ini? Penguasa bukanlah personifikasi dari keutamaan-keutamaan moral. Dengan demikian pertimbangan-pertimbangan baik-buruk suatu tindakan penguasa tidak bergantung dan bertolak dari kemauan dan penilaian masyarakat, tetapi bertolak dari segi efisiensi secara politik. Dengan kata lain, tindakan yang diambil oleh penguasa tidak berdasarkan kepentingan rakyat. Akan tetapi, tergantung dari keadaan dan desakan situasi sosial. Seorang penguasa tidak perlu takut akan kecaman yang timbul karena kekejamannya selama ia dapat mempersatukan dan menjadikan rakyat setia, dan demi keselamatan negara. Menurut Machiavelli seorang penguasa jauh lebih baik ditakuti oleh rakyatnya daripada dicintai.<br />Jadi, tugas penguasa adalah mengamankan kekuasaan yang ada ditangannya agar dapat bertahan dengan langgeng. Tujuan berpolitik adalah memperkuat dan memperluas kekuasaan. Untuk itu segala usaha yang dapat mensukseskan tujuan dapat dibenarkan. Legitimasi kekuasaan membenarkan segala teknik pemanipulasian supaya dukungan masyarakat terhadap kekuasaan tetap ada. Keagungan seorang penguasa tergantung pada keberhasilannya mengatasi kesulitan dan perlawanan.<br />Seorang penguasa yang bijaksana tidak harus memegang janji apabila akan merugikan diri sendiri dan tidak ada alasan yang mengikat. Seorang penguasa tidak akan kehabisan alasan untuk menutupi tipuannya dan kelihatan seolah-olah baik. Seorang penguasa yang bijaksana mampu melihat dan membaca situasi yang mengancamnya dan memperkecil bahaya yang dapat ditimbulkannya. Oleh karena itu, seorang penguasa sedapat mungkin memahami masalahnya sendiri (unsur internal), lalu menghargai pemahaman orang lain (unsur eksternal), akhirnya menegasi pernyataan pertama dan kedua yakni tidak memahami masalah sendiri dan tidak menghargai pemahaman orang lain. Dari ketiga hal di atas sikap yang terakhir yang dipandang buruk. Dari mana pun datangnya nasihat yang bijaksana, tergantung dari kebijaksanaan penguasa, dan kebijaksanaan sang penguasa tidak tergantung pada nasihat yang baik. <br /><br />V. Legitimasi Kekuasaan Melalui Politik Penaklukan <br />Apa yang dimaksud dengan legitimasi kekuasaan? Pertanyaan ini dapat kita temukan jawabannya dalam uraian mengenai kekuasaan di atas. Machiavelli mengatakan bahwa seorang raja boleh melakukan apa saja atau dengan kata lain menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan. Penyataan ini dengan jelas juga dirumuskan oleh Max Weber bahwa “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apa pun dasar kemampuan ini”. Akan tetapi, kekuasaan yang dimaksudkan oleh Machiavelli lebih pada kekuasaan negara. Dengan demikian, legitimasi kekuasaan negara berada pada posisi di mana dengan segala kemampuannya dan wewenangnya ia sedapat mungkin mengakomodir sebuah negara. Kewenangan adalah ciri khas kekuasaan negara.<br />Dalam pemikiran Machiavelli fakta kekuasaan adalah legitimasinya. Artinya kekuasaan pada posisi ini diakui sebagai sarana dan fondasi untuk mempertahankan negara secara mutlak demi kekuasaan itu sendiri. Negara identik dengan penguasa tunggal yang bedaulat dengan kekuasaan penuh berupaya tiada henti mempertahankan kekuasaan demi keutuhan negara dari ancaman manapun, termasuk warga negaranya sendiri. Jadi, kebijakan stabilisasi kekuasaan demi pertumbuhan kekuasaan itu sendiri menjadi ciri dan perhatian utama.<br />Sebagaimana yang dikatakan pada bagian pengantar di atas bahwa berbicara mengenai kekuasan juga bersentuhan dengan manusia. Oleh karena itu, baiklah kita menilisik konsep mengenai manusia menurut Machiavelli. Antropologi manusia dalam kaca mata Machiavelli bersifat negatife bahkan pesimistis. Hal ini terungkap dengan jelas dalam pandangannya bahwa manusia adalah makhluk irasional yang tingkahlakunya diombang-ambingkan oleh nafsu-nafsu dan pada dasarnya manusia itu buruk. Dari pandangan antropologi tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep manusia dalam konteks kekuasaan adalah objek yang bisa dimanipulasi karena tidak mempunyai kapasitas rational yang bisa memobilisasi nafsu-nafsunya. Akan tetapi, sisi lain manusia juga bersifat reaktif tatkala berhadapan dengan kekuasaan yang otoriter. Oleh karena itu, langkah politik yang diambil oleh seorang panguasa adalah menarik simpati rakyat dengan pelbagai bantuan dan menyatukan mereka melalui kepentingan mereka. Hal ini hanya mungkin jikalau seorang penguasa sedapat mungkin mengendalikan dorongan-dorongan, reaktif masa terhadap penguasa.<br />Dengan kelihaian dan keterampilan dalam memainkan perannya ini berarti penguasa juga telah memanfaatkan sifat dasar manusia. Akan tetapi, tindak dan sikap penguasa tidak boleh bertentangan dengan hukum karena hukum diidentikan dengan dirinya. Jikalau hukum identik dengan dirinya maka pengandaianya hukum ada karena desakan akan adanya kebutuhan untuk menjaga opini publik tentang dirinya dan negara. Jadi, sah saja bila hukum itu memaksa dan membatasi rakyat supaya kekuasaan penguasa terjaga. Rakyat menjadi objek pengawasan penguasa. Akhirnya, penguasa itu adalah kekuasaan, dan dia adalah penakluk.<br /><br />VI. Hubungan antara agama dan negara<br />Machiavelli yang lahir dan hidup di Firenze Italia dianggap juga sebagai pelopor pemikiran konsep negara sebagai karya seni. Dalam kaitan dengan konsep kekuasaan, Machiavelli beranggapan bahwa pertimbangan kebaikan dan nilai moral bisa ditinggalkan demi keberhasilan politis. Gagasan ini senada dengan apa yang telah diungkapkan pada point mengenai kekuasan di atas. Pertimbangan moral dan agama dianggap tidak relevan dalam kehidupan politik. Dengan kata lain, ajaran-ajaran moral dan dogma-dogma agama pada dirinya tidak begitu penting, tetapi hal itu akan berfungsi dan penting sejauh memberikan sumbangan untuk mempertahankan negara. Jadi, fungsi dan peran agama sifatnya skunder. Nilai-nilai yang terkandung dalam agama dibutuhkan apabila dipandang baik dan bermanfaat bagi negara.<br />Pikiran dasar buku Il Principe adalah, demi suatu keberhasilan seorang penguasa harus mengabaikan kepentingan moral sepenuhnya. Sebaliknya, penguasa harus mengandalkan segala sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Dalam bukunya itu Machiavelli memberikan nasehat, demi persatuan bangsa, tidak masalah jika penguasa mempraktekkan kekerasan dan kekejaman kepada rakyatnya. <br />Deliar Noer dalam bukunya yang berjudul "Pemikiran Politik di Negeri Barat" melukiskan dengan sangat jelas bagaimana pandangan Machiavelli tentang agama dalam kaitan dengan negara;<br />“Machiavelli sangat mengagung-agungkan kemasyhuran, kemegahan dan kekuasaan, sehingga demi itu moral dan hukum dapat diabaikan. Machiavelli berprinsip, kepatuhan pada hukum tergantung pada soal apakah kepatuhan ini sesuai dengan nilai-nilai kemegahan, kekuasaan dan kemasyhuran. Demi itu pula, kalau memang diperlukan, maka tindakan seperti penipuan boleh saja dilakukan, termasuk menggunakan agama sebagai alat untuk kepentingan kekuasaan. "Ia mengakui bahwa agama mendidik manusia menjadi patuh, dan oleh sebab kepatuhan itu perlu untuk kesuksesan seorang yang berkuasa, maka perlulah agama itu. Jadi, agama itu diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung agama itu”. Lebih lanjut dikataka bahwa "dalam hal nilai-nilai agama, menurut Machiavelli, kalau perlu diperlihatkan, ini sungguhpun tidak merupakan keyakinan. Demikian pula nilai-nilai lain, ia dapat dipergunakan secara pura-pura saja. Dalam mengikat janji, kata Machiavelli, perlihatkanlah bahwa engkau seakan berpegang teguh padanya, meskipun batinmu menolak," tambah Deliar. <br /><br />VII. Relevansi<br />Gagasan kekuasaan yang dicetus oleh Machiavelli, rupa-rupanya pernah terjadi di Indonesia. Sekilas kita melihat bahwa konsep politiknya Machiavelli sesungguhnya menginginkan kekuasaan absolut di tangan seorang raja atau penguasa. Persis inilah yang terjadi pada zaman orde baru. Pada zaman orde baru model dan sistem kepemerintahan sifatnya diktator. Kekuasaan sepenuhnya berada di tangan presiden. Dari praktik kekuasaan seperti ini, dengan sendirinya lahir sebuah tuntutan agar orang tunduk dan patuh pada pemimpin negara. Presiden mempunyai kekuasaan yang tak terbatas. Presiden saat itu menggunakan tangan kanannya yakni militer dan para kroni-kroninya memberikan sokongan dana untuk melancarkan kekuasaan yang tak terbatas tersebut. <br />Kritik penulis terhadap gagasan Machiavelli. Pertama, Menurut penulis di sana pemerintah atau penguasa mereduksi nilai kebebasan setiap orang untuk mengaktualisasi daya-dayanya. Pereduksian nilai kebebasan dengan sendirinya berarti menyangkal hakikat manusia sebagai yang ada untuk orang lain. Jikalau manusia hanya dipandang sebagai objek, maka nilai terdalam dari eksistensi manusia sebagai pribadi seakan disamakan dengan benda, yang selalu dipandang dari nilai kegunaannya. Menurut penulis, pada titik ini sesungguhnya Machiavelli mengalami titik terendah akan makna hakikat manusia. <br />Kedua, jikalau moral dan agama dianggap tidak relevan dalam kehidupan politik, maka yang terjadi adalah chaos. Tatanan hidup manusia semakin buruk. Tidak ada nilai atau norma yang mengatur tingkah laku manusia. Manusia dapat bertindak sesuka hatinya. Manusia bisa membunuh sesamanya. Tak mengherankan terjadi Dehumanisasi. Dengan demikian, dapat dikatakan manusia tidak lebih dari binatang yang hanya dikontrol menurut naluri lahiriah semata. Nilai-nilai moral dan agama hanya diukur dari segi kegunaan. Jikalau baik, maka dipakai, sebaliknya diabaikan atau tidak berguna jikalau tidak memberikan sumbangan bagi kehidupan politik. Cara pandang seperti ini jatuh pada paham materialistik. Akhirnya, penulis mengakui bahwa konteks gagasan ini, memang tidak terlepas dari situasi zaman di mana Machiavelli hidup. Dalam konteks hidup sekarang, pandangan ini hampir pasti ditolak karena agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Agama memberikan sumbangan yang berarti bagi kebijakan pemerintah dalam mengambil keputusan. Setiap keputusan yang diambil hampir pasti selalu digandengkan dengan agama dan moral. Agama dan moral sebagai penjamin kehidupan manusia dalam mewujudkan jati dirinya sebagai pribadi yang ber-Tuhan dan bermasyarakat.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />BUKU SUMBER<br />Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: <br /> Gramedia Pustaka Utama, 2004.<br /><br />Machiavelli, Niccolo. Sang Penguasa. Jakarta: Gramedia, 1987.<br />Suseno, Franz Magnis. Etika Politik. Jakarta: Gramedia, 1988.<br />SUMBER INTERNT<br /><br />http://forum.kompas.com/showthread.php?13761-Machiavelli-Lebih-Ditakuti-daripada-Dicintai-Rakyat, Diakses hari Kamis, 14-10-2010.<br /><br />http://bumiayubook.drupalcafe.com/node/5, Diakses hari Kamis, 14-10-2010.<br />http://djokoyuniarto.multiply.com/journal/item/14/Pemikiran_Niccolo_Machiavelli,Diakses hari Kamis, 14-10-2010.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-12213656912904008132010-12-06T20:52:00.000-08:002010-12-06T20:53:25.291-08:00Antropologi BudayaTEING HANG KEPADA ARWAH NENEK MOYANG<br />DAN SUMBANGANNYA TERHADAP KEBUDAYAAN NASIONAL<br />(Sebuah Analisis Kritis Atas Kearifan Lokal Budaya Manggarai)<br />By Fabianus Selatang<br /><br />I. Pengantar<br />Setiap daerah atau tempat mempunyai kekhasan budaya. Budaya yang dianut disuatu tempat tentu mempunyai makna dan nilai serta pesan moral etisnya masing-masing. Nilai dan maknanya hanya mungkin kita pahami dan mengerti apabila kita masuk dalam budaya tersebut atau paling kurang menimba percikan-percikannya melalui dan dalam penghayatan oleh masyarakat yang bersangkutan.<br /> Dewasa ini, rasionalitas (cara berpikir kritis) menguasai alam pemikiran manusia. Segala sesuatu selalu didasarkan dan dibangun dalam sebuah konstruksi pikiran yang logis dan masuk akal. Pisau bedah untuk membuktikan kebenaran sesuatu adalah rasio. Apa-apa yang bisa dijelaskan dengan rasio itulah yang dapat diakui dan diterima oleh manusia. Oleh karena itu, rasio mejadi patokan kebenaran. Segala sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dengan sendirinya ditolak atau dipertanyakan. Jadi, rasio menduduki tingkat paling atas dalam tatanan hidup manusia. Apakah rasionalitas mampu menjelaskan kedudukan upacara Teing Hang?<br />Te’ing Hang adalah salah satu kearifan lokal budaya manggarai. Masyarakat Manggarai mengamini dan percaya bahwa roh atau arwah nenek moyang masih hidup, sehingga tetap membangun relasi dengan mereka yang telah meninggal. Pernyataan di atas menjadi kebenaran yang mendasari penghormatan kepada arwah nenek moyang secara khusus dalam upacara Teing Hang. Upacara Teing Hang hampir pasti ada di setiap daerah, agama, suku. Akan tetapi, caranya yang mungkin berbeda. Namun, yang menjadi persoalan adalah mengapa harus diberi makan atau Teing Hang? Apakah ini sebuah bentuk penyembahan berhala? Ketika orang mendengar kata Teing Hang mungkin yang terlintas dalam pikiran mereka adalah sebuah bentuk praktik penyimpangan terhadap agama.<br />Kajian terhadap problematis di atas secara rasional barangkali dapat melahirkan sikap skeptis terhadap bentuk budaya seperti ini. Dalam tulisan ini, penulis berusaha sedapat mungkin mengkaji dan menggeledah serta membutikan semua asumsi di atas.<br /><br />II. Teing Hang Kepada Arwah Nenek Moyang<br />2.1. Arti FrasaTeing Hang<br />Teing Hang terdiri atas dua kata. Teing artinya memberi. Hang artinya makanan. Jadi, frasa Teing Hang berarti memberi makanan. Yang dimaksud di sini ialah Teing Hang kepada arwah nenek moyang yang telah meninggal. Teing Hang merupakan salah satu kearifan lokal budaya Manggarai. Budaya Teing Hang tentu saja sudah lama dipraktikan di Manggarai dan sudah mendarah daging dalam diri masyarakat orang Manggarai. Yang mendasari upacara Teing Hang ini adalah karena adanya sebuah keyakinan dan kepercayaan akan adanya kehidupan setelah kematian. Keyakinan dan kepercayaan ini sejalan dengan iman Kristiani. Dengan demikian, upacara Teing Hang tidak terlepas dari iman Katolik. Pratik keagamaan yang berpusat pada penghormatan, cinta dan kenangan akan para leluhur sudah berumur setua iman akan Allah. <br />Dalam upacara seperti ini harus ada hewan korban. Umumnya binatang yang dikorbankan adalah ayam, babi, kerbau, atau kambing. Setelah hewan korban disembelih maka diambil sebagian dari bagian-bagian tertentu dari hewan korban itu misalnya hati, dada dan kepala. Setelah dibakar ketiga bagian dari hewan korban itu, dagingnya diiris lalu dicampur dengan nasi. Orang yang memimpin upacara ini memanggil roh nenek moyang dan memberikan nasi dan air, seperti layaknya memberi makan manusia yang masih hidup. Sejenak kita mungkin berpikir apakah ini tidak berlebihan? Kita bisa menjawab, tidak. Tidak. Upacara Teing Hang bukan hal yang berdiri sendiri dari iman. Upacara Teing Hang justru lahir dari iman akan Allah yang hidup. <br />Konteks upacara ini dilasanakan. Upacara Teing Hang ini dilaksanakan dalam berbagai konteks, bentuk dan dengan tujuan tertentu. Misalnya saat membuka kebun baru, penti , wu’at wa’i , penutup tahun dan pembuka tahun yang baru dan seterusnya. Meskipun konteksnya berbeda, tetapi makna, tujuan dan isi dibalik upacara Teing Hang tetap sama yakni menghormati para leluhur dan memohon perlindungan kepada Morin Kraeng (Tuhan Mahakuasa) melalui para leluhur. Isi permohonan ini akan kita lihat dalam uraian selanjutnya dan secara jelas kami akan memperlihatkan hal ini melalui goet (ungkapan) khas Manggarai dalam upacara Teing Hang.<br />Di atas telah dikatakan bahwa dalam upacara Teing Hang selalu ada hewan korban dan dari hewan korban itu diambil tiga bagian tertentu. Pertanyaan yang patut dilontarkan di sini adalah mengapa hanya mengambil tiga bagian tertentu dari hewan korban itu? Apa maknanya? Pertanyaan ini memang tidak mudah dijawab. Apalagi tidak ada sumber tertulis yang menerangkan dan menjelaskan hal itu. Namun, penulis menggali informasi mengenai hal itu melalui tradisi lisan yang pernah dilihat dan dialami selama ini. <br />Pertama, orang Manggarai menyakini bahwa ketiga bagian itu mewakili keseluruhan dari binatang yang dikorbankan itu. Ketiga bagian itu merupakan simbol penyerahan yang total dari pihak keluarga yang menyelenggarakan upacara. Bahwa binatang itu adalah ciptaan Tuhan. Binatang itu hanya dititip kepada manusia untuk dipelihara. Maka, sekarang pun binatang itu diserahkan semuanya kepada Tuhan. Tidak satu bagian pun yang dinikamati oleh manusia yang memeliharanya. Semuanya diberikan kepada Tuhan. Jadi, ketiga bagian yang diambil dari binatang korban itu mengandung makna simbolis.<br />Kedua, dalam tradisi orang Manggarai apabila ada tamu penting yang berkunjung ke suatu keluarga, hewan yang disembelih dan yang disajikan kepada tamu tersebut harus lengkap, tidak boleh ada yang kurang. Dengan ini pihak keluarga yang menerima menunjukkan rasa penghormatan yang mendalam kepada tamu tersebut dan melayani tamu tersebut dengan sepenuh hati. Tradisi lisan ini entah secara langsung atau tidak langsung juga ikut memengaruhi konsep upacara Teing Hang arwah nenek moyang. Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa binatang yang dikorbankan diserahkan seluruhnya kepada arwah nenek moyang. Meskipun dalam praktiknya hanya diambil ketiga bagian seperti yang disebutkan di atas, tetapi makna dibalik itu sangat mendalam. Jadi, ungkapan simbolis ketiga bagian dari binatang yang dikorbankan itu adalah sebuah penyerahan diri yang total dan seutuhnya. <br />2.2. Teing Hang: Suatu Ungkapan Penghormatan<br />Upacara Teing Hang merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada arwah nenek moyang. Masyarakat Manggarai menyakini bahwa kendatipun nenek moyang tidak tampil secara lahiriah, tetapi mereka tetap ada bersama mereka yang masih hidup. Upacara Teing Hang ini bukan sekedar ritual belaka atau karena menjadi kebiasaan yang sudah diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun. Masyarakat Manggarai sungguh-sungguh percaya bahwa di balik upacara Teing Hang kepada arwah nenek moyang terungkap suatu credo atau pengakuan dan kepercayaan kepada Wujud Tertinggi yang disebut Mori(n) Kraeng yang telah memberikan nafas kehidupan kepada manusia. Sehingga dalam setiap upacara Teing Hang nama Morin Kraeng selalu disebutkan pertama. Namun, penyebutan nama Morin Kraeng bukan hanya bertujuan untuk mengelabui orang lain sehingga tidak menilainya sebagai sebuah praktik penyembahan berhala, melainkan sungguh-sungguh lahir dan tumbuh dari kesadaran bahwa hakikat penghormatan kepada arwah nenek moyang atau para leluhur tidak pernah terlepas dari Morin Kraeng.<br />Sebagaimana dalam upacara ini ada perantara yang bisa berkomunikasi denga arwah para leluhur, demikian pula upacara Teing Hang menjadikan arwah nenek moyang menjadi perantara kepada Morin Kraeng. Dalam upacara Teing Hang biasanya salah seorang dipercayakan untuk menjadi pemimpin. Dia yang mengucapkan kata-kata adat atau goet dalam bahasa Manggarai. Orang yang dipercayakan untuk memimpin acara ini bukan orang sembarang, melainkan orang yang sungguh dihormati dalam suatu kampung atau mempunyai peran penting dalam sebuah suku atau orang yang dituakan karena pandai merumuskan dan merangkai kata-kata adat. Dialah perantara yang bisa berhubungan dan bisa berbicara dengan roh nenek moyang.<br />2.3. Mori (n) Kraeng<br />Upacara Teing Hang selalu digandengkan dengan Morin Kraeng (Tuhan Mahakuasa), maka baiklah kita menjelaskan bagaiman konsep Morin Kraeng sebagai Wujud Tertinggi dalam kaitannya dengan upacara Teing Hang. Di sini kita membedakan kata Mori dan Morin. Kata Mori (dalam pelbagai dialek Muri) berarti tuan, pemilik, penguasa, ketua. Seorang atasan bisa dipanggil mori. Kata ini bisa juga dipakai sebagai sebutan manja kepada anak-anak. Jadi, tidaklah secara ekslusif dipakai mengenai atau terhadap Tuhan. Namun, jikalau kata Morin dipakai tanpa menambahkan kata penentu jadi berarti “Tuhan Tertinggi”. Kata morin yang ditambah dengan kata penentu misalnya dalam frasa morin jarang hitu berarti ‘si pemilik kuda itu’. Dengan adanya akhiran (n) Mori dan tanpa diikuti kata penentu menjadi nama Allah yang paling lazim dipakai di Manggarai yang menunjukkan hubungan antara Allah dengan yang tunggal khususnya alam semesta termasuk manusia. Dari konsep Morin Kraeng di atas menjadi jelas bahwa upacara Teing Hang selalu terkait dengan Allah yang menciptakan manusia dan juga mengandung nilai penghormatan kepada Allah. <br />Upacara Teing Hang membidani kesadaran orang Manggarai bahwa hidup ini tidak hanya berakhir dengan kematian. Dengan adanya penghormatan kepada arwah nenek moyang khususnya melalui upacara Teing Hang, hubungan manusia dengan Tuhan semakin dekat dan mendalam. Allah dekat dengan manusia sebagaimana orang Manggarai menganggap roh atau arwah nenek moyang dekat mereka.<br />2.4. Teing Hang Sebuah Penyembahan Berhala atau kepercayaan?<br />Setelah kita melihat arti kata Teing Hang dan maknanya serta konsep Morin Kareng dalam budaya Manggarai di atas, maka kita perlu melihat pendasaran mengenai hal itu dengan menelisik kepercayaan atau sistem religi orang Manggarai. Hal ini penting untuk melihat dasar adanya penghormatan melalui upacara Teing Hang kepada arwah nenek moyang.<br /> Pertama-tama harus dikatakan bahwa dalam masyarakat Manggarai, satu bentuk tradisi keberagamaan yaitu agama lokal dan yang sering dilakukan adalah acara Teing Hang. Acara Teing Hang dilaksanakan oleh masyarakat Manggarai yang beragama lokal untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal yang diyakini mempunyai kekuatan supra empiris. Artinya memiliki kekuatan-kekuatan yang melampaui segala hal yang bisa diindrai. Upacara ini kadang dilakukan oleh masyarakat yang beragama lokal di Manggarai di bawah pohon besar (langke), batu besar dan mata air/temek untuk mempersembahkan kepada arwah nenek moyang atau leluhur yang menjaga benda-benda tersebut dan diyakini mempunyai kekuatan supra empiris. Dengan adanya praktik keagamaan seperti ini, maka ada anggapan bahwa masyarakat Manggarai adalah agama kafir dan berkepercayaan anismis. <br />Namun, anggapan ini merupakan suatu kesalahan. Pemberian nama “animis” terhadap orang Manggarai yang menganut sistem religi asli dengan maksud agar tidak disebut ‘kafir’. Penyebutan atau pemberian nama ‘animis’ ini sungguh menyesatkan. Padahal aktivitas religi asli orang Manggarai adalah “monoteis implisit” sebab dasar religinya menyembah Tuhan Maha Pencipta (dalam ungkapan manggarai “Mori Jari Dedek, Ema pu’un Kuasa), walaupun terdapat praktik penyembahan selain di ‘compang’ (rumah adat, mesbah untuk sesajian). Mesbah juga terkadang di bawah pohon-pohon besar yang dianggap angker dan suci. Jadi, Teing Hang bukan penyembahan berhala melainkan lahir dari keyakinan agama asli Manggarai.<br />Istilah ‘monoteis implisit’ secara jelas terungkap dalam doa-doa atau ungkapan khas Manggarai. Pemahaman terhadap setiap doa yang diucapkan dalam suatu upacara tradisi memberikan tempat pertama dan utama kepada yang disembah yakni “Morin agu Ngaran Bate Jari Agu Dedek” (Tuhan Sang penguasa, pemilik yang Menjadikan dan Menciptakan). Dalam setiap upacara adat orang Manggarai tempat pertama yang diberi sesajian adalah arwah leluhur (nenek moyang). <br />Dibalik upacara Teing Hang kepada arwah leluhur ini, orang Manggarai sungguh-sungguh percaya bahwa ada Morin (Tuhan) yang menciptakan leluhur. Dalam ungkapan orang Manggarai yakni “ Morin Wura atau Morin Andung atau Morin agu Ngaran Bate Jari agu Dedek, Hia Te Pukul Parn awo kolepn sale, Ulunle wa’i lau, Tanan wa awang eta” (artinya Tuhan Maha Pencipta atau Tuhan Sang Penguasa yang Menjadikan dan menciptkan, Dia yang menerbitkan Matahari di Timur sampai pada terbenamnya, Kepala di atas-kaki di bawah, tanah di bawah-langit di atas). Kata-kata seperti ini selalu diucapkan dalam setiap upacara Teing Hang. Dari sini juga terungkap pengertian tentang manusia yang mengakui adanya bimbingan, lindungan dan penyelenggaran Tuhan atas semua ciptanya. <br />Pengetian tentang manusia ini sangat jelas terlihat dalam ungkapan ini: “Denge le Morin agu Ngaran, Bate Jari Agu Dedek, Ite Te pukul pasrn awo kolepn sale, ulunle wa’in lau, tanan wa awangn eta torong ata molorn, titong koe tingo, Tura eta Mori Wura, baro eta Mori Andung, senget koe lite, gesar dami mendid, kaing dani tegi becur, Sor Monggong nggelak nata dami mendim.” (artinya dengarlah kiranya oleh Tuhan Penguasa dan Pemilik alam semesta, tunjukkanlah kebenaran, bimbingilah kami agar memperoleh kebenaran, Engkau yang menguasai dunia dari terbit hingga terbenamnya matahari, lindungi kami, sampaikanlah kiranya doa dan permohonan kehadapan Dia yang telah menciptkan leluhur kami, sembah sujud kami sekalian yang dengan rendah hati memohon kemurahan-Mu).<br />Secara sosiologis, upacara Teing Hang bermaksud untuk memberi makan kepada arwah leluhur atau nenek moyang yang sudah meninggal yang diyakini memiliki kekuatan supra empiris. Arwah leluhur yang sudah mati itu diyakini oleh masyarakat agama lokal di Manggarai memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari orang Manggarai. Arwah leluhur dipandang sebagai jembatan do’a atau letang temba kepada Tuhan bagi yang ditinggalkan dan juga dipandang sebagai suatu bentuk ucapan syukur kepada roh atau arwah nenek moyang yang tinggal atau menjaga mereka serta memberi berkat yang berlimpah kepada masyarakat agama lokal (di Manggarai). Atas dasar itu, upacara Teing Hang dilakukan dengan maksud agar arwah leluhur itu tetap menjaga mereka yang masih hidup dan tetap setia menyampaikan doa dari orang yang masih hidup Morin Kraeng.<br />III. Nilai-nilai yang Ditawarkan Dari upacara Teing Hang Terhadap Kebudayaan Nasional<br />Pertanyaan yang pantas diajukan sebelum kita melihat nilai-nilai yang ditawarkan dari upacara Teing Hang terhadap kebudayaan Nasional adalah apakah sumber kebijakan kebudayaan Nasional itu? Jawaban atas pertanyaan ini, dapat kita rujuk pada gagasan Soerjanto. Menurut Prof. Soerjanto Poespowardojo bahwa sumber kebijakan kebudayaan nasional adalah nilai-nilai budaya yang masih hidup dan dihayati oleh masyarakat. Dari gagasannya ini, kita bisa menyimpulkan bahwa Teing Hang juga merupakan salah satu kearifan budaya lokal yang dapat membangun kebudayaan nasional.<br />Teing Hang adalah nilai budaya yang masih sangat kuat hidup dan dihayati dalam diri masyarakat Manggarai. Pengandaiannya jikalau upacara Teing Hang bukan suatu nilai budaya yang hidup, maka bentuk upacara Teing Hang pasti sudah ditinggalkan dan hilang. Upacara Teing Hang lahir dari kesadaran akan eksistensi manusia itu sendiri dan secara khusus dalam hubungan dengan Morin Kraeng (Tuhan Mahakuasa). Kesadaran inilah yang mendasari keyakinan upacara Teing Hang ini, sehingga tetap eksis sampai sekarang. Di bawah ini, penulis memaparkan nilai-nilai dari upacara Teing Hang terhadap kebudayaan nasional.<br />Pertama, Nilai sosial. Upacara Teing Hang yang dilakukan oleh masyarakat Manggarai pada umumnya dilihat sebagai suatu bentuk keyakinan masyarakat agama lokal di Manggarai. Mereka menyakini bahwa arwah nenek moyang atau leluhur sebagai perantara atau jembatan doa kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang memiliki kekuatan yang supra empiris. Selain membangun relasi dengan sesuatu yang memiliki kekuatan supra empiris, upacara ini juga menyiratkan sebuah undangan kepada sesama untuk mengambil bagian dalam upacara ini. Dengan demikian, nilai sosial yang terungkap dari upacara Teing Hang adalah adanya sebuah undangan kepada keluarga yang lain untuk sama-sama berkumpul. Dengan berkumpul bersama-sama dengan sendirinya ikatan kekerabatan atau ikatan sosial semakin kuat. Upacara Teing Hang meretas kesukuan, keegoisan, sehingga tidak ada sekat atau kelas sosial dalam masyarakat. Inilah nilai yang disumbangakan dalam membangun kebudayaan nasional. <br /> Kedua, aspek religius. Upacara Teing Hang dilihat sebagai alat ukur yang menilai aspek religius masyarakat yang beragama lokal di Manggarai. Orang Manggarai percaya bahwa dengan melaksanakan upacara Teing Hang, mereka memperoleh keselamatan baik bagi dirinya (pihak yang menyelenggarakan upacara ini) maupun orang lain yang terlibat dalam upacara yang sama. Dengan demikian, dalam aspek religius ini juga mencakup aspek sosialnya sebagaimana yang telah dikemukakan di atas pada poin (2.1) khususnya berkaitan dengan penerimaan tamu. <br />Upacara Teing Hang sesungguhnya ‘mencerminkan usaha dan perjuangan manusia untuk menggapai kebenaran metafisis’ dan bahwa dibalik apa yang tampak, nyata atau real ada Dia, yang kepada-Nyalah segala pujian dan syukur diucapkan dalam upacara Teing Hang. Jadi, upacara Teing Hang merupakan hasil upaya reifikasi atas kebutuhan manusia untuk mendapatkan kejelasan tentang hidup ini serta keselamatannya ‘di sana’ yang manusia tidak tahu, maupun dalam keadaan di mana hidupnya merasa teracam. <br /> Ketiga, aspek kekerabatan. Upacara Teing Hang merupakan salah satu cara yang dapat membina dan membangun kekerabatan. Wujud dan nilai kekerabatan dengan sangat indah dilukiskan dalam ungkapan yang paling terkenal masyarakat Manggarai adalah Lonto Leok ( Lonto artinya duduk, Leok artinya bersama-sama membentuk satu lingkaran). Lonto Leok berarti duduk bersama dengan membentuk sebuah lingkaran kecil. Dari ungkapan ini, tampak jelas dimensi atau aspek kekerabatan yang dibangun oleh orang Manggarai satu dengan yang lain. Lonto Leok menggambarkan kesatuan, kekerabatan dan ikatan kekeluargaan yang sangat dalam satu dengan yang lain. Upacara Teing Hang bercirikan Lonto Leok. Oleh karena itu, dalam upacara Teing Hang ini terungkap rasa kedekatan, ikatan batin yang kuat dan mendalam antara orang yang masih hidup dengan arwah nenek moyang. Perasaan kedekatan dan ikatan batin dengan arwah nenek moyang, akhirnya orang dibawa dan dihantar serta disadarkan untuk membangun relasi dengan Allah.<br /><br />IV. Penutup<br />Pada bagian ini, kita mencoba kembali pada persoalan pokok sebagaimana yang telah dikemukakan pada pengantar tulisan ini. Kita mencoba menjawabnya satu per satu. Pertama, mengapa arwah nenek moyang harus diberi makan atau Teing Hang? Upacara Teing Hang bertitik tolak dari suatu kayakinan bahwa meskipun mereka sudah berpisah secara fisik, tetapi mereka masih menjalin hubungan dengan orang yang masih hidup. Sebagaimana orang memperhatikan sesama dengan memberikan makan, maka demikian juga arwah nenek moyang harus diberi makan. Mereka juga butuh makanan. Dibalik keyakinan ini terungkap sebuah credo yang amat dalam yakni penghormatan kepada Allah yang menciptakan mereka. Arwah nenek moyang diyakini sebagai perantara doa-doa mereka yang masih hidup kepada Allah.<br />Kedua, Apakah ini sebuah bentuk penyembahan berhala? Upacara Teing Hang bukan berhala. Upacara Teing Hang sudah berakar dalam masyarakat agama lokal Manggarai. Kepercayaan agama lokal yang bersifat ‘monoteis implisit’ dengan sendirinya memperlihatkan bahwa upacara Teing Hang selalu digandengkan dengan kepercayaan akan Allah (Morin Kraeng). Pada masyarakat agama lokal Manggarai sudah mengakui bahwa jiwa manusia tidak akan mati. Jiwa manusia tetap hidup meskipun tubuh sudah mati. Logika sederhan menjelaskan kebenaran di atas. Tidak akan ada penghormatan kepada arwah nenek moyang kalau orang tidak percaya akan eksistensi jiwa manusia dan bahwa jiwa manusia ini terus hidup sesudah kematian badan. Mengutip kembali gagasan Herbert Spencer yang mangatakan bahwa kepercayaan manusia akan Allah berasal dari kesadaran purba manusia akan kontinuitas kehidupan sesudah kematian yang diyakini ditopang oleh Wujud Tertinggi—Allah—yang adalah pencipta dan pemilik dari segala sesuatu termasuk hidup kekal sesudah kematian. Dari uraian ini, dengannya kita sudah menjawab persoalan ketiga, yang mempertanyakan apakah upacara Teing Hang sebuah bentuk praktik penyimpangan terhadap agama? Jelasa bukan penyimpangan terhadap agama, sebab upacara Teing Hang justru berangkat dari keyakinan agama lokal dan kesadaran purba manusia.<br />Kesimpulan<br />Penghormatan kepada arwah nenek moyang yang secara khusus dilaksanakan melalui upacara Teing Hang lebih merupakan urusan religius keluarga atau kesalehan religius pribadi dari pada praktik religius publik resmi. Pertanyaannya, kapan upacara Teing Hang dipandang sebagai salah satu karakter kebudayaan Nasional? Upacara Teing Hang menjadi salah satu karakter kebudayaan nasional ketika satu suku atau masyarakat dipersatukan dalam penghormatan kepada arwah nenek moyang. Dengan demikian, jelaslah bahwa aspek sosial, religius, dan kekerabatan dari upacara Teing Hang sebagaimana yang diungkapkan di atas menunjukkan karakter kebudayaan nasional.<br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />SUMBER UTAMA<br />Dagur, Antony Bagul. Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah Satu Khasanah <br />Kebudayaan Nasional. Surabaya: Ubhara Press, 1997.<br /><br />Hemo, Doroteus. Sejarah Daerah Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Ruteng:--<br />-,1988.<br />Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Kebudayaan; Proses Realisasi Manusia. Bandung: <br />Jalasutra, 2009.<br />Jebadu, Alex. Bukan Berhala! Penghormatan kepada para Leluhur .Maumere: Ledalero, <br />2009. <br />Sudhiarsa, Raimundus I Made. Diktat Antropologi Dan Konstruksi Kebudayaan Nasional<br /> Indonesia. Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2007.<br /><br />Verheijen, Jilis A. J., Manggarai dan Wujud Tertinggi. Jakarta: LIPI-RUL, 1991.<br /><br />SUMBER TAMBAHAN<br /><br />Brouwer, M. A. W., Studi Budaya Dasar. Bandung: Alumni, 1986.<br />Ihromi, T.O., (ed.). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia, 1987.<br />Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: P.D. Aksara, 1969.<br />-------------------- Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1987.<br />Nggoro, Adi M., Budaya Manggarai Selayang Pandang. Ende: Nusa Indah, 2006.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-51743214465384796232010-05-06T03:42:00.000-07:002010-05-06T03:45:08.989-07:00seminar teologi sistematisUNISITAS DAN UNIVERSALITAS KESELAMATAN YESUS DALAM <br /> KONTEKS PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA<br /><br />1. Pendahuluan <br /><br />Gereja Katolik adalah gereja yang berasal dari Yesus. Artinya gereja katolik mempunyai dasar dalam apa yang disebut komunitas awali, komunitas para rasul. Yesuslah yang membentuk para rasul sebagai batu dasar bagi terbentuknya komunitas awali. Yesus menjelaskan maksud kedatangan-Nya ke dunia di hadapan para rasul dan mewartakan Kerajaan Allah. Para rasul inilah sebagai penerus untuk mewartakan kerajaan Allah yang dibawa oleh Yesus. Komunitas awali ini diyakini sebagai cikal bakal lahirnya gereja sekarang. Oleh karena itu, Gereja merupakan “locus” di mana kerajaan Allah, kerajaan keselamatan menjadi nyata. Gereja katolik sekarang melanjutkan dan meneruskan misi Yesus serta menyerukan bahwa Yesus datang untuk menyelamatkan semua orang.<br />Persoalan yang muncul adalah bagaimana konsep keselamatan dalam agama Katolik diterima dan diakui oleh orang-orang yang beragama lain. Semua agama, baik yang mati maupun yang hidup, yang kuno maupun modern, yang teistik maupun non-teistik, tentu mempunyai dasar iman dan keyakinannya sendiri dan juga mempunyai kebenaran iman yang sifatnya mutlak. Terlepas apakah klaim ini valid atau tidak, rasional atau irasional. Jikalau demikian, masih relevankah konsep keselamatan universal yang diajarkan oleh Yesus Kristus dalam agama Katolik di tengah pluralisme agama?<br />Dalam konteks negara indonesia yang di dalamnya terdapat beberapa agama, pertanyaan di atas pantas untuk diangkat dan dicuatkan kepermukaan. Oleh karena kepentingan inilah, maka penulis mencoba mengangkat tema: “ Unisitas dan Universal keselamatan Yesus dalam konteks pluralitas agama di Indonesia.”<br /><br />2. Unisitas dan Universal Keselamatan dalam Yesus<br /><br />Dalam agama katolik adalah sangat jelas konsep keselamatan yang diajarkan oleh Yesus. Konsep kesemalatan ini mempunyai pendasaran Biblis yang kuat dan kokoh. “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum (Bdk. Mrk 16:15-16). Misi universal Gereja lahir dari perintah Yesus ini. Yesus datang untuk menyelamatkan semua orang. Gereja katolik mempunyai dasar yang kuat akan corak pewartaannya mengenai keselamatan. Dasar yang kuat akan pewartaannya dapat ditemukan dalam pokok-pokok isi fundamental imat Kristiani yakni rumusan Credo.<br />Dari teks di atas sebetulnya terkandung di dalamnya tiga kebajikan teologis dalam agama Katolik yakni iman, harap dan kasih. Ketiga kebajikan teologis di atas mau melengkapi manusia bagi dialog religius dengan Allah. Karena itu, manusia tidak bisa dibenarkan dan diselamatkan tanpa kebajikan iman, harap dan kasih.<br /><br />a. Yesus Kristus, Allah-manusia yang menyelamatkan <br /><br />Gereja Katolik mengakui dan mengimani bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Melalui penjelmaan menjadi manusia, Yesus mengambil rupa kemanusiawian manusia. Dia adalah Pribadi manusia yang otentik. Ia mengalami dan merasakan apa yang dialami dan dirasakan oleh manusia. Yesus yang diwartakan oleh gereja Katolik adalah Yesus yang mengajar dan berjalan keliling dari dese ke desa dan dari kota ke kota. Yesus yang diakui ini adalah satu-satunya penyelamat bagi manusia. <br />Karya penyelamatan Yesus bersumber pada persekutuan keallahan dan membuka jalan bagi siap saja yang mengimani Dia untuk memasuki kemesraan persekutuan dengan Allah Tritunggal. Persekutuan ini telah dimulai di dunia melalui Yesus dan Keselamatan dari Allah itu pertama-tama direalisasikan dalam realitas dunia dan realitas sejarah. Lalu bagaimana dengan konsep keselamatan dalam Yesus? Apakah dengan demikian Gereja dan agama dilihat sebagai sarana keselamatan? Agama dan gereja bukanlah keselamatan itu sendiri, melainkan sakramen dari keselamatan yang direalisasikan oleh Allah dalam dunia ciptaan ini melalui manusia dalam konteks hidup tertentu dan terbatas. Gereja adalah tanda. Tanda penaman eksplisit dan pemenuhan tertinggi dari keselamatan. Gereja hidup dengan berakar dalam keselamatan yang dilaksanakan Allah. Dengan demikian, pewartaan gereja mengenai keselamatan yang dibawa oleh Yesus, memiliki dasar yang kuat pada ajaran Yesus sendiri.<br /><br />b. Sifat unisitas dan universal keselamatan dalam Yesus <br /><br />Yesus adalah Putera kekal yang berasal dari Bapa. Dalam Dialah segala harapan mencapai kepenuhan. Ia sudah ada sebelum dunia dijadikan dan seluruh alam ciptaan mencapai kepenuhan dalam Dia. Yesus yang diwartakan oleh Gereja sekarang adalah kepenuhan alam ciptaan, seluruh sejarah. Para bapa sinode mengatakan bahwa Yesuslah satus-satunya perantara universal. Persoalannya, agama lain tidak mengimani Yesus. Bagaimana mungkin Yesus sebagai satu-satunya perantara universal? Bagaimana konsep keselamatan dalam agama Katolik diterima dan diakui oleh orang-orang yang beragama lain? Ternyata pertanyaan-pertanyaan di atas mendapat jawabannya bahwa bagi mereka yang tidak secara eksplisit menyatakan iman akan Dia sebagai Sang penyelamat, keselamatan turun sebagai rahmat dari Yesus Kristus melalui komunikasi Roh Kudus. Roh Kuduslah yang menaburkan ‘benih-benih sabda’ yang hadir dalam pelbagai adat istiadat dan kebudayaan, sementara mempersiapkan mereka demi kematangan sepenuhnya dalam Kristus. Jadi letak universalitas keselamatan Yesus sebagai kebenaran iman Katolik, bahwa kehendak penyelamatan universal Allah yang Satu dan Tritunggal disajikan dan dicapai sekali untuk selamanya dalam misteri inkarnasi, wafat dan kebangkitan Putera Allah. <br />Unisitas karya keselamatan Yesus bersumber pada persekutuan keallahan, pada hidup dan karya Tritunggal. Persekutuan keallahan ini membuka jalan bagi orang yang beragama lain untuk masuk dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal. Dengan mengambil kodrat manusia dan menderita sengsara dan wafat di salib, Yesus ingin merebut manusia untuk diselamatkan. Di sinilah sangat tampak perwujudan rencana Allah, sebab Dia datang untuk melaksanakan rencana Bapa-Nya dan untuk menyelamatkan semua manusia. Ini hanya tercapai dalam persatuan dan persekutuan-Nya dengan Allah Tritunggal. Jadi, rencana karya keselamatan yang dikerjakan oleh Yesus tidak terlepas dari rencana Allah Tritunggal dan hanya dalam persatuan inilah kita dapat melihat unisitas karya keselamatan Yesus bagi agama-agama lain. <br /><br />3. Pluralitas agama<br /><br />Sebelum masuk dalam pembahasan mengenai pluralitas agama, penulis mencoba melihat paham Pluralisme agama. Sifat unisitas dan universal keselamatan Yesus hanya bisa dipahami dalam paham pluralisme. Pluralisme merupakan istilah ekuivok artinya menunjuk pada kesuburan ajaran katolik kita yang dengan memelihara identitas isi yang tulus dan mendalam dan tetap setia pada realitas yang univok, pada satu iman yang dibicarakan rasul Paulus dengan amat jelas dan penuh wibawa. Menurut Smith, pluralisme agama merupakan tahapan baru yang sedang dialami pengalaman dunia menyangkut agama. <br />Pluralisme agama secara mudah adalah istilah bagi hubungan-hubungan damai antara agama atau pluralisme agama menggambarkan pandangan bahwa agama seseorang bukanlah satu-satunya dan secara eksklusif menjadi sumber kebenaran, dan karenanya pluralisme agama meyakini bahwa kebenaran itu tersebar di agama-agama yang lain. Jadi, paham Pluralisme agama mempunyai makna yang luas. Makna yang luas itu berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar. Jadi, berbicara mengenai pluralitas agama sesungguhnya kita berbicara mengenai penerimaan konsep kebenaran dalam agama-agama lain. Kebenaran suatu agama tidak dapat menjadi standar nilai iman bagi agama lain. Sifat unisitas dan universalitas keselamatan Yesus berada pada poin yakni bagaimana kebenaran iman ini didialogkan dengan agama-agama lain.<br />Di samping paham pluralisme agama, muncul pula paham relativisme. Aliran ini berpandangan bahwa kebenaran itu relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Dalam kaitan dengan konsep keselamatan dalam Yesus yang sifatnya unisitas dan universal, sesungguhnya keselamatan itu sifatnya relatif. Bahaya yang bakal muncul dalam paham seperti ini ialah apa yang disebut sebagai kebenaran suatu agama hanya ditentukan oleh cara pandang orang. Itu berarti dalam pandangan ini mau mereduksi konsep kebenaran menjadi sifatnya pribadi. Aliran ini sangat tampak dalam era-postmodernisme dan cukup populer di kalangan orang yang mengaut aliran relativisme. Masing-masing agama benar menurut penganutnya-komunitasnya. Kita tidak berhak menghakimi iman orang lain. Akhirnya, kita selayaknya berkata ”agamamu benar menurutmu, agamaku benar menurutku. Kita sama-sama benar.” inilah persoalannya. Persoalan ini, sangat menggugah hati dan iman kita. Gema keselamatan yang diwartakan oleh Yesus yang sifatnya universal, lagi-lagi dipertanyakan. <br /><br />4. Relevansi sifat Unisitas dan Universalitas Keselamatan dalam Yesus<br /><br />Bertitik tolak dari pandangan pluralisme dan relativisme di atas, maka baiklah kita melihat dan menggali secara mendalam di manakah persis sumbangan konsep keselamatan dalam agama Katolik bagi agama-agama lain? Masih relevankah konsep keselamatan katolik dalam konteks pluralitas agama di indonesia? Di manakah letak keuniversalitasan keselamatan Yesus bagi agama-agama yang lain? <br />Munculnya pertanyaan di atas sesungguhnya menghantar kita untuk mengungkapkan iman kita sesuai dengan konteks zaman. Yesus dalam hidup-Nya mewartakan kebenaran Allah, bukan hanya bagi orang Yahudi, tetapi juga orang bukan Yahudi yang percaya pada Yesus. Konteks kehidupan umat manusia yang dihadapi-Nya sangatlah kompleks. Dalam kekompleksitas umat manusia inilah Yesus mewartakan kebenaran Allah. Itu berarti keselamatan itu ditawarkan kepada semua orang. Yesus sendiri bersabda: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.” Sabda-Nya tentu disampaikan sesuai dengan konteks pada saat itu. Jadi, pewartaan Gereja katolik mengenai keuniversalitas keselamatan dalam Yesus, tidak bisa tidak kita harus berangkat dari realitas. Realitas kekinian yakni keberadaan agama-agama lain. <br />Di bawah ini ada beberapa tokoh yang mencoba melihat sumbangan konsep keselamatan Yesus yang sifatnya unisitas dan universal bagi dunia dewasa ini. Pertama; Rahner berpendapat bahwa penganut agama lain mungkin menemukan karunia Yesus melalui agama mereka sendiri tanpa harus masuk menjadi penganut Kristen. Inilah yang oleh Rahner kemudian dikenal sebagai orang Kristen Anonim (anonymous Christian). Yesus, dalam pandangan Rahner masihlah menjadi norma di mana kebenaran berada dan jalan di mana keselamatan dapat diperoleh. Akan tetapi, orang tidak harus secara eksplisit masuk menjadi penganut agama Kristen agar mendapatkan kebenaran dan memperoleh keselamatan itu. Oleh karena itu, Rahner mengatakan bahwa agama lain adalah sebenarnya bentuk implisit dari agama yang kita anut. <br />Kedua, John Harwood Hick mengatakan bahwa semua agama sesungguhnya merepresentasikan banyak jalan menuju satu realitas tertinggi dan tunggal (Tuhan) yang membawa kebenaran dan keselamatan. Dari pernyataannya ini menjadi jelas bahwa tidak ada ruang bagi agama manapun untuk mengatakan bahwa agama mereka yang benar dan kebenaran dalam agamanya juga dapat berlaku bagi agama lain. Realitas tertinggi dan tunggal itu dicari oleh semua agama. Maka, jalan dialog sangat diharapkan di sini. Dialog yang dimaksudkan bukan menggantikan apa yang ada dalam agama katolik dengan agama lain, melainkan lebih tepat untuk mendampingi ke arah misteri kesatuan. “Oleh karena itu semua orang yang diselamatkan, kendati melalui berbagai cara, ikutserta menghayati satu misteri keselamatan dalam Yesus Kristus melalui Roh-Nya.” Berbicara mengenai misteri keselamatan berarti kita berbicara pada ranah iman. Smith mencoba dengan menjabarkan iman akan Yesus. Iman akan Yesus berakar dalam Injil. Ia mencoba mengangkat dan memberikan contoh pada bangsa Israel. “Nowhere in Israel have I found such faith.” Smith meminta kita untuk melihat Yesus dan para pengikutnya. Oleh karena itu, iman menurut dia adalah kesatuan dan sikap dasar manusia.<br />Pernyataan Rahner dan John Harwood Hick di atas senada dengan pernyataan Konsili Vatikan II dalam dokumen Dominus Iesus. Di dalam dokumen ini dinyatakan bahwa: <br />“Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat dan tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah dan ajaran-ajaran yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran yang menerangi semua orang.” <br /><br />Sumbangan yang paling nyata mengenai pernyataan bahwa Yesus adalah satu-satunya penyelamat, ini dapat dilihat bagaimana keterlibatan gereja dalam masalah-masalah konkret dewasa ini. Nilai universalitas keselamatan Yesus, terungkap dalam keberpihakkan gereja dalam masalah keadilan, kebebasan manusia sebagai citra Allah, solidaritas kepada yang miskin dan menderita, cinta kasih kepada sesama. Ini semua menemukan kepenuhanya dalam Yesus. Konsili vatikan II mengatakan: <br />“kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada satu pun yang sungguh manusiawi yang tak bergema di hati mereka.” <br /><br />Selanjutnya, Konsili Vatikan II mengajarkan dalam Konstitusi Lumen Gentium, bahwa: <br />“di luar geraja Katolik itu ada terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran”, dan bahwa “mereka yang bukan karena kesalahan sendiri tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati yang jujur mencari Allah serta-karena terdorong oleh rahmat- dengan perbuatanya berusaha memenuhi kehendak Allah yang dikenal karena suara hati, bahwa mereka itu dapat memperoleh keselamatan abadi. <br /><br />Dari argumentasi yang dikemukakan oleh Konsili Vatikan II di atas, menjadi jelas bahwa keselamatan Yesus dalam agama katolik tidak bersifat mutlak. Meskipun demikian, Gereja katolik masih terbuka terhadap semua agama untuk melihat kebanaran iman yang ada dalam masing-masing agama. Keikutsertaan umat lain dalam keselamatan yang ditawarkan oleh Yesus Kristus terletak pada kesetiaan mereka untuk mencari Allah dan memenuhi kehendak-Nya dengan jujur. Oleh karena itu, sifat unisitas dan universal keselamatan Yesus dalam agama katolik tidak bertentangan dengan konsep Pluralisme agama, karena dalam pluralisme tetap mengakui bahwa di setiap agama mempunyai kebenaran tersendiri dan tidak ada satu pun agama yang mengajarkan kebenaran yang sifatnya mutlak dan menjadi patokan bagi agama yang lain. Semua agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai ruang atau jalan yang bisa memberi keselamatan, kebebasan, dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya merupakan respons otentik yang beragam terhadap the Real (hakikat ketuhanan) yang sama. <br /><br /><br />5. Penutup<br /> Gereja Katolik menyakini bahwa hanya satu pengantara keselamatan yakni Yesus. Yesus melalui penjelmaan, sengsara, wafat dan bangkit membawa manusia kepada keselamatan. Keselamatan ini menjadi nyata lewat Gereja. Sebab Gereja adalah Tubuh-Nya sendiri. Melalui, bersama dan dalam Gereja, Yesus ingin mengerjakan keselamatan manusia. Jadi, dalam Gereja, Kristus mau merangkul semua orang dan mengangkat mereka untuk mengalami persatuan yang utuh dan penuh dalam dan bersama Bapa dalam kemuliaan-Nya. <br /> Keselamatan yang diwartakan oleh Yesus, tidak mengenal “ruang dan waktu.” “Ruang dan waktu” bagi Yesus adalah seluruh dunia. “Ruang dan waktu” bukan lagi tergantung pada letak geografis, agama mana, orangnya seperti apa dan siapa, tetapi ruang dan waktu bagi Yesus adalah eksistensi terdalam manusia yang mengharapkan keselamatan. Dengan kata lain, ruang dan waktu adalah pribadi Yesus sendiri. Dalam Dialah seluruh waktu dan ruang mencapai kepenuhan. Dengan demikian keselamatan pun mencapai kepenuhan dalam Yesus Kristus. Sejak semula jemaat umat beriman telah mengakui dalam Yesus nilai keselamatan sedemikian rupa, sehingga Dia seorang diri sebagai Putera Allah yang menjadi manusia, disalibkan dan bangkit, berkat misi yang diterima dari Bapa dan dalam Kuasa Roh Kudus, berkenan mengurniakan perwahyuan dan hidup Ilahi kepada seluruh umat manusia dan kepada setiap orang. <br /> Unisitas dan universalitas keselamatan dalam Yesus Kristus mempunyai relevansi dan nilai bagi umat manusia dewasa ini, dalam konteks pluralitas agama. Isi dan muatan keselamatan Yesus tidak bermaksud meniadakan dan mengesampingkan konsep keselamatan yang ada dalam setiap agama, melainkan untuk memberikan ciri unik Kristus dan makna yang mutlak serta universal dari keselamatan-Nya bagi semua manusia. <br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Buku-buku<br />Mark Heim, S., Salvation Truth and difference in Religion. New York: Orbis, 1995.<br /><br />Syukur Dister, Nico. Teologi Sistematika 2. Yogjakarta: Kanisius, 2004.<br /><br />Dokumen Gereja<br /><br />Yohanes Paulus II. Church in Asia (Gereja Di Asia), terj. R. Hardawiryana. Jakarta: <br /> Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2000.<br /><br />Yohanes Paulus II. Dominus Iesus (Tuhan Yesus), terj. R. Hardawiryana. Jakarta:<br />Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2001.<br /><br />Pluralisme, terj. R. P. Piet Go. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2008.<br /><br />Majalah <br /><br />“Melintas”majalah Fakultas Filsafat universitas Parahyangan. Bandung: Fakultas Filsafat Parahyangan, 1988.<br /><br /><br />Internet<br /><br />http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1405:pluralisme-klaim-kebenaran-yang-berbahaya&catid=68:opini&Itemid=68,. minggu 11 Oktober 2009.<br /> <br />http://islamlib.com/id/artikel/pluralitas-makna-pluralisme-agama/, minggu 11-10-2009.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-6735151991540678192010-05-06T03:39:00.000-07:002010-05-06T03:42:21.449-07:00seminar teologi sistematisGEREJA MUSAFIR SEBAGAI ANTISIPASI<br />HIDUP ESKATOLOGIS<br /><br />1. Pengantar<br /><br />Gereja bukanlah kumpulan ajaran Yesus Kristus, tetapi pribadi-pribadi yang mengimani dan menghayati ajaran Yesus Kristus sebagai Sang Juruselamat manusia. Melalui pembaptisan mereka masuk dalam persekutuan dengan Allah sebagai Bapa. Persekutuan ini dibangun atas dasar yang sama yakni iman akan Yesus. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa Gereja yang merupakan persekutuan pribadi-pribadi yang mengimani dan menghayati ajaran Yesus, dibangun atas dasar yang kokoh yakni Yesus Kristus.<br />Gereja bukan dibangun oleh Yesus. Gereja lahir dari bentuk persekutuan yang dibangun oleh Yesus dengan para murid-Nya. Persekutuan para murid perdana ini didasarkan pada iman akan Yesus. Para murid perdana hanya melanjutkan apa yang telah diajarkan oleh Yesus. Para rasullah yang pertama membuat Gereja itu bertumbuh. Mereka dapat dikatakan sebagai fondasi Gereja. Hal itu dapat ditelusuri secara historis melalui tulisan-tulisan Perjanjian Baru dan jgua berbagai dokumen yang ada dalam sejarah Gereja. Para Rasul dipilih secara langsung oleh Yesus dan diserahi tugas untuk menggembalakan umat. Mereka disebut sebagai guru dan saksi utama Kristus. Mereka bukan hanya disebut sebagai causae efisiens tetapi juga sebagai causa exemplaris Gereja dan orang Kristen. Keapostolikan merupakan struktur dasar Gereja. Jadi, Gereja sudah terbentuk dalam kelompok para murid perdana ini. <br />Gereja sekarang merupakan penerus Gereja perdana. Semua yang mengambil bagian dalam persekutuan dengan Allah melalui Yesus Kristus dipanggil kepada keselamatan. Panggilan akan keselamatan ini telah mulai dalam Gereja, sekarang dan saat ini. Jadi, Gereja merupakan wujud nyata di mana karya keselamatan Allah terjadi. Atau dengan kata lain, Gereja merupakan sakramen keselamatan. Namun, keselamatan akan mencapai kepenuhannya pada akhir zaman. Tugas gereja adalah membawa orang pada keselamatan melalui sakremen-sakramen. <br />Gereja yang sedang berziarah sekarang adalah Gereja yang menuju persatuan dengan Allah. Melalui Gereja kita semua yang telah dibaptis dipanggil dalam Kristus dengan perantaraan rahmat Allah, kita akan disempurnakan dalam kejayaan surgawi (LG no 48). Dengan demikian menjadi jelas bahwa Gereja sekarang sesungguhnya merupakan antisipasi akan hidup eskatologis. Hidup eskatologis artinya hidup dalam persatuan yang penuh dan utuh dengan Allah Bapa. <br /><br />2. Sifat-sifat Eskatologis Gereja Musafir<br /><br />a. Gereja sebagai paguyupan<br /><br />Ada dua hal yang mau dikatakan mengenai Gereja sebagai Paguyupan. Pertama, sehubungan dengan pengalaman akan Allah, Gereja tidak lain selain suatu persekutuan/komunio kaum beriman. Komunio yang dimaksud adalah persekutuan Allah dan Manusia. Dalam kepentingan inilah Konsili Vatikan II mencoba menjelaskan gereja. Gereja adalah sakramen yaitu tanda dan sarana keselamatan (LG No.1). Mengapa poin keselamatan penting untuk dibahas pada bagian ini? Karena keselamatan mengandaikan adanya Komunio dan terjadi manakala ada komunio antara Allah dan manusia. Komunio adalah tujuan universal seluruh sejarah umat manusia, terlaksana secara istimewa di dalam sejarah itu dalam diri Yesus Kristus. Tujuan ini tidak terhenti ketika ada persekutuan antara manusia, tetapi lebih lagi ketika terjadi persekutuan dengan Allah. Yesus Kristus adalah tanda nyata kepenuhan komunio itu. Kepenuhan manusia terjadi dalam komunio dengan Allah. Dapat disimpulkan bahwa manusia yang berjalan mencari kepenuhan hidup menemukan jawabanya dalam persatuan dengan Allah. Komunio berarti kita mengambil bagian dalam kodrat ilahi Allah. <br />Kedua, partisipasi antaranggota dalam membangun communio, semua pelayan dalam Gereja pada hakekatnya merupakan partisipasi dan kolaborasi dalam bangunan ‘Tubuh Kristus.’ Comunio antara Allah dengan manusia tidak dapat mengabaikan komunio yang dibangun antar sesama manusia. Keduanya salin berkaitan. Keberkaitannya terletak pada bagaimana komunio yang dibangun antar sesama manusia mengarah pada komunio dengan Allah. Kumunio antar sesama manusia akan mencapai kepenuhannya dalam dan bersama Allah pada akhir zaman. Atau sebaliknya relasi kita dengan Allah mesti mendorong kita untuk berelasi dengan sesama. Itulah hakekat manusia sebagai makluk sosial dan rohani. Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes melihat “landasan yang mengungkapkan martabat manusia terletak dalam panggilannya untuk bersatu dengan Allah.” Alasan mendasarnya karena setiap orang adalah bagian dari tubuh yang satu atau anggota dari Kepala sama yakni Kristus sendiri. Oleh karena itu, Konsili Vatikan II tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa antara Gereja yang kelihatan dan Gereja yang tidak kelihatan harus dipisahkan. Bagi Konsili Vatikan II, keduanya adalah satu dan menampilkan hal yan satu dan sama. Dokumen GC menekankan kembali akan aspek kelihaan dan tak kelihatan dari Gereja. Comunio eklesial mengalir dari kodrat Gereja sebagai suatu realitas yang kompleks sebagai komunita spiritual, sacramental dan yuridis. <br /><br />b. Gereja sebagai sakramen keselamatan<br /><br />Gagasan Gereja sebagai sakramen mulai muncul pada abad XIX. Otto Semmelroth membahasa Gereja sebagai sakramen sebab di dalamnya terdapat dua aspek yang esensial yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Ia berpegang pada defenisi yang diberikan oleh Konsili Trente yaitu sakramen sebagai tanda kelihatan yang mengandung dan memberi rahmat yang mana diungkapkan secara langsung oleh tanda itu sendiri. Berbicara mengenai Gereja sebagai sakramen hanya akan dipahami jikalau frame berbikir kita tidak terlepas dari Yesus. Dengan kata lain, berbicara mengenai sakramen berarti pertama-tama kita berbicara mengenai Yesus Kristus. ‘If the Christ is the sacrament of God, the church is for us the sacrament of christ; she represent him, in the full and ancient meaning of therm, she really makes him present. She not only carries on his work, but she is very continuation.’ Jikalau Kristus adalah Sakramen Allah, maka Gereja merupakan sakramen Kristus bagi kita; Gereja mewakili Dia secara penuh dan asli serta membuat Dia sungguh-sungguh hadir. Gereja bukan hanya melanjutkan karya-Nya, tetapi Gereja itu adalah kelanjutan-Nya sendiri.’ Jadi, berbicara mengenai Geraja sebagai sakramen keselamatan hanya dapat dipahami dalam kerangka Kristosentris. <br />Dewasa ini, konsep Gereja sebagai sakramen seringkali berada pada tataran antropologis. Artinya tidak terlepas dari aspek personal. Aspek personal dari fungsi sakramental maksudnya Gereja sebagai sakramen keselamatan menjadi jaminan keselamatan oleh iman akan Yesus Kristus. Gereja sebagai sakramen tentu bukan hanya mengungkapkan apa yang tidak kelihatan, tetapi juga himbauan untuk melekat pada apa yang ditandai. Yang ditandai tidak lain adalah Yesus, yang oleh pambaptisan kita menjadi anggota dari Tubuh-Nya yang satu. Jadi, Yesus adalan tanda yakni seluruh hidup dan diri-Nya, yang sekaligus menghadirkan Allah sendiri. <br />Gereja perlu untuk keselamatan. Ia adalah tanda dan juga sarana keselamatan. Ia juga adalah jaminan bagi keselamatan. Namun, paham seperti ini tidak menyempitkan keselamatan hanya pada mereka yang mengimani Yesus. Keselamatan tetap ada dalam oang-orang yang tidak secara langsung mengimani Yesus sebagai juru selamat. <br />Dalam sakramentalitas Gereja bukan hanya termasuk ketujuh sakramen yang ditetapkan Yesus Kristus, melainkan sebagai Sabda Allah dan struktur-struktur Gereja itu sendiri. Mengapa Allah menghendaki karya keselamatan-Nya mempunyai struktur sakramental? Pertama, karena manusia terdiri atas roh dan zat dan untuk sampai pada dunia roh harus melalui dunia zat. Kedua, manusia adalah mahluk sosial politis yang hidup dan merealisasikan diri dan membangun komunikasi dengan orang lain. Dengan demikian, gagasan sakramentalitas memenuhi tuntutan somatik dan tuntutan sosio-politis. Melalui kategori sakramentalitas ini, sesungguhnya yang mau dikatakan adalah kesatuan dan perbedaan. Kesatuan yang dimaksudkan adalah kesatuan kedua unsur realitas Gereja yakni yang kelihatan dan tidak kelihatan, interior dan eksterior, institusional dan karismatis, kodrati dan adikodrati.<br />Konsili Vatikan II merumuskan sakramentalitas keselamatan untuk mendefenisikan kodrat dan fungsi-fungsi umat Allah yang baru. Dalam amanat sebelum Ia berpisah dengan para Murid-Nya, Ia mangatakan sesudah Aku pergi dan meninggalkan dunia ini, Aku akan menarik semua orang kepada -Ku. “apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku" (Yoh 12:32). Ia mencurahkan Roh Kudus Kepada murid-muridnya tat kala Ia bangkit dari mati, dan membentuk Tubuh-Nya yaitu Gereja sebagai sakramen universal keselamatan. <br /> Wujud nyata dari komunikasi Allah dengan Manusia, secara nyata hadir dalam diri Yesus. Yesus Kristus adalah aktualisasi keselamatan kita, komunikasi kita dengan Allah. Allah yang menjelma menjadi manusia menunjukkan bahwa Allah ingin mengkumunikasikan Diri-Nya dan mau berkomunikasi dengan manusia.. Yesus adalah sakramen dan menjadi fondasi dari setiap sakramen. Karena itulah maka, Gereja disebut sebagai sakramen. Ia (Gereja) menjadi perpanjangan dari tugas sakramentalis Kristus. Ia tidak dari dirinya sendiri berfungsi sebagai sakramen. Karena itu Gereja bukan hanya obyek keselamatan, melainkan juga subyek, alat, sakramen bagi keselamatan orang lain. Gereja bukan hanya paguyuban orang yang diselamatkan, tetapi juga paguyuban orang yang menyelamatkan. <br />St. Thomas menekankan tiga fungsi utama sakramen. Pertama, sebagai mengenangkan wafat kristus. Kedua, tanda yang menunjukkan buah dalam diri kita dihasilkan sengsaran-Nya, yaitu rahmat. Ketiga, tanda kenabian yag mewartakan kemulian yang akan datang. Ketiga fungsi ini dijalankan secara unggul oleh Gereja. Dalam hal ini Gereja bertugas untuk memelihara kenangan akan Kristus, meneruskan karya keselamatan yang dimulai oleh Kristus dan mewartakan serta mencicipi kedatangan kerajaan Allah.<br /><br />c. Gereja Bersifat Kudus (bdk. LG 48)<br /><br />Sebagaimana “kudus” merupakan salah satu sifat Gereja, ‘kudus’ juga menjadi sifat yang menunjukkan dimensi eskatologis Gereja Musafir. Sejak di dunia ini, Gereja sudah disebut kudus. Gereja berkat pembaptisan telah menjadi kudus, menjadi anak-anak Allah, menolak setan, dan hanya mengimani Kristus. Rahmat pembaptisan inilah yang menguduskan manusia. Dengan demikian, sejak di dunia ini, Gereja telah menjadi kudus dan memang demikian hakekat Gereja adalah kudus.<br />Akan tetapi Gereja belum mengalami kesempurnaan kekudusan itu. Kesempurnaan ini hanya akan diperoleh jikalau umat manusia mengalami “pembaharuan sempurna dalam Kristus” (LG 48) yaitu ketika kita mati terhadap dosa dan bangkit bersama Kristus. Kesempurnaan kekudusan juga diperoleh berkat “kebersamaan dengan seluruh umat manusia” yang berjalan “menuju tujuan yang sama” sebab kesempurnaan kekudusan itu adalah kesempurnaan Gereja.<br /><br />d. Gereja sebagai Tanda Harapan Eskatologis<br /><br />Konsili Vatikan II dalam artikel no. 48 memperlihatkan Gereja Musafir sebagai tanda harapan akan hidup eskatologis. Di manakah letak Gereja Musafir sebagai tanda harapan eskatologis? Dasar harapan umat Allah akan kehidupan eskatologis mempunyai pendasaran Biblis, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Baru misalnya, Luk 2:25 di mana dikatakan bahwa Simeon “menantikan penghiburan bagi bangsa Israel.” Dalam Perjanjian Lama misalnnya Kitab Yesaya 42:4 “ Pada-Nya bangsa-bangsa akan berharap.” Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, pengaharapan menunjukkan kepercayaan pasti pada kesetiaan Allah. <br />Pengharapan adalah kepercayaan pasti pada kesetiaan Allah, telah mulai dalam Gereja yang sedang berziarah di dunia ini. Melalui Gereja dan dalam Gereja umat Allah yang sedang berziarah di dunia ini, menantikan akan kehidupan yang penuh dalam persatuannya dengan Allah. Pengharapan ini bukanlah sebuah pengharapan yang sia-sia, sebab Yesus sendiri telah berjanji untuk memberikan dan menyediakan tempat bagi umat-Nya. Jadi, dasar pengharapan umat Allah adalah Yesus sendiri. <br />Gereja Musafir sesungguhnya telah menghadirkan kehidupan eskatologis. Kehidupan eskatologis itu, hadir dalam dan melalui diri Yesus serta karya-Nya. Ketika Yesus kembali ke pangkuan Bapa-Nya, karya keselamatan yang dibawa-Nya diteruskan oleh Roh Kudus dan melalui Roh Kudus diteruskan oleh para murid-Nya dan melalui para murid-Nya lahirlah Geraja untuk meneruskan karya keselamatan itu. Umat Allah yang percaya pada Kristus dipanggil untuk bersatu dengan-Nya melalui Geraja. Persekutuan umat Allah dalam Gereja sekaligus merupakan antisipasi akan persekutuan penuh pada akhir zaman. Dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal-lah kepenuhan persekutuan umat Allah yang sedang berziarah di dunia ini. <br />Gereja Musafir adalah Gereja yang sedang berjuang. Kata “berjuang” mau menunjukkan bahwa Gereja Musafir belum sempurna, sehingga ia harus berjuang untuk sempurna. Kesempurnaan ini hanya mencapai kepenuhannya pada akhir zaman. Selama perjuangannya di dunia ini, Gereja Musafir juga menantikan penuh pengharapan akan kehidupan eskatologis. Namun, dalam situasi pengaharapan ini, Geraja Musafir oleh Roh Kudus yang dicurahkan ke atas Geraja merupakan tanda bahwa keselamatan telah terjadi dan kehidupan akhir zaman sudah mulai terlaksana di sini dan saat ini. <br /><br />3. Letak Antisipasi Geraja Musafir bagi Hidup Eskatologis<br /><br />Gereja Musafir sebagai antisipasi akan kehidupan eskatologis. Meskipun, keselamatan telah mulai dalam Gereja dan melalui Gereja Keselamatan Allah menjadi nyata, tetapi pada saat yang sama Gereja Musafir mengharapkan kehadiran putera-puterinya yang sesungguhnya. Gereja Musafir digambarkan seperti wanita yang menderita sakit bersalin dan penuh dengan dosa. Sebagaimana wanita melahirkan anak-anaknya, demikian juga Gereja setiap kali melahirkan putera-puteri Allah, tetapi karena ditekan oleh berbagai pencobaan dan derita, Gereja menderita sakit dan juga atas ulah tingkahlaku umatnya yang tidak setia pada Allah dan menjauh dari Allah. Oleh karena itu, Kristus datang untuk membebaskan dan mengangkat kembali anak-anak-Nya dalam kemuliaan-Nya dan mempersatukan mereka kembali dalam ikatan cinta-Nya yang mesra. Dalam situasi seperti ini, Gereja Musafir memberikan pengharapan bahwa akan tiba saatnya di mana umat Allah yang baru melihat dunia dan zaman baru. Dunia dan zaman baru ini tidak lain adalah persatuan dengan Allah secara nyata dalam kemuliaan-Nya melalui Kristus Yesus. <br /> “Uniting ourselves with Christ, we receive divine grace which gives human nature strength for victory over sin and death, and the Lord Jesus Christ has shown people the way to victory over sin by His teaching, and he grants them eternal life, making them partakers of His eternal kingdom by His Resurrection. In order to receive that divine grace from Him the closest possible contact with Him is necessary.” <br /> Gereja Musafir “memberikan kesaksian” akan hidup eskatologis. Hidup eskatologis sudah mulai saat ini dan hidup Gereja sedang mencicipi kehidupan eskatologis. Kesaksian Gereja akan kehidupan eskatologis tampak jelas dalam persekutuan dan persatuannya dengan Umat Allah. Persatuan dan persekutuan ini mengambil bentuk dasar pada persekutuan Allah Tritunggal. Persekutuan dan persatuan ini akan mencapai kepenuhanya dalam persatuan dengan Alla Tritunggal dalam kemulian-Nya. Jadi, melalui dan dalam persekutuan dan persatuan antar sesama, Gereja menunjukkan kesaksian akan persatuan dengan Allah Tritunggal dalam kehidupan eskatologis.<br /><br />4. Hubungan Gereja Musafir dan Hidup Eskatologis<br /><br />Berbicara mengenai hubungan antara Gereja Musafir dan hidup Eskatologis mengandaikan adanya persekutuan. Persekutuan ini dibangun atas dasar yang sama yakni Yesus. Baik Gereja Musafir maupun hidup Eskatologis tetap bersatu dalam Kristus. Hubungan keduanya bertolak dari hidup dan karya Yesus. Seluruh pewartaan dan pribadi-Nya menampakan kerajaan Allah. Namun, Kerajaan Allah itu secara jelas dalam kehadiran nyata Yesus di dunia ini. Konsili mengatakan: “Namun pada tempat pertama, Kerajaan Allah dinampakan dalam pribadi Kristus sendiri, Putera Allah dan Putera Manusia yang datang untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi orang banyak” (Mrk 10:45). <br />Gereja dengan dilengkapi Roh Kudus mewartakan dan meneruskan Kerajaan Allah ini kepada seluruh bangsa. Benih kerajaan Allah sesungguhnya sudah mulai tumbuh di dunia dan Gereja tetap mendambakan kesempurnaanya dalam persatuan dengan Allah. Gereja dan Kerajaan Allah keduanya saling berhubungan. Dalam konteks inilah kita dapat memahani sifat eskatologis dari Gereja Musafir. <br />Hubungan keduanya terletak pada hal ini bahwa di samping Gereja menantikan kedatangan Kerajaan Allah (zaman eskatologis) berkat karya Yesus, Gereja juga hasil karya Penyelamatan Yesus dan di dalamnya umat Allah akan menikmati keselamatan melalui tanda. Tanda yang dimaksudkan di sini adalah bahwa Gereja sebagai tanda dan sarana keselamatan bagi manusia.Gereja merupakan sarana keselamatan dan melaluinya Allah menyampaikan keselamatan itu kepada dunia. Jadi, kerajaan Allah (hidup eskatologis) sudah mulai dicicipi secara eksplisit dalam Gereja dan melalui Gereja kerajaan Allah diwartakan keseluruh dunia. <br />Hubungan keduanya secara konkret dapat kita lihat bagaimana relasi orang yang masih hidup dengan orang yang telah meninggal dunia. Meskipun, berbeda dalam cara ada baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, tetapi keduanya satu dalam “satu Tubuh” yakni “Tubuh Kristus sendiri.” Who or what is the body of Christ? The body of Christ is the Church, made up of all those who have accepted Jesus Christ as their personal Savior. Each Christian, then, is a part of the body of Christ. Letak kesatuan hubungan keduanya antara lain; Pertama, Gereja disatukan dalam ikatan cinta yang sama kepada Allah. Kedua, Gereja diikat dalam dan oleh Roh kudus sehingga sama-sama menjadi milik Kristus. Ketiga Gereja disatukan karena terjalin komunikasi kekayaan rohani. <br /><br />5. Relevansinya dalam hidup sekarang<br /><br /> Hidup umat manusia zaman sekarang ditantang oleh perkembagan zaman. Tantangan zaman yang begitu dahsyat seringkali menguncangkan iman. Iman bertaruh dengan segala tawaran dunia. Masalah yang melilit kehidupan manusia begitu kompleks. Di tengah pergolakan zaman dan persoalan yang begitu rumit, masihkah Gereja memberikan harapan akan kehidupan yang bahagia di akhir zaman? Apakah Gereja dapat menjawabi segala persoalan umat Allah?<br /> Menanggapai segala persoalan dan pertanyaan di atas sesungguhnya Gereja lewat sabda Allah yang diwartakannya memberikan kesaksian dan harapan akan umat manusia yang terombang-ambing oleh zaman. Surat rasul Paulus kepada jemaat di Roma, menjadi dasar yang kuat bagi Gereja untuk memberikan kesaksian akan kehidupan eskatologis. “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm 8:18). <br /> Kata-kata St. Paulus di atas sungguh menyentuh persoalan dan dapat menjawab segala kerisauan umat manusia dewasa ini. Dalam ketakberdayaan dan kekerdilan hidup baik secara jasmani maupun secara rohani, pesan St. Pualus di atas dapat menghantar dan memberikan pengharapan kepada umat, bahwa ternyata pencobaan, penderitaan, dukacita dan sebagainya, tidak sebanding dengan kemuliaan yang Allah berikan kepada manusia yang tetap setia kepada-Nya. Semua yang dialami di dunia ini, akan diubah menjadi sukacita yang besar dalam surga. Pada poin ini, Gereja sesungguhnya telah memberikan sinar dan cahaya kepada dunia, bahwa akan datang saatnya di mana Anak Manusia (Yesus Kristus) memberikan tempat yang layak dan bahagia dalam kemuliaan-Nya bersama Bapa-Nya.<br /><br />6. Penutup<br /><br />Gereja Musafir atau yang sedang berjalan dan berjuang di dunia, ini menjadi tanda dan harapan akan kehidupan eskatologis. Gereja disebut sebagai tanda akan kehidupan eskatologi, karena Gereja memperlihatkan sekaligus Gereja yang kelihatan dan Gereja yang tak kelihatan. Gereja yang kelihatan adalah Gereja yang Musafir yang dalam peziarahannya di dunia telah mencicipi akan kehidupan eskatologis. Sedangkan Gereja yang tak kelihatan menunjuk pada Gereja eskatologis atau pada hidup eskatologis. Gereja yang kelihatan dan Gereja tak kelihatan meskipun secara lahiriah terpisah, akan tetapi mempunyai ikatan dan relasi. Ikatan dan relasi itu tampak dalam doa-doa baik dari mereka yang masih hidup kepada mereka yang sudah mengalami kebahagian dalam Surga, atau yang masih berada dalam api penyician maupun doa dari mereka yang sudah mengalami kebahagian dalam surga bagi yang masih berziarah di dunia ini. Gereja disebut sebagai tanda harapan eskatologis karena dalam tubuh Gereja itu sendiri sadar akan dirinya bahwa ia belum sempurna sehingga ia selalu berharap untuk mencapai kesempurnaan. Kata “harapan” juga mau menunjukkan bahwa umat Allah sangat menantikan kebahagian, setelah melewati dan beralih dari dunia ini yang penuh dengan dosa, ketidaksetiaan dan himpitan zaman. <br />Gereja Musafir sesungguhnya telah mengantisipasi semuanya itu dalam persekutuan yang nyata dalam kehidupan sekarang. Gereja melalui sakramen-sakramen ingin membawa umat Allah untuk bersatu secara penuh dengan Allah mulai saat ini hingga pada kepenuhannya yakni dalam surga bersama Bapa, Putera dan Roh Kudus.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />BUKU-BUKU<br /><br />Dulles, Avery. Models of the Church. New York: Doubleday, 1974.<br /><br />Kirchberger, G., Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus. Ende: Nusa Indah, 1991.<br /><br />Riyanto, Armada (ed.). Membangun Gereja dari Konteks.Malang: Dioma, 2004.<br /><br />Syukur Dister, Nico. Teologi Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius, 2004. <br /><br /><br />DOKUMEN GEREJA<br /><br />Hardawiryana, R., Dokumen Konisli Vatikan II. Jakarta: Obor, 1993. <br /><br />Paulus II, Yohanes. Gereja Di Asia diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2000.<br /><br />INTERNET<br /><br />http://www.allaboutgod.com/body-of-christ.htm, diakses Selasa, 3 oktober 2009.<br /><br />http://www.orthodoxinfo.com/general/stjohn_church.aspx, diakses Selasa, 3 Oktober 2009.<br /><br />http://books.google.co.id/books?id=PnzxgXZ48WsC&pg=PA106&lpg=PA106&dq=gereja+sebagai+sakramen+menurut+Otto+Semmelroth&source=bl&ots=UUDCDhoBLF&sig=DypVQXVvyQqqpiHdCdZDTe97LaU&hl=id&ei=1kz1StGhIMbakAXLu6WrAw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=4&ved=0CA4Q6AEwAw#v=onepage&q=gereja%20sebagai%20sakramen%20menurut%20Otto%20Semmelroth&f=false, diakses Sabtu, 7 November 2009.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-26676656947149817062010-05-06T03:35:00.000-07:002010-05-06T03:39:04.051-07:00seminar teologi sistematisSIFAT ESKATOLOGIS GEREJA MUSAFIR <br />DAN PERSATUANNYA DENGAN GEREJA SURGAWI<br /><br />Pendahuluan<br /><br />Ada dua hal yang hendak kita dalami pada bagian ini. Pertama, kita akan mendalami sifat eskatologis Gereja musafir. Pada bagian ini disajikan identitas kita sebagai anggota Gereja dan mengapa Gereja musafir memiliki identitas eskalotogis. Kedua, setelah kita memahami ciri eskatologis Gereja musafir, kita akan mendalam bagaimana persatuan dan hubungan antara Gereja Musafir (Gereja yang sedang berjalan menuju alam eskatologis) dengan Gereja surgawi (Gereja yang sudah secara penuh hidup dalam alam eskatologis). Kemudian bagaimana persekutuan itu dirayakan dan dihayati dalam kehidupan.<br /><br />1. Sifat Eskatologis Gereja Musafir<br /><br />Pokok acuan untuk memahami sifat eskatologis Gereja Musafir adalah hubungan Gereja dengan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah nyata di dalam Gereja berkat pencurahan Roh kudus. Gereja Musafir mendapat tugas untuk melanjutkan karya Allah itu berkat kesatuannya dengan Roh kudus. Persatuaan Kristus dan Gereja Musafir dalam Roh kudus membawa Gereja untuk menikmati suasana kerajaan yang abadi. <br />Menjadi Gereja Musafir adalah sebuah panggilan untuk menampakkan Kerajaan Allah itu dalam peziarahannya. Gereja Musafir dipanggil dalam Kristus (bdk 48). Sebagaimana Kristus memanggil para murid-Nya, demikian pula Ia memanggil kita untuk bersatu dengan-Nya melalui Gereja. Sebagaimana Ia mengutus Roh kudusNya setelah Ia naik ke surga, demikian pula Ia mencurahkan Roh kudusNya kepada kita melalui pembaptisan (bdk LG 48). Dengan pembaptisan kita menerima rahmat Roh kudus untuk menjadi anggota Gereja. Roh kudus inilah yang memberikan identitas “orang kudus” kepada kita. Maka, menjadi Gereja Musafir adalah hakikat panggilan kita untuk menuju kekudusan.<br />Kekudusan sebagai anggota Gereja secara penuh diwujudkan pada “akhir zaman.” Akan tetapi, kita telah mencicipi rahmat kekudusan itu pada saat ini. Dengan kata lain, kita (Gereja Musafir) sudah mencicipi dan mengemban identitas sebagai Gereja eskalotogis. Pertanyaannya di mana letak sifat eskalotogis Gereja Musafir itu?<br /><br />1.1 Gereja Bersifat Kudus (bdk LG 48)<br /><br />Sebagaimana “kudus” merupakan salah satu sifat Gereja, ia juga menjadi sifat yang menunjukkan dimensi eskatologis Gereja Musafir. Sejak di dunia ini, Gereja sudah disebut kudus. Gereja berkat pembaptisan telah menjadi kudus, menjadi anak-anak Allah, menolak setan, dan hanya mengimani Kristus. Rahmat pembaptisan inilah yang menguduskan manusia. Dengan demikian, sejak di dunia ini, Gereja telah menjadi kudus dan memang demikian hakekat Gereja adalah kudus.<br />Akan tetapi Gereja belum mengalami kesempurnaan kekudusan itu. Kesempurnaan ini hanya akan diperoleh jikalau umat manusia mengalami “pembaharuan sempurna dalam Kristus” (LG 48) yaitu ketika kita mati terhadap dosa dan bangkit bersama Kristus. Kesempurnaan kekudusan juga diperoleh berkat “kebersamaan dengan seluruh umat manusia” yang berjalan “menuju tujuan yang sama” sebab kesempurnaan kekudusan itu adalah kesempurnaan Gereja.<br /><br />1.2 Gereja Bersifat Sakramen (LG 48)<br /><br />Keberadaan Gereja di dunia ini bersifat sakramental. Karya keselamatan Allah nyata dalam diri Yesus Kristus. Setelah naik ke surga, Yesus mengutus Roh kudus ke atas para rasul. Melalui pewartaan para rasul, banyak orang dibaptis dalam nama Yesus. Berkat kuasa Roh kudus inilah, Yesus sendiri membentuk TubuhNya yaitu Gereja. Roh kudus menggerakkan, mengundang, dan membentuk suatu persekutuan orang-orang untuk menjadi anggota TubuhNya. <br />Berkat persatuan dengan Kristus, Gereja melanjutklan karya keselamatan yang dibawa Kristus dengan pewartaan, pelayanan, kesaksian, dan persaudaraan, serta perayaan. Karya perutusan Gereja ini menjadi sarana untuk menghantar orang kepada persatuan dengan Kristus. <br />Karya perutusan Gereja ini merupakan bentuk peran Gereja untuk mengambil bagian dalam hidup-Nya yang jaya. Dalam hidup-Nya yang jaya, Ia sendiri yang memberikan makan dan minum yakni Tubuh dan darah-Nya. Dengan demikian, keberadaan Gereja menampilkan tanda dan kehadiran Kristus dan yang melaluinya keselamatan Allah terjadi di dunia ini. Dengan perkataan lain, Gereja adalah sakramen keselamatan, tanda dan sarana keselamatan Allah.<br /><br />1.3 Gereja yang Berpengharapan<br /><br />Gereja musafir adalah Gereja yang sedang berjuang. Perjuangan selalu mengandaikan adanya pengharapan. Dalam perjuangan hidup dalam dunia ini, Gereja musafir mengharapkan keselamatan pada akhir zaman. <br />Roh kudus yang dicurahkan kepada Gereja merupakan suatu tanda bahwa keselamatn sudah dialami oleh Gereja di tengah perjuangannya itu. Justru dengan demikian, berkat kuasa Roh kudus, Gereja berjuang untuk melanjutkan karya Yesus di dunia. Dalam hal ini Gereja terlibat aktif dalam karya keselamatan Allah.<br /> Roh kudus itu juga menyatukan Gereja dengan Kristus. Oleh karena dalam dunia ini Gereja telah bersatu dalam Kristus dalam Roh kudus, demikian juga di akhirat. Semua orang yang dibabtis dalam Roh Yesus mengalami keselamatan. Dengan demikian, Gereja memiliki harapan bahwa di dunia eskatologis, Gereja bersatu dengan Kristus secara sempurna. Jadi, Roh kudus itulah merupakan jaminan pengharapan kita. (LG 48) <br /><br />2. Persekutuan Gereja Musafir dan Gereja Surgawi<br /><br />Lumen Gentium melihat bahwa di dalam Kristus Gereja menjadi suatu “persekutuan” (LG 50). Persekutuan hendak menekankan salah satu sifat Gereja yaitu “satu.” Kristuslah yang menjiwai kesatuan itu melalui pembaptisan. Gereja yang telah disatukan oleh Roh Kristus tentu memiliki iman yang sama akan Kristus. Oleh karena itu Gereja tidak dipisahkan dari Kristus. Sebab Gereja adalah tubuh mistik Kristus yang hanya hidup dalam kesatuan dengan Sang kepala yaitu Kristus sendiri. Jadi, Gereja adalah tubuh Kristus sendiri yang hidup dalam satu Roh, dan diikat dalam satu iman akan Kristus. <br />Oleh karena Gereja adalah satu dan hidup dalam satu Roh, serta disatukan dalam iman yang sama akan Kristus, maka Gereja tidak dapat dipisahkan oleh kematian. “Sebab oleh babtis kita telah dikuburkan bersama dengan Dia ke dalam kematian”; tetapi bila “kita telah dijadikan satu dengan apa yang serupa dengan wafat-Nya, kita juga akan disatukan dengan apa yang serupa dengan kebangkitan-Nya”. Gereja yang hidup dan yang telah mati boleh berpisah secara jasmaniah, tetapi bukan demikian secara rohaniah. Sebab Gereja adalah Tubuh Mistik, Tubuh Rohani Kristus, yang dibentuk berkat karunia Roh Kudus melalui sakramen-sakramen. <br />Dengan melihat uraian di atas kita dapat menemukan bahwa Roh Kristus sendirilah yang menyatukan Gereja menjadi satu persekutuan. Dari pihak Gereja, iman yang sama akan kristus menjadi tali pengikat persekutuan itu. Dengan demikian, Gereja terbentuk menjadi satu Tubuh.<br />Jadi, dengan “Satu Tubuh”, Gereja mencakup Gereja Musafir, Gereja yang sedang dimurnikan, dan Gereja jaya. Sebagai satu tubuh, ada beberapa ciri kesatuan Gereja. Pertama, Gereja disatukan dalam ikatan cinta yang sama kepada Allah. Kedua, Gereja diikat dalam dan oleh Roh kudus sehingga sama-sama menjadi milik Kristus. Ketiga Gereja disatukan karena terjalin komunikasi kekayaan rohani. <br /><br /><br />3. Hubungan antara Gereja di dunia dan Gereja di surga <br /><br />Persekutuan rohani sebagai satu Tubuh dalam Kritus menuntut suatu relasi rohani pula. Persekutuan mengandaikan adanya relasi, adanya hubungan. Relasi ini dibangun atas dasar iman, harapan, dan kasih. Berangkat dari sinilah kita dapat memahami bagaimana hubungan antara Gereja di surga dengan Gereja di dunia. Dasar hubungan itu adalah keutamaan Kristen itu sendiri yaitu iman, harap, dan kasih. <br />Iman, harap, dan kasih ini diwujudkan dalam kesaksian hidup. Para rasul dan para martir adalah mereka yang rela mati untuk memberikan kesaksian hidup tentang Kristus. Kemudian banyak orang merasa dipanggil untuk memberikan kesaksian yang sama dengan menghayati hidup miskin dan perawan. Tersapa oleh kesaksian dan pewartaan mereka, banyak orang juga terpanggil untuk menghayati hidup dalam keutamaan kristiani. Kini, Gereja patut menghormati mereka karena mereka telah menghayati iman, harapan, dan kasih. Gereja juga pantas untuk menghormati mereka yang telah meninggal sebab semasa hidup mereka telah menghayati iman dan cinta kasih yang sama. Jadi, hubungan kita dengan para kudus di surga diwijudkan dalam sikap hormat kita kepada mereka. Ini yang pertama. <br />Kedua, hubungan kita dengan “para kudus di surga’ terungkap juga dalam kenyataan bahwa kita memohon doa mereka. Kita memohon doa mereka oleh karena kita yakin bahwa mereka berada “di sisi kanan” Allah. Mereka telah mencapai “persatuan yang sempurna dengan Yesus Kristus” (LG 50). Kristus yang bangkit sebagai yang sulung telah menebus mereka dari dosa. Memohon doa kepada para penghuni surga merupakan suatu tanda kesaksian iman, harapan, dan cinta kasih akan kristus. Dengan memohon doa para kudus sebenarnya kita mengungkapkan iman bahwa Kristus hadir dalam diri para kudusNya. <br />Ketiga, kita yang masih mengembara di dunia ini merenungkan hidup mereka. Mereka adalah orang suci, telah dikuduskan, dan dibenarkan oleh Allah oleh karena cinta kasihNya. Allah telah mengubah tubuh mereka yang fana menjadi tubuh yang lestari menjadi serupa dengan “wajah Kristus.” Dengan merenungkan hidup mereka, kita mendapat “dorongan baru” untuk dengan teguh melangkah menuju “persatuan yang sempurna dengan Kristus”. Jadi, merenungkan hidup para kudus di surga merupakan bentuk bagaimana kita menjalin hubungan dengan mereka. <br />Namun perlu disadari bahwa teladan “para penghuni surga” bukan menjadi suatu alasan yang mendasar mengapa kita menghormati, merayakan atau mengenangkan mereka. Meenghormati, mengenangkan, dan merayakan orang kudus merupakan tanda persaudaraan dan kesatuan kasih dalam Roh antara kita yang masih ada di dunia ini dengan para kudus di surga. Seperti halnya, persekutuan Gereja musafir terarah untuk mendekatkan diri dengan Kristus, demikian halnya keikutsertaan dengan para kudus juga menghantar kita untuk semakin dekat dengan Kristus. Jadi, demikianlah kita hidup dan dipersatukan dalam kasih Kristus. <br /><br />4. Liturgi sebagai Puncak Persekutuan Gereja<br /><br />Gereja Musafir, sejak awal kekristenan menyadari bahwa mereka yang telah meninggalkan dunia ini masih terasa ‘hidup” dalam kedekatan iman, harapan, dan kasih. Gereja awali “merayakan kenangan akan mereka yang telah meninggal” (LG 50). Yohanes Krisostomus (347-407) mencatat, “Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka . . . Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka”. Dari sini kita dapat mengatahui bahwa Gereja awali telah menghormai dan mendoakan mereka yang telah meninggal. <br />Penghormatan dan kenangan itu bukan hanya bersifat personal, bukan hanya sebuah fenomena psikologis, bukan bernostalgia. Kenangan itu dirayakan dengan sangat ‘hikmat”; perayaan Gereja; merayakan iman, harapan, dan kasih. <br />Dalam perayaan ini, Gereja mendoakan mereka yang masih berada dalam “api penyucian” dan mengenangkan serta memohon doa dari mereka yang telah disucikan. Bagi mereka yang masih berada di ‘api penyucian”, kita berdoa kepada Allah mohon pengampunan akan segala dosa mereka. Kepada mereka yang telah disucikan, kita memohon doa mereka. Santo Gregorius Agung (590-604) mengatakan, “Kita harus percaya bahwa sebelum pengadilan masih ada api penyucian. . .” Penyucian itu merupakan karya kerahiman dan kasih Allah sendiri. Untuk itu, doa-doa kita sangat diperlukan karena orang yang telah meninggal hanya mengharapkan doa-doa kita. Dan kita juga memohon doa mereka yang yang telah “berada di sisi kanan” Bapa. <br />Berdoa untuk orang yang telah meninggal itu bisa dijalankan secara pribadi dalam kesatuan iman dengan seluruh Gereja dan melalui perayaan liturgis baik ibadat arwah maupun ekaristi. Akan tetapi, setiap kali kita merayakan ekaristi, Gereja selalu mendoakan para arwah orang beriman dan mempersembahkan kurban pelunas dosa. <br />Lebih dari sebuah wadah untuk mendoakan orang yang telah meninggal, ekaristi merupakan saat di mana persatuan cinta kasih terwujud. Dalam ekaristi Gereja merayakan dan memuji keagungan Allah. Saat yang sama Gereja Mufasir bersatu dengan Gereja jaya dalam suasana surga untuk sama-sama memuji Allah Tritunggal. Sepeti yang dikatakan oleh Scot Hahn, perayaan ekaristi adalah perayaan surga di dunia. Maka, persekutuan Gereja secara nyata diwujudkan dalam perayaan ekaristi bersama Santa Maria, Santo Yosep, para martir, dan semua orang kudus. Sebab mereka adalah model hidup Gereja. Melalui liturgi yang kita rayakan di dunia ini “kita mencicipi Liturgi surgawi” (SC 8). Perayaan cinta kasih ini akan dialami secara penuh ketika seluruh Gereja dan para kudus bersujud menyembah Allah dalam dalam kebahagiaan surga.<br /><br />5. Pedoman Pastoral<br /><br />Berpastoral selalu mengandaikan iman. Sebab, hakikat karya pastoral adalah mewartakan iman. Iman Gereja akan “adanya persekutuan hidup dengan para saudara yang telah meninggal dunia atau sesudah meninggal masih mengalami pentahiran” (LG 51), masuk dalam isi pewartaan. <br /> Dalam hal ini, pertama-tama konsili menekankan bahwa kita perlu meluruskan pandangan dan praktik yang hanya menekankan aspek lahiriah dari perayaan orang kudus. Perayaan itu pada hakikatnya berisi “pujian kepada Kristus dan Allah”. Ibadat yang sejati kepada para kudus bukan pertama-tama dalam banyaknya perbuatan lahiriah, melainkan dalam seberapa besanya cinta kasih kita yang disertai tindakan nyata. <br />Kedua, perlu ditekankan bahwa hubungan kita dengan para penghuni surga, yaitu hubungan cinta kasih yang dilandasi iman, tidak melemahkan praktik devosional kita kepada para kudus. Iman menjadi landasaan yang kokoh bagi poraktik kesalehan kita. <br /> <br />Penutup<br /><br />Kita dipanggil untuk bersatu dengan Kristus melalui Gereja. Identitas kita sebagai anggota Gereja telah terwujud dalam dunia ini sampai pada pesatuan definitif dengan Kristus. Akan tetapi, di dunia ini kita telah mengecap tanda eskatologis di mana kita telah dipanggil menjadi kudus, menjadi sakramen keselamatan, dan memiliki harapan akan kehidupan kekal.<br /> Persekutuan cinta sebagai anggota Gereja dalam iman akan Kristus berkat karya Roh kudus membentuk kita menjadi “Tubuh Kristus” dengan Kristus sebagai kepala. Di sini Gereja Musafir dan Gereja jaya menjalin relasi rohani. Relasi rohani ini tampak dalam hal ini bahwa Gereja Musafir mengenangkan dan merayakan persekutuan itu sambil mengharapkan kehidupan abadi. Puncak perayaan Gereja akan terwujud ketika semua anggota Gereja merayakan liturgi surgawi di surga. <br /> Konsili Vatikan II memberikan sumbangan bagaimana Gereja sungguh memiliki perhatian rohani akan keberadaan mereka yang telah meninggal dunia. Sambil mengenangkan dan menghormati orang-orang yang telah meninggal, Gereja merayakan karya Agung Allah yang nyata dalam diri mereka. <br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Buku-buku <br /><br />Dister, Niko Syukur, Teologi Sistematika 2,, Yogyakarta: Kanisius, 2004.<br /><br />Hardawiryana, R. (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.<br /><br />Hahn, Scott & Regis J. Flaherty, Catholic for a Reason III: Scripture and the Mystery of Mass, Malang: Dioma, 2008.<br /><br />Kirchberger, G., Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1987.<br /><br /><br />Data Internet<br /><br />http://www.ekaristi.org/vat_ii/Konstitusi_Dogmatis_Tentang_Gereja.ph, diakses 31 Oktober 2009.<br /><br />http://www.ekaristi.org/vat_ii/Konstitusi_Dogmatis_Tentang_Gereja.php, diakses 31 Oktober 2009.<br /><br />http://heatubun.blogspot.com/2007/09/eskatologi.html, diakses Senin, 2 November 2009.<br /><br />http://yesaya.indocell.net/id631.htm, diakses 31 Oktober 2009.<br /><br />http://heatubun.blogspot.com/2007/09/eskatologi.html, diakses Senin, 2 November 2009.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-22712957603624954542010-05-06T03:25:00.000-07:002010-05-06T03:29:12.984-07:00ASG 2PERJUANGAN SEORANG ’JEANNE’<br />Apresiasi Film “Jean Of Arc”<br /><br /><br />Gambaran pribadi Jean.<br /><br />Film ini menceritakan tentang seorang gadis Perancis yang masih kekanak-kanakan, yang mendapat stigmata dari Tuhan berupa pedang. Ia percaya bahwa pedang itu adalah pertanda dari Tuhan. Ketika sampai di rumah, ia menyadari bahwa ia mendapatkan misi dari Tuhan untuk membawa kemenangan Perancis atas Inggris. Diceritakan bahwa ia sering melakukan pengakuan dosa pada seorang pendeta. Ia adalah seorang yang pemberani, pandai berbicara, mempunyai kemampuan dalam dirinya. Latar belakang film ini adalah perang merebut kekuasaan antara Perancis dan Inggris. Inggris dipimpin oleh raja Henry VII, sedangkan Prancis dipimpin oleh Raja Charles. Jean hidup dalam lingkungan yang boleh dibilang sangat keras, tidak aman, peperangan, pembunuhan, antara harapan dan kematian, ketidakpastian hidup dan sebagainya. Secara kusus, ia telah menyaksikan dengan mata dan kepala sendiri, di mana banyak orang Perancis dibunuh bahkan juga kakaknya sendiri dibunuh dan diperkosa. <br />Dapat disimpulkan bahwa rasa kebencian dan dendam mulai tertanam dalam diri Jean dengan melihat situasi yang demikian. Oleh karena keyakinan yang dalam, bahwa ia mendapat stigmata dan sebagai utusan dari Tuhan, kemudian ia menghadap raja Perancis dan menyatakan diri sebagai orang yang siap menyelamatkan Perancis. Permohonannya dikabulkan dan oleh raja Charles ia diangkat sebagai panglima pasukan. Alhasil, ia memperoleh kemenangan yang gemilang, tetapi ia ditangkap oleh tentara Inggris karena dianggap berbahaya. Namun, dari pihak gereja setempat membela Jean dengan syarat harus menandatangani surat yang menyatakan bahwa ia akan dibebaskan dari hukuman dibakar hidup-hidup. Tetapi ternyata isi surat itu menyatakan bahwa ia tidak mengakui Tuhan dan penyihir. Selain itu, ia dipaksa mengenakan pakaian laki-laki sehingga raja mempunyai alasan untuk menghukum dia. Gereja tidak dapat berbuat apa-apa selain menyerahkan kepada raja untuk dibakar hidup-hidup. <br />Bagaimana gereja melihat Vision?<br /><br />Gereja memang mengakui Vision. Namun, untuk sampai pengakuan oleh gereja tidaklah mudah. Nah, dari film ini kita dapat melihatnya secara jelas. Dari sikap para uskup tampak jelas, bahwa untuk mengakui dan menerima apakah seseorang sungguh-sungguh mendapat Vision dari Tuhan, itu tidak mudah dan gampang. Gereja katolik tidak menerima dan mengakui begitu saja yang namanya Vision. Prosesnya cukup lama dan melalui suatu penelitian yang cukup akurat dan melalui pembuktian yang solid. Gereja memang mengakui bahwa setiap orang mempunyai karunia dan karisma tersendiri. Namun, untuk dapat dikategorikan sesuatu apakah itu Vision tidak mudah. Namun, menurut saya keputusan dari pihak gereja terlalu menekankan apa yang namanya kuasa hierarki. Kuasa hierarki maksudnya gereja mempunyai wewenang mutlak untuk memgambil keputusan terhadap sesuatu hal khususnya dalam persoalan vision yang diterima oleh Jean. Gereja tidak menghargai previlasi pribadi orang. Gereja dalam hal ini para uskup, melihat bahwa pengakuan Jean yang menyatakan ia menerima tanda dari Tuhan hanyalah halusinasi belaka, sentimen pribadi untuk membalas kekejaman yang dilakukan oleh orang Inggris terhadap keluarga, masyarakat pada umumnya dan sebagai. Inilah yang melatarbelakangi Jean untuk memimpin pasukan dalam berperang. Ia menyatakan diri sebagai utusan Tuhan.<br /><br />Kelemahannya yang digambarkan dalam film ini<br /><br />Dalam film ini tampak terlihat adanya kesenjangan dalam ranah gereja. Gereja terlalau cepat mengambil keputusan. Gereja seolah bertindak otoriter. Keotoriteranya terlihat jelas ketika Jean dengan jujur menyampaikan apa yang dialaminya, gereja tidak menghiraukannya. Lagipula, Jean adalah seorang anak kecil, sehingga kebenaran yang disampaikannya dianggap remeh dan tidak didengarkan. Gereja ingin mempunyai pembuktian yang solid mengenai Vision yang dialami oleh Jean. Gereja kurang menghargai apa yang namanya karunia pribadi. <br /><br />Kedua, tidak adanya otonomi dalam gereja. Karena gereja dan negara satu, sehingga persoalan gereja sering dicampuradukan dengan persoalan negera. Gereja satu sisi, sebagai sakramen keselamatan yang tampak dalam dunia dan ingin menyelamatkan umat. Namun, di sisi lain, gereja karena ditekan oleh negara sehingga gereja menuruti keputusan yang diambil oleh pihak negara. Ini tampak jelas, di mana uskup tidak mengetahui apa isi surat yang ditandantangani oleh Jean, yang justru membuat Jean harus dipenjarakan dan dibakar hidup-hidup. Ada suatu dilematis di mana persoalan yang sebetulnya menjadi tanggung jawab gereja, tetapi tak dapat dielakan persoalan itu juga menjadi tanggung jawab negara. Antara wewenang gereja dan negera selalu sejalan dan yang paling menyedihkan ketika negara bersikap otoriter dan tidak mengindahkan apa yang menjadi wewenang gereja. Yang sangat ironisnya Gereja yang mengangkat raja, tetapi raja bisa mengusir uskup.<br /><br />Ketiga, tidak ada penghargaan terhadap perempuan. Suara perempuan sama sekali tidak diperhitungkan dan didengarkan. Jean adalah representasi para perempuan zaman itu yang ingin menyuarakan suara persamaan hak dan kewajiban sebagai perempuan. Apa yang dialami oleh Jean harus diakui bahwa inilah model praktik politik pada zaman itu. Dapat dikatakan praktik politiknya cacat. Ini dapat disaksikan dari sikap dan tindakan baik raja maupun para prajuritnya, yang oleh kekuasaan jabatan dan pangkat mereka dapat bertindak sesuka hatinya. <br />Keempat, kebenaran yang dimanipulasi. Jean menjadi korban dari manupulasi kebenaran. Tolak ukur kebenaran hanya ada pada raja. <br /><br />Sumbangan terhadap gereja sekarang dari apa yang diceritakan dalam film ini.<br />Dari uraian mengenai kepribadian, pandangan gereja tentang vision dan kelemahan yang dilukiskan dapat film ini, saya mencoba melihat beberapa hal yang merupakan sumbangan film ini bagi kehidupan gereja sekarang.<br /><br />Pertama, Konsep hubungan agama dan negara. Hubungan gereja dan negara perlu dibangun atas dasar penghargaan dan kesadaran bahwa baik negara maupun gereja mempunyai batas-batas dan wewenang terhadap kelangsungan setiap pribadi manusia. Karena itu hubungan yang dibangun bukan saling menundukan satu dengan yang lain, dalam bentuk negara agama (negara tunduk pada agama atau sebaliknya) seperti pratik kehidupan gereja dan negara yang dilukiskan dalam film ini. Gereja dan negara adalah dua entitas yang mesti otonom, yang mana baik gereja maupun negara mempunyai kekuasaan yang berbeda. Meskipun secara institusional gereja dan negera terpisah, itu tidak berarti keduanya saling mengusai karena orang-orang yang sama adalah warga negara sekaligus juga warga Gereja.<br /><br />Kedua, zaman sekarang tentu berbeda dengan zaman dahulu. Perbedaan itu misalnya perkembangan Teknologi, cara perpikir, kebudayaan, mentalitas manusia dan sebagianya. Semua elemen ini mewarnai dan mempengaruhi manusia baik dari segi internal maupun eksternal. Nah, gereja sekarang mesti belajar dan bercermin serta merefleksikan tindakan yang dilakukan oleh gereja pada abad pertengahan dalam kaitan dengan vision. Di era sekarang di mana-mana terdengar bahwa seseorang mendapat penglihatan atau berupa penampakan. Gereja mempunyai wewenang untuk menseleksi apakah itu benar-benar terjadi atau hanya rekayasa pribadi yang mempunyai motif dibalik itu yakni untuk mendatangkan keuntungan. Meskipun gereja mempunyai wewenang untuk menseleksi itu tidak berarti gereja dalam mengambil tindakan disertai dengan kekerasan terhadap pribadi yang mendapat penglihat, tanda, atau penampakan seperti yang dilukiskan dalam film ini. Sikap gereja pada abad pertengahan rasa-rasanya tidak menunjukan nilai keselamatan dari kehadiran gereja di tengah dunia. Karena itu, gereja sekarang mesti merubah cara pandang terhadap pribadi manusia. Artinya, pengakuan akan kebenaran sesuatu tidak mutlak dari gereja, tetapi juga memperhatikan pribadi manusia yang bersaksi.<br /><br />Ketiga, seruan profetis. Jean adalah tokoh profetis. Ia tampik sebagai pemimpin untuk menyelamat bangsa Prancis. Dari sana, kita dapat mengatakan bahwa pewartaan akan kabar gembira atau peran kenabian itu bukan hanya tugas laki-laki, tetapi juga perempuan. Dalam zaman sekarang, kita dapat melihat bahwa perempuan kurang diperhatikan dan bahkan diabaikan. Suara mereka bahkan kurang diperhitungkan. Sesungguhnya gambaran pribadi Jean, mendekonstruksi cara pandang kita terhadap peran perempuan untuk zaman sekarang.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-51398585303635933672010-05-06T03:23:00.000-07:002010-05-06T03:24:46.539-07:00FILSAFAT POSMODERNBETAPA SULITNYA MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN YANG ORISINIL<br /><br /><br />Pengantar <br /> John D Caputto lahir sebagi seorang filsuf kontemporer yang juga ebrgulat dengan masalah hermeneutika. Bagi dia hermeneutika itu harus menampilkan wajah baru dengan menepis secara tuntas wajah lama hermeneutika yang masih terikat dengan unsur sosio-kultural dan nilai historis dari sebuah teks. Hermeneutik yang dalam istilah sehari-hari diartikan sebagai interpretasi atau penafsiran, pada awalnya merupakan metode penelitian dalam human sciences, yang merupakan bagian dari pergulatan manusia dalam menemukan pengetahuan yang berharga. Dan pengetahuan itu berjung pada pelegalan untuk berkuasa. Knowledge is power, demikian kata Michael Fauchault. Namun bagi Capputo, yang mewarisi tradisi hermeneutika para filsuf yang mempengaruhinya, hermeneutika adalah usaha untuk menemukan nilai terdalam dari teks ayng bersumber dari teks itu sendiri dan bukan dari laur teks serta tidak mempunyai pretensi untuk berkuasa seperti pemahamab Fouchault.<br /><br />Isi<br />Aristoteles mengatakan hidup sulit dimengerti. Mengapa sulit? Karena para perumusnya yang merumuskan memahami persoalan dan mudah dalam merumuskannya, tetapi ketika itu menjadi sebuah teks dan kemudian orang membacanya ternyata teks itu tidak semudah yang dipikirkan dan dirumuskan oleh para perumus. <br />Heidegger mengatakan “factical life” hidup yang nyata, yang konkret ini atau kenyataan yang ada cenderung melihatnya sebagai suatu yang mudah. Maka ia mengedepankan “hermeneutika of facticity.” Ini semacam bedah untuk melihat dan membaca kehidupan yang orosinil. Menurut dia kehidupan yang sekarang merupakan kumpulan kepingan-kepingan kehidupan. Kepingan-kepingan kehidupan itu yang membentuk sebuah teks. Untuk kembali pada eksistensi yang nyata dan sesuai dengan fakta yang sesungguhnya itu sangat sulit. Bagaimana mengembalikan kehidupan yang orisinil?<br /> <br />“Hermeneutika of facticity” kemudian disertai dengan diskursus metafisika. Metafisika yang dimaksudkan adalah metafisikan secara umum. Dengan disertainya metafisika bertujuan untuk memberikan pencerahan mengenai persoalan dan kesulitan untuk mengembalikan kehidupan yang orisinil. Gagasan metafisika ini dikemukakan oleh Derida. “Hermeneutika of facticity”-nya Heidegger meyakini bahwa kehidupan itu sulit dan sukar, karena itu ia mengharapkan agar kita waspada dan hati-hati untuk memecahkan dan memutuskan akan ketidakteraturan dalam adanya sesuatu. Penafsiran baru ini tidak akan membuat sesuatu menjadi mudah, tetapi lebih mengungkapkan kembali kehidupan yang sulit dalam ADA dan WAKTU, sebelum metafisika memperkenalkan kepada kita sebagai suatu jalan keluar yang cepat dan mudah untuk kembali pada perubahan terus-menerus. <br />Metafisikan selalu berangkat dari pertanyaan akan sesuatu. Metafisika selalu berangkat dari keragu-raguan, kecemasan, akan adanya sesuatu hal. Maka ia mulai mempertanyaan hal itu. Namun, pertanyaan metafisika kerap menimbulkan persoalan dan bukannya menjawabi dan menemukan keorisinialnya sesuatu hal. Heidegger tidak mempertanyakan yang ada, ia membiarkan ada sebagaimana adanya di sana. Di sanalah Heidegger melakukan Hermeneutika Metafisika atau Heidegger melakukan dekonstruksi metafisika.<br /> Johanes Climacus menulis iktisar untuk menjelaskan dan menjernihkan ringkasan metafisika Hegel. Pembahasan pemikiran Johanes Climacus dalam teks ini tidak secara gamblang diperlihatkan oleh Caputo. Namun, bagi Caputo Johanes dan para pengikut Kiegegard—para Constantin/constantius adalah tokoh penting baginya, mereka termasuk yang memahami hermeneutika.<br />Pengulangan. Constantin mengawali pembicaraan mengenai pengulangan ini dengan sebuah problem para Heraklitos yakni bagaimana pribadi yang eksis menciptakan waktu dan perubahan terus-menerus? Dia mengatakan lewat pengetahuan. Pengetahuan manusia itu selalu berubah dan bertambah terus-menerus. Dengan pengetahuan, manusia memiliki ruang untuk berubah terus-menerus sepanjang manusia itu ada. Paham orang Yunani “pengulangan” sebagai suatu pergerakan mundur. Orang Kristen pengulangan ke depan. Jadi, bagi dia pengulangan bukanlah pengulangan yang sama seperti orang Yunani memproduksi kembali, tetapi sebauh produksi yang kreatif yang mendorong ke depan. <br />Caputto menyadari bahwa hermeneutika baru itu menemukan permulaan sisi radikalitasnya dalam diri Heidegger. Ia mengakui juga bahwa filsuf-filsuf besar sesudahnya adalah para pemikir radikal. Dalam hal ini Gurunya Heidegger yaitu Edmund Hurserl juga diperhitungkan dalam proyeknya. Dia diperhitungkan karena Heidegger sebenarnya melanjutkan karya-karya gurunya itu. Edmund Hurserl telah memberikan gambaran tentang perubahan terus menerus dan dan prinsip pengulangan dari segala sesuatu. Segala pengulangan itu elbih ebrmakna dari apa yang diulang. Heidegegr meneruskan pemikirannay ini dalam sebuah bukunya yang berjudul Being andTtime. Buku ini juga adalah proyek yang tidak sempat diselesaikan secara tuntas oleh Heidegger. Proyeknya ini dilengkapi oleh Derrida dan memberikan jasa yang sangat besar dalam pemkirannya yang kahs dengan terminology dekosntruksinya itu. Dia mengakui abhwa dalam memahami teks kita harus membaca secara ganda. Selain kita berusaha memahami maksud pengarang, kita juga berusaha menemukan apa yang disisihkan, dipinggirkan bahkan yang direpresi oleh pengarang. Pembacaan ini sejatinya untuk melawan kebiasaan dalam memandang realitas sebagai oposisi biner di mana segala sesuatu itu berlawanan satu sama lain serta menilai realiats itu dengan prinsisp superioritas dan inferioritas. Misalnya, perempuan itu lebih rendah dari laki-laki, yang genap itu lebih baik dari yang ganjil, dan lain sebagainya.<br /> Caputto tidak mengikuti prinsip hermeneutika yang sudah matang dan mapan serta tidak mau diusik lagi dari tidur manisnya. Atas dasar ini, ia berseberanghan dengan para filsuf jaman romantisisme seperti Shleimacher dan Wilhem Dilthy. Kedua filsuf ini masih bergulat dengan pembacaan lama atas teks di aman mereka amsih teikat dengan latar belakang sejarah serta pengalaman personal pencipta teks. Dia tidak mau mengikuti cara ini. Dia membuat suatu sistem yang baru yang sifatnya radikal yaitu melihat teks secara lebih dalam. Dan kedalaman dari sistenya yang baru itu terpaut secara terbuka pada pola dekontruksinya Derrida. Ketika dia hendak membangun sebuah hermeneutika, ia pertama-tama mengobrak-abrik teks dengan cara dekonstruksi. Setelah dekontruksi selesai proyeknya dilanjutkan dengan sebuah hermeneutika. Dan di sinilah letak radikalitasnya hemeneutika ala John D Capputo.<br /> Kami melihat bahwa Capuuto adalah anak tunggal dari perkawinan dua filsuf yang besar yaitu Heidegger seorang murid Husserl dan Deridda yang meneruskan proyek Heidegger. Ajdi dia adalah seorang capputo yang heidegerian dan deridderian. Dia mencoba membangun sistematika pemikirannya yang didasarkan atas enomenologi (Hermeneutika of Facticity) Heidegger dan dekonstruksinya Deridda.<br /><br />Kesimpulan<br /><br />Jadi hermeneutika sangat sulit. Hermeneutika adalah suatu pemikiran yang radikal yang mencurigakan mengenai jalan keluar yang mudah, secara khusus meragukan filsafat, metafisika yang hanya selalu melakukan itu. Hermeneutika ingin melukiskan kesulitan kita dan mencoba menjadi keras hati dan untuk bekerja “dari bawah.”fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-25537557153514007662010-05-06T03:22:00.000-07:002010-05-06T03:23:32.187-07:00EKSEGESE PAULUSSiapakah Paulus<br /><br /> Paulus adalah seorang tokoh yang paling besar dan paling bepengaruh setelah Yesus<br /> Ia berjasa dalam menyebarluaskan agama kristen sampai ke kota Roma/ mungkin sampai ke Spanyol<br /> Paulus juga adalh seorang yang kontroversial/ konflik karena:<br />1. sering tulisannya sulit sehingga mudah di salah tafsirkan (2 pet 3:15-16)<br />2. Berani menentang siapapun termasuk Petrus dan Barnabas<br />3. Karena tulisan Paulus sulit, ada banayk tuduhan oleh para ahli kepadanya: pembenci perempuan, homosekssual<br />Sumber penyususnan riwayat hidup Paulis:<br /> Surat2 Paulus sendiri para ahli cendrung menggunakan teks ini<br /> Kisah para rasul<br /> Catatan sejarah<br />Riwayat hidup kepemimpinan paulus strategi pewartaan paulus ( Lihat diktat yach)<br /><br />TEOLOGI PAULUS<br /><br />Ada 3 hal yang akan dibicarakan:<br /> Allah Bapa<br /> Allah Putra<br /> Allah Roh Kudus<br /><br />Allah Bapa sebagai pusat segalanya<br />Paulus sanagt berorentasi dengan Allah Bapa ( Allah Bapa itu adalah pusat segalanya. hal ini adalah nampak dalam frekuensi kata Allah dalam suratnya ........... Kata Allah dalam PB dalam tulisan Paulus 548 kata. Setiap 25 kata dalam surat Roma mengandung kata Allah sehingga tidak mengherankan bagi Paulus Allah itu adalah segala-galanya Theosentris. 1 kor 15:28Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua. <br />Sifat-sifat Allah<br /><br />Allah itu Esa & Mulia<br /> Paulus mengakui bahwa Allah itu hanya satu<br /> Paulus tidak menerima penyembahan berhala ( karena ia percaya hanya satu Allah), sehingga ia tidak dapat menerima Allah lain.<br /><br />kata mulia dalm tulisan leon Moris<br /> IA menyebut Allah itu Allah yang mulia sebanyak 77 x / 47 %<br /> Ia berpendapat bahwa orang yang berdosa kehilangan kemiliaan Allah oleh karena itu ...? 5:2 Ia berkata bahwa orang yang berdosa mempunyai harapan untuk menerima kembali kemuliaan Allah yang hilang dari dirinya<br /> Kemuliaan Allah itu perlu dipakaiuntuk pendorong tingkalaku artinya kita sebagai manusia...?<br /><br />Allah menghakimi<br /><br /> Allah itu tidak pernah acuh tak acuh, Ia mempunyai perhatian yang sanagt besar terhadap manusia<br /> Dosa sellau dikaitkan dengan kemuliaan Allah & setiap dosa selalu berhubungan dengan Allah<br /> Allah bisa marah maka akan menhukum orang Paulus melihat Allah aktif menghukum Cth hukum sebab akibat<br /> Penghakiman yang sesungguhnya terjadi pada akhir jaman. Pada waktu itu Tuhan aaadala adil, Ia akan menghakimi orang yang baik dan orang yang jahat, Ia juga bersikap jujur, benar dan secatra defenitif/ tidak pandang bulu.<br /><br />Allah itu kasih<br /> Allah mengasihi kita Sanagt berarti bahwa Paulus sering menyebut Alalh itu sebagai Bapa<br /> Allah itu kekitu kekuasaan karena didorong oleh cintanya dan didukung oleh kekuasaanya kekuasaan dan cinta itu saling berhubungan erat di dalam diri Allah<br /> Ayat-ayat emas dalam surat Paulus:<br />1. Rm 5:8 Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. <br />2. Rm 5:5 Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita. <br />3. Rm 8:38-39 Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang,<br />4. 8:38-39 atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.<br />5. Rm 8:28 Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. <br /><br />Pemilihan bangsa Israel<br />Tuhan memilih karena Ia mencintai, karena bangsa Israel adalh bukan bangsa yang besar.<br />Kebenaran:<br />1. Dikiatkan dengan Allah<br />2. Dikaitkan dengan manusia yang terdiri dari:<br /> Kebenran Forensic<br /> Kebenaran moral / etis<br /><br />Kata benar dalam kitab suci<br />Benar, adil : Zadig<br />Kebenaran/ keadilan ; Zedeg<br />benar: berbuat/ bersikap sesuai dengan norma / standar 9 standar Allah<br />Dalam PL kata kebenaran sering muncul bersamaan dengan kata keselamatan dara Allah.<br />Kalau Allah menyelamatkan umatnya berarti Allah setia pada perjajiannya<br />Jadi Allah itu benar apabila Ia menyelamatkan dan melindungi umatnya (israel) melalui patner perjanjianya. Dengan kata lain: Allah itu benar kalau Ia menyelamatkan umatnya & umatnya benar kalau ia setia pada perjanjianya.<br /><br />Dikaitkan dengan manusia yang terdiri dari:<br /> Kebenaran moral / etis<br />Orang benar berarti orang yang setia pada perjajiannya dengan mentaati hukum Tuhan 7 hidup sesuai dengan standar. Tuhan tidak memberikan kesucian itu Cuma-Cuma tetapi perjuangan manusia, dan kesucian itu tidak dapat dirampas oleh siapun.<br /> Kebenaran Yuridis / Forensic<br />Orang benar disalahkan dan orang salah dibenarkan, inilah kebanaran yang dirampas.<br />Manusia yang berdosa dibenarkan oleh Allah dengan Cuma-Cuma Kalau kamu percaya kepada yesus maka kamu akan diselamatkan.<br /><br />Tujuan Penulisan Surat Roma:<br /><br /> Untuk meanggapi situasi dan kebutuhan konkret yg timbul dalam jemaat yg didirikannya. Dia mengatakan: “Dlm pemberitaan itu aku mengaggap sbg kehormatanku, bhw aku tdkmelakukannya ditempat2, dimana nama Kristus telah dikenal orang, spy aku jangan membangun di atas dasar, yg tlh diletakkan org lain” (Rm 15:20)<br /><br />Mengapa tulis surat kpd Jemaat di Roma (yg tdk didirikannya?):<br /> Karena ia ingin mewartakan Injil ke Spanyol. Untuk tujuan itu ia singgah di Roma<br />Persoalan:<br />• Kalau hanya singgah ko tulis surat sekian banyak? Lalu bcr panjang lebar ttg masalah org Yahudi dan bkn Yahudi ditambah lg singgung ttg kedudukkan Taurat?<br />• Rm 1:11-12: “Sebab aku ingin mlht kamu utk memberikan karunia rohani kpdmu guna menguatkan kamu yi spy aku ada di antara kamu dan turut terhibur olh iman kt bersama, baik oleh imanmu maupun olh imanku>>> apa itu mrpkn salah satu juan pnlsn srt Rm?<br />Pendapat pr ekseget: bhw tujuan pnlsn srt Rm ad: utk membela org2 kristen Yahudi yg ada di Roma yg pd thn 49 M di usir dr Roma olh kaisar Klaudius ttp diizinkan msk kbl olh kaisar Nero thn 54 M, ttp mrk mjd minoritas<br /> <br /> Selanjurtnya: <br />Timbul ketegangan antara org kristen-Yahudi (minoritas)>> ingin bpgng teguh pd Taurat X org2 kristen bkn Yahudi >> ingin lepas dr Taurat<br /><br /> Usaha untuk membela orang Yahudi tampak dalam:<br />• Rm 9-11 : Misteri bgs Yahudi<br />• Rm 7: Fungsi Taurat<br />• Rm 12:3 dst: Kesatuan Jemaat<br />• Ada jg ayat2 yg mmebela mrk yg berhati nurani lemah (mengacu pd soal mkn bg org kristen-yahudi)<br /><br />Kesimpulan:<br />Tujuan utama Paulus menulis surat adalah memperkenalkan isi Injilnya, spy jemaat di Roma bersedia menerima dia tanpa curiga. Hal ini pentiing krn Paulus nanti akan mohon bantuan materiil dr jemaat di Roma & mohon bantuan org2 kristen Roma dlm usahanya mewartakan Injil di Sapnyol.<br /> TAFSIRAN ROMA<br /><br /><br />Tafsir:<br />Roma 1:1-7 (Salam Pembukaan)<br /><br />Pengantar: <br />Skema surat Paulus ikut skema srt Roma-Yunani, <br />• salam pembukaan tdd: nama pengirim, nm si penrm & slm. <br />• Dlm surat2 Paulus salam diperpanjang dengan keterangan (Pggln dirinya sbg rasul & misteri kristus)<br />• Salam Yunani , “chairein (bersukacitalah) diganti dengan salam Kristen –Yahudi charis (kasih karunia) dan eirene (damai (bil 6:24-26)>>> plg panjang<br /><br />Ayat 1:<br /><br />“Hamba” (doulos)<br />• Paulus menyebut diri sbg hamba Kristus Yesus + para pewarta Injil lainnya jg dis hamba Allah/hamba YK/hamba Injil (Gal 1:10; Flp 1:1)<br />• Orang2 Kristen biasa: hamba2 Kristus (1 Kor 7:22; Ef 6:6)<br />• Spiritualitas Paulus: <br /><br />“Menjadi orang Kristen berarti mjd hamba / budak Kristus”.<br /><br />Alasan:<br />• Kristus tlh memiliki kt sebab Ia telah membeli kita . 1 Kor 7:23 “Kamu telah dibeli dan harganya lunas dibayar. Karena itu janganlah kamu menjadi hamba manusia Melainkan hamba Tuhan saja<br />• Sebagai seorang budak orang kristen harus mengabdi (douleuein) Yesus Kristus dengan sepenuh hati (Rm 12:11; Ef 6:5-7; Kol 3:24)<br />• Sebab seluruh hdp org Kristen hrs dipersembahkan kepada Kristus (Rm 14:8)<br /><br />“ Dipanggil Menjadi Rasul”: <br /><br />Ide inisiatif dr Allah<br />• Ay 5 “kami mnrm ksh karunia Allah dan jabatan rasul<br />• Ay 6: mengacu pd panggilan org kristen<br />• Ttg panggilan : gal 1:15; 1 kor 4: ; 12:28<br /><br />Istilah Rasul:<br />• Yunani : Apostolos>>krg mencerminkan makna kristiani<br />• Ibrani : Shaliah:<br />Duta yg diutus seorang raja atau pembesar >> dia hrs mewakili pribadi yg mengutusnya. Konsekuensinya: Jika duta diterima dengan baik berarti menerima dia yg mengutus sebaliknya siapa yg menolak duta itu ia menolak yg mengutusnya >> Mat 10:40 “Barang siapa menyambut kamu, ia menyambut Aku dan brgsp menyambut Aku , ia menyambut Dia yg mengutus Aku” <br /><br /><br />Persoalan:<br />o Paulus tdk pernah ikut Yesus slm hdpnya >> itu berarti dia bkn rasul spt yg dimksd olh Petrrus (kis 1:21-22) <br /><br />• Namun Paulus yakin: yesus Kristus sendiri telah menyatakan diri kpdNya dan menunjuk dia sbg rasulNya (Gal 1:15-16) >> Mk dia mengaggap diri setara dengan pr rasul lainnya.<br /><br />“Dikuduskan”: <br />• Aslinya dikhususkan (Kis 13;2; Gal 1:15<br />• Paulus dikhususkan sblm ia lahir (Gal 1:15) = Yeremia (Yer 1:5)<br />• Kesimpulan: mungkin mengingatkan org pd latar belakng Paulus sblm pertobatnnyayi sbg orang Farisi >> “org yg disendirikan, org elite”<br /><br />“Injil Allah”<br />• Injil yg disampaikan Allah>> disini Allah lbh ditonjolkan sbg asal-usul Injil<br />• Istilah “Injil AnakNya (ay 9): yg lbh ditekankan ad kabar gembira ttg karya keselamatan Allah dalam diri Kristus.<br /><br />Ayat 2:<br /><br />Menekankan kontinuitas PL & PB / penggenapan PL dlm PB>> Ptg utk mengerti misteri rencana keselamatan Allah yg diuraikan dlm slrh suratnya.<br />Jadi Rm 1:2 tdk sesuai dengan Marcionisme yg tolak PL<br /><br />Ayat 3-4:<br /> <br />Isi Injil: peristiwa Yesus kristus sebagai Anak Allah yg menjadi manusiafabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-28086001819801466442010-05-06T03:21:00.000-07:002010-05-06T03:22:03.127-07:00DATA INTENTMEDIATOR DEI<br />ENCYCLICAL OF POPE PIUS XII<br />ON THE SACRED LITURGY<br />TO THE VENERABLE BRETHREN, THE PATRIARCHS, PRIMATES,<br />ARCHBISHOPS, BISHIOPS, AND OTHER ORDINARIES<br />IN PEACE AND COMMUNION WITH THE APOSTOLIC SEE<br /><br />Venerable Brethren,<br />Health and Apostolic Benediction.<br />Mediator between God and men[1] and High Priest who has gone before us into heaven, Jesus the Son of God[2] quite clearly had one aim in view when He undertook the mission of mercy which was to endow mankind with the rich blessings of supernatural grace. Sin had disturbed the right relationship between man and his Creator; the Son of God would restore it. The children of Adam were wretched heirs to the infection of original sin; He would bring them back to their heavenly Father, the primal source and final destiny of all things. For this reason He was not content, while He dwelt with us on earth, merely to give notice that redemption had begun, and to proclaim the long-awaited Kingdom of God, but gave Himself besides in prayer and sacrifice to the task of saving souls, even to the point of offering Himself, as He hung from the cross, a Victim unspotted unto God, to purify our conscience of dead works, to serve the living God.[3] Thus happily were all men summoned back from the byways leading them down to ruin and disaster, to be set squarely once again upon the path that leads to God. Thanks to the shedding of the blood of the Immaculate Lamb, now each might set about the personal task of achieving his own sanctification, so rendering to God the glory due to Him.<br />2. But what is more, the divine Redeemer has so willed it that the priestly life begun with the supplication and sacrifice of His mortal body should continue without intermission down the ages in His Mystical Body which is the Church. That is why He established a visible priesthood to offer everywhere the clean oblation[4] which would enable men from East to West, freed from the shackles of sin, to offer God that unconstrained and voluntary homage which their conscience dictates.<br />3. In obedience, therefore, to her Founder's behest, the Church prolongs the priestly mission of Jesus Christ mainly by means of the sacred liturgy. She does this in the first place at the altar, where constantly the sacrifice of the cross is represented[5] and with a single difference in the manner of its offering, renewed.[6] She does it next by means of the sacraments, those special channels through which men are made partakers in the supernatural life. She does it, finally, by offering to God, all Good and Great, the daily tribute of her prayer of praise. "What a spectacle for heaven and earth," observes Our predecessor of happy memory, Pius XI, "is not the Church at prayer! For centuries without interruption, from midnight to midnight, the divine psalmody of the inspired canticles is repeated on earth; there is no hour of the day that is not hallowed by its special liturgy; there is no state of human life that has not its part in the thanksgiving, praise, supplication and reparation of this common prayer of the Mystical Body of Christ which is His Church!"[7]<br />4. You are of course familiar with the fact, Venerable Brethren, that a remarkably widespread revival of scholarly interest in the sacred liturgy took place towards the end of the last century and has continued through the early years of this one. The movement owed its rise to commendable private initiative and more particularly to the zealous and persistent labor of several monasteries within the distinguished Order of Saint Benedict. Thus there developed in this field among many European nations, and in lands beyond the seas as well, a rivalry as welcome as it was productive of results. Indeed, the salutary fruits of this rivalry among the scholars were plain for all to see, both in the sphere of the sacred sciences, where the liturgical rites of the Western and Eastern Church were made the object of extensive research and profound study, and in the spiritual life of considerable numbers of individual Christians.<br />5. The majestic ceremonies of the sacrifice of the altar became better known, understood and appreciated. With more widespread and more frequent reception of the sacraments, with the beauty of the liturgical prayers more fully savored, the worship of the Eucharist came to be regarded for what it really is: the fountain-head of genuine Christian devotion. Bolder relief was given likewise to the fact that all the faithful make up a single and very compact body with Christ for its Head, and that the Christian community is in duty bound to participate in the liturgical rites according to their station.<br />6. You are surely well aware that this Apostolic See has always made careful provision for the schooling of the people committed to its charge in the correct spirit and practice of the liturgy; and that it has been no less careful to insist that the sacred rites should be performed with due external dignity. In this connection We ourselves, in the course of our traditional address to the Lenten preachers of this gracious city of Rome in 1943, urged them warmly to exhort their respective hearers to more faithful participation in the eucharistic sacrifice. Only a short while previously, with the design of rendering the prayers of the liturgy more correctly understood and their truth and unction more easy to perceive, We arranged to have the Book of Psalms, which forms such an important part of these prayers in the Catholic Church, translated again into Latin from their original text.[8]<br />7. But while We derive no little satisfaction from the wholesome results of the movement just described, duty obliges Us to give serious attention to this "revival" as it is advocated in some quarters, and to take proper steps to preserve it at the outset from excess or outright perversion.<br />8. Indeed, though we are sorely grieved to note, on the one hand, that there are places where the spirit, understanding or practice of the sacred liturgy is defective, or all but inexistent, We observe with considerable anxiety and some misgiving, that elsewhere certain enthusiasts, over-eager in their search for novelty, are straying beyond the path of sound doctrine and prudence. Not seldom, in fact, they interlard their plans and hopes for a revival of the sacred liturgy with principles which compromise this holiest of causes in theory or practice, and sometimes even taint it with errors touching Catholic faith and ascetical doctrine.<br />9. Yet the integrity of faith and morals ought to be the special criterion of this sacred science, which must conform exactly to what the Church out of the abundance of her wisdom teaches and prescribes. It is, consequently, Our prerogative to commend and approve whatever is done properly, and to check or censure any aberration from the path of truth and rectitude.<br />10. Let not the apathetic or half-hearted imagine, however, that We agree with them when We reprove the erring and restrain the overbold. No more must the imprudent think that we are commending them when We correct the faults of those who are negligent and sluggish.<br />11. If in this encyclical letter We treat chiefly of the Latin liturgy, it is not because We esteem less highly the venerable liturgies of the Eastern Church, whose ancient and honorable ritual traditions are just as dear to Us. The reason lies rather in a special situation prevailing in the Western Church, of sufficient importance, it would seem, to require this exercise of Our authority.<br />12. With docile hearts, then, let all Christians hearken to the voice of their Common Father, who would have them, each and every one, intimately united with him as they approach the altar of God, professing the same faith, obedient to the same law, sharing in the same Sacrifice with a single intention and one sole desire. This is a duty imposed, of course, by the honor due to God. But the needs of our day and age demand it as well. After a long and cruel war which has rent whole peoples asunder with it rivalry and slaughter, men of good will are spending themselves in the effort to find the best possible way to restore peace to the world. It is, notwithstanding, Our belief that no plan or initiative can offer better prospect of success than that fervent religious spirit and zeal by which Christians must be formed and guided; in this way their common and whole-hearted acceptance of the same truth, along with their united obedience and loyalty to their appointed pastors, while rendering to God the worship due to Him, makes of them one brotherhood: "for we, being many, are one body: all that partake of one bread."[9]<br />13. It is unquestionably the fundamental duty of man to orientate his person and his life towards God. "For He it is to whom we must first be bound, as to an unfailing principle; to whom even our free choice must be directed as to an ultimate objective. It is He, too, whom we lose when carelessly we sin. It is He whom we must recover by our faith and trust."[10] But man turns properly to God when he acknowledges His Supreme majesty and supreme authority; when he accepts divinely revealed truths with a submissive mind; when he scrupulously obeys divine law, centering in God his every act and aspiration; when he accords, in short, due worship to the One True God by practicing the virtue of religion.<br />14. This duty is incumbent, first of all, on men as individuals. But it also binds the whole community of human beings, grouped together by mutual social ties: mankind, too, depends on the sovereign authority of God.<br />15. It should be noted, moreover, that men are bound by his obligation in a special way in virtue of the fact that God has raised them to the supernatural order.<br />16. Thus we observe that when God institutes the Old Law, He makes provision besides for sacred rites, and determines in exact detail the rules to be observed by His people in rendering Him the worship He ordains. To this end He established various kinds of sacrifice and designated the ceremonies with which they were to be offered to Him. His enactments on all matters relating to the Ark of the Covenant, the Temple and the holy days are minute and clear. He established a sacerdotal tribe with its high priest, selected and described the vestments with which the sacred ministers were to be clothed, and every function in any way pertaining to divine worship.[11] Yet this was nothing more than a faint foreshadowing[12] of the worship which the High Priest of the New Testament was to render to the Father in heaven.<br />17. No sooner, in fact, "is the Word made flesh"[13] than he shows Himself to the world vested with a priestly office, making to the Eternal Father an act of submission which will continue uninterruptedly as long as He lives: "When He cometh into the world he saith. . . 'behold I come . . . to do Thy Will."[14] This act He was to consummate admirably in the bloody Sacrifice of the Cross: "It is in this will we are sanctified by the oblation of the Body of Jesus Christ once."[15] He plans His active life among men with no other purpose in view. As a child He is presented to the Lord in the Temple. To the Temple He returns as a grown boy, and often afterwards to instruct the people and to pray. He fasts for forty days before beginning His public ministry. His counsel and example summon all to prayer, daily and at night as well. As Teacher of the truth He "enlighteneth every man"[16] to the end that mortals may duly acknowledge the immortal God, "not withdrawing unto perdition, but faithful to the saving of the soul."[17] As Shepherd He watches over His flock, leads it to life-giving pasture, lays down a law that none shall wander from His side, off the straight path He has pointed out, and that all shall lead holy lives imbued with His spirit and moved by His active aid. At the Last Supper He celebrates a new Pasch with solemn rite and ceremonial, and provides for its continuance through the divine institution of the Eucharist. On the morrow, lifted up between heaven and earth, He offers the saving sacrifice of His life, and pours forth, as it were, from His pierced Heart the sacraments destined to impart the treasures of redemption to the souls of men. All this He does with but a single aim: the glory of His Father and man's ever greater sanctification.<br />18. But it is His will, besides, that the worship He instituted and practiced during His life on earth shall continue ever afterwards without intermission. For he has not left mankind an orphan. He still offers us the support of His powerful, unfailing intercession, acting as our "advocate with the Father."[18] He aids us likewise through His Church, where He is present indefectibly as the ages run their course: through the Church which He constituted "the pillar of truth"[19] and dispenser of grace, and which by His sacrifice on the cross, He founded, consecrated and confirmed forever.[20]<br />19. The Church has, therefore, in common with the Word Incarnate the aim, the obligation and the function of teaching all men the truth, of governing and directing them aright, of offering to God the pleasing and acceptable sacrifice; in this way the Church re-establishes between the Creator and His creatures that unity and harmony to which the Apostle of the Gentiles alludes in these words: "Now, therefore, you are no more strangers and foreigners; but you are fellow citizens with the saints and domestics of God, built upon the foundation of the apostles and prophets, Jesus Christ Himself being the chief corner-stone; in whom all the building, being framed together, groweth up into a holy temple in the Lord, in whom you also are built together in a habitation of God in the Spirit."[21] Thus the society founded by the divine Redeemer, whether in her doctrine and government, or in the sacrifice and sacraments instituted by Him, or finally, in the ministry, which He has confided to her charge with the outpouring of His prayer and the shedding of His blood, has no other goal or purpose than to increase ever in strength and unity.<br />20. This result is, in fact, achieved when Christ lives and thrives, as it were, in the hearts of men, and when men's hearts in turn are fashioned and expanded as though by Christ. This makes it possible for the sacred temple, where the Divine Majesty receives the acceptable worship which His law prescribes, to increase and prosper day by day in this land of exile of earth. Along with the Church, therefore, her Divine Founder is present at every liturgical function: Christ is present at the august sacrifice of the altar both in the person of His minister and above all under the eucharistic species. He is present in the sacraments, infusing into them the power which makes them ready instruments of sanctification. He is present, finally, in prayer of praise and petition we direct to God, as it is written: "Where there are two or three gathered together in My Name, there am I in the midst of them."[22] The sacred liturgy is, consequently, the public worship which our Redeemer as Head of the Church renders to the Father, as well as the worship which the community of the faithful renders to its Founder, and through Him to the heavenly Father. It is, in short, the worship rendered by the Mystical Body of Christ in the entirety of its Head and members.<br />21. Liturgical practice begins with the very founding of the Church. The first Christians, in fact, "were persevering in the doctrine of the apostles and in the communication of the breaking of bread and in prayers."[23] Whenever their pastors can summon a little group of the faithful together, they set up an altar on which they proceed to offer the sacrifice, and around which are ranged all the other rites appropriate for the saving of souls and for the honor due to God. Among these latter rites, the first place is reserved for the sacraments, namely, the seven principal founts of salvation. There follows the celebration of the divine praises in which the faithful also join, obeying the behest of the Apostle Paul, "In all wisdom, teaching and admonishing one another in psalms, hymns and spiritual canticles, singing in grace in your hearts to God."[24] Next comes the reading of the Law, the prophets, the gospel and the apostolic epistles; and last of all the homily or sermon in which the official head of the congregation recalls and explains the practical bearing of the commandments of the divine Master and the chief events of His life, combining instruction with appropriate exhortation and illustration of the benefit of all his listeners.<br />22. As circumstances and the needs of Christians warrant, public worship is organized, developed and enriched by new rites, ceremonies and regulations, always with the single end in view, "that we may use these external signs to keep us alert, learn from them what distance we have come along the road, and by them be heartened to go on further with more eager step; for the effect will be more precious the warmer the affection which precedes it."[25] Here then is a better and more suitable way to raise the heart to God. Thenceforth the priesthood of Jesus Christ is a living and continuous reality through all the ages to the end of time, since the liturgy is nothing more nor less than the exercise of this priestly function. Like her divine Head, the Church is forever present in the midst of her children. She aids and exhorts them to holiness, so that they may one day return to the Father in heaven clothed in that beauteous raiment of the supernatural. To all who are born to life on earth she gives a second, supernatural kind of birth. She arms them with the Holy Spirit for the struggle against the implacable enemy. She gathers all Christians about her altars, inviting and urging them repeatedly to take part in the celebration of the Mass, feeding them with the Bread of angels to make them ever stronger. She purifies and consoles the hearts that sin has wounded and soiled. Solemnly she consecrates those whom God has called to the priestly ministry. She fortifies with new gifts of grace the chaste nupitals of those who are destined to found and bring up a Christian family. When as last she has soothed and refreshed the closing hours of this earthly life by holy Viaticum and extreme unction, with the utmost affection she accompanies the mortal remains of her children to the grave, lays them reverently to rest, and confides them to the protection of the cross, against the day when they will triumph over death and rise again. She has a further solemn blessing and invocation for those of her children who dedicate themselves to the service of God in the life of religious perfection. Finally, she extends to the souls in purgatory, who implore her intercession and her prayers, the helping hand which may lead them happily at last to eternal blessedness in heaven.<br />23. The worship rendered by the Church to God must be, in its entirety, interior as well as exterior. It is exterior because the nature of man as a composite of body and soul requires it to be so. Likewise, because divine Providence has disposed that "while we recognize God visibly, we may be drawn by Him to love of things unseen."[26] Every impulse of the human heart, besides, expresses itself naturally through the senses; and the worship of God, being the concern not merely of individuals but of the whole community of mankind, must therefore be social as well. This obviously it cannot be unless religious activity is also organized and manifested outwardly. Exterior worship, finally, reveals and emphasizes the unity of the mystical Body, feeds new fuel to its holy zeal, fortifies its energy, intensifies its action day by day: "for although the ceremonies themselves can claim no perfection or sanctity in their won right, they are, nevertheless, the outward acts of religion, designed to rouse the heart, like signals of a sort, to veneration of the sacred realities, and to raise the mind to meditation on the supernatural. They serve to foster piety, to kindle the flame of charity, to increase our faith and deepen our devotion. They provide instruction for simple folk, decoration for divine worship, continuity of religious practice. They make it possible to tell genuine Christians from their false or heretical counterparts."[27]<br />24. But the chief element of divine worship must be interior. For we must always live in Christ and give ourselves to Him completely, so that in Him, with Him and through Him the heavenly Father may be duly glorified. The sacred liturgy requires, however, that both of these elements be intimately linked with each another. This recommendation the liturgy itself is careful to repeat, as often as it prescribes an exterior act of worship. Thus we are urged, when there is question of fasting, for example, "to give interior effect to our outward observance."[28] Otherwise religion clearly amounts to mere formalism, without meaning and without content. You recall, Venerable Brethren, how the divine Master expels from the sacred temple, as unworthily to worship there, people who pretend to honor God with nothing but neat and wellturned phrases, like actors in a theater, and think themselves perfectly capable of working out their eternal salvation without plucking their inveterate vices from their hearts.[29] It is, therefore, the keen desire of the Church that all of the faithful kneel at the feet of the Redeemer to tell Him how much they venerate and love Him. She wants them present in crowds - like the children whose joyous cries accompanied His entry into Jerusalem - to sing their hymns and chant their song of praise and thanksgiving to Him who is King of Kings and Source of every blessing. She would have them move their lips in prayer, sometimes in petition, sometimes in joy and gratitude, and in this way experience His merciful aid and power like the apostles at the lakeside of Tiberias, or abandon themselves totally, like Peter on Mount Tabor, to mystic union with the eternal God in contemplation.<br />25. It is an error, consequently, and a mistake to think of the sacred liturgy as merely the outward or visible part of divine worship or as an ornamental ceremonial. No less erroneous is the notion that it consists solely in a list of laws and prescriptions according to which the ecclesiastical hierarchy orders the sacred rites to be performed.<br />26. It should be clear to all, then, that God cannot be honored worthily unless the mind and heart turn to Him in quest of the perfect life, and that the worship rendered to God by the Church in union with her divine Head is the most efficacious means of achieving sanctity.<br />27. This efficacy, where there is question of the eucharistic sacrifice and the sacraments, derives first of all and principally from the act itself (ex opere operato). But if one considers the part which the Immaculate Spouse of Jesus Christ takes in the action, embellishing the sacrifice and sacraments with prayer and sacred ceremonies, or if one refers to the "sacramentals" and the other rites instituted by the hierarchy of the Church, then its effectiveness is due rather to the action of the church (ex opere operantis Ecclesiae), inasmuch as she is holy and acts always in closest union with her Head.<br />28. In this connection, Venerable Brethren, We desire to direct your attention to certain recent theories touching a so-called "objective" piety. While these theories attempt, it is true, to throw light on the mystery of the Mystical Body, on the effective reality of sanctifying grace, on the action of God in the sacraments and in the Mass, it is nonetheless apparent that they tend to belittle, or pass over in silence, what they call "subjective," or "personal" piety.<br />29. It is an unquestionable fact that the work of our redemption is continued, and that its fruits are imparted to us, during the celebration of the liturgy, notable in the august sacrifice of the altar. Christ acts each day to save us, in the sacraments and in His holy sacrifice. By means of them He is constantly atoning for the sins of mankind, constantly consecrating it to God. Sacraments and sacrifice do, then, possess that "objective" power to make us really and personally sharers in the divine life of Jesus Christ. Not from any ability of our own, but by the power of God, are they endowed with the capacity to unite the piety of members with that of the head, and to make this, in a sense, the action of the whole community. From these profund considerations some are led to conclude that all Christian piety must be centered in the mystery of the Mystical Body of Christ, with no regard for what is "personal" or "subjective, as they would have it. As a result they feel that all other religious exercises not directly connected with the sacred liturgy, and performed outside public worship should be omitted.<br />30. But though the principles set forth above are excellent, it must be plain to everyone that the conclusions drawn from them respecting two sorts of piety are false, insidious and quite pernicious.<br />31. Very truly, the sacraments and the sacrifice of the altar, being Christ's own actions, must be held to be capable in themselves of conveying and dispensing grace from the divine Head to the members of the Mystical Body. But if they are to produce their proper effect, it is absolutely necessary that our hearts be properly disposed to receive them. Hence the warning of Paul the Apostle with reference to holy communion, "But let a man first prove himself; and then let him eat of this bread and drink of the chalice."[30] This explains why the Church in a brief and significant phrase calls the various acts of mortification, especially those practiced during the season of Lent, "the Christian army's defenses."[31] They represent, in fact, the personal effort and activity of members who desire, as grace urges and aids them, to join forces with their Captain - "that we may discover . . . in our Captain," to borrow St. Augustine's words, "the fountain of grace itself."[32] But observe that these members are alive, endowed and equipped with an intelligence and will of their own. It follows that they are strictly required to put their own lips to the fountain, imbibe and absorb for themselves the life-giving water, and rid themselves personally of anything that might hinder its nutritive effect in their souls. Emphatically, therefore, the work of redemption, which in itself is independent of our will, requires a serious interior effort on our part if we are to achieve eternal salvation.<br />32. If the private and interior devotion of individuals were to neglect the august sacrifice of the altar and the sacraments, and to withdraw them from the stream of vital energy that flows from Head to members, it would indeed be sterile, and deserve to be condemned. But when devotional exercises, and pious practices in general, not strictly connected with the sacred liturgy, confine themselves to merely human acts, with the express purpose of directing these latter to the Father in heaven, of rousing people to repentance and holy fear of God, of weaning them from the seductions of the world and its vice, and leading them back to the difficult path of perfection, then certainly such practices are not only highly praiseworthy but absolutely indispensable, because they expose the dangers threatening the spiritual life; because they promote the acquisition of virtue; and because they increase the fervor and generosity with which we are bound to dedicate all that we are and all that we have to the service of Jesus Christ. Genuine and real piety, which the Angelic Doctor calls "devotion," and which is the principal act of the virtue of religion - that act which correctly relates and fitly directs men to God; and by which they freely and spontaneously give themselves to the worship of God in its fullest sense[33] - piety of this authentic sort needs meditation on the supernatural realities and spiritual exercises, if it is to be nurtured, stimulated and sustained, and if it is to prompt us to lead a more perfect life. For the Christian religion, practiced as it should be, demands that the will especially be consecrated to God and exert its influence on all the other spiritual faculties. But every act of the will presupposes an act of the intelligence, and before one can express the desire and the intention of offering oneself in sacrifice to the eternal Godhead, a knowledge of the facts and truths which make religion a duty is altogether necessary. One must first know, for instance, man's last end and the supremacy of the Divine Majesty; after that, our common duty of submission to our Creator; and, finally, the inexhaustible treasures of love with which God yearns to enrich us, as well as the necessity of supernatural grace for the achievement of our destiny, and that special path marked out for us by divine Providence in virtue of the fact that we have been united, one and all, like members of a body, to Jesus Christ the Head. But further, since our hearts, disturbed as they are at times by the lower appetites, do not always respond to motives of love, it is also extremely helpful to let consideration and contemplation of the justice of God provoke us on occasion to salutary fear, and guide us thence to Christian humility, repentance and amendment.<br />33. But it will not do to possess these facts and truths after the fashion of an abstract memory lesson or lifeless commentary. They must lead to practical results. They must impel us to subject our senses and their faculties to reason, as illuminated by the Catholic faith. They must help to cleanse and purify the heart, uniting it to Christ more intimately every day, growing ever more to His likeness, and drawing from Him the divine inspiration and strength of which it stands in need. They must serve as increasingly effective incentives to action: urging men to produce good fruit, to perform their individual duties faithfully, to give themselves eagerly to the regular practice of their religion and the energetic exercise of virtue. "You are Christ's, and Christ is God's."[34] Let everything, therefore, have its proper place and arrangement; let everything be "theocentric," so to speak, if we really wish to direct everything to the glory of God through the life and power which flow from the divine Head into our hearts: "Having therefore, brethren, a confidence in the entering into the holies by the blood of Christ, a new and living way which He both dedicated for us through the veil, that is to say, His flesh, and a high priest over the house of God; let us draw near with a true heart, in fullness of faith, having our hearts sprinkled from an evil conscience and our bodies washed with clean water, let us hold fast the confession of our hope without wavering . . . and let us consider one another, to provoke unto charity and to good works."[35]<br />34. Here is the source of the harmony and equilibrium which prevails among the members of the Mystical Body of Jesus Christ. When the Church teaches us our Catholic faith and exhorts us to obey the commandments of Christ, she is paving a way for her priestly, sanctifying action in its highest sense; she disposes us likewise for more serious meditation on the life of the divine Redeemer and guides us to profounder knowledge of the mysteries of faith where we may draw the supernatural sustenance, strength and vitality that enable us to progress safely, through Christ, towards a more perfect life. Not only through her ministers but with the help of the faithful individually, who have imbibed in this fashion the spirit of Christ, the Church endeavors to permeate with this same spirit the life and labors of men - their private and family life, their social, even economic and political life - that all who are called God's children may reach more readily the end He has proposed for them.<br />35. Such action on the part of individual Christians, then, along with the ascetic effort promoting them to purify their hearts, actually stimulates in the faithful those energies which enable them to participate in the august sacrifice of the altar with better dispositions. They now can receive the sacraments with more abundant fruit, and come from the celebration of the sacred rites more eager, more firmly resolved to pray and deny themselves like Christians, to answer the inspirations and invitation of divine grace and to imitate daily more closely the virtues of our Redeemer. And all of this not simply for their own advantage, but for that of the whole Church, where whatever good is accomplished proceeds from the power of her Head and redounds to the advancement of all her members.<br />36. In the spiritual life, consequently, there can be no opposition between the action of God, who pours forth His grace into men's hearts so that the work of the redemption may always abide, and the tireless collaboration of man, who must not render vain the gift of God.[36] No more can the efficacy of the external administration of the sacraments, which comes from the rite itself (ex opere operato), be opposed to the meritorious action of their ministers of recipients, which we call the agent's action (opus operantis). Similarly, no conflict exists between public prayer and prayers in private, between morality and contemplation, between the ascetical life and devotion to the liturgy. Finally, there is no opposition between the jurisdiction and teaching office of the ecclesiastical hierarchy, and the specifically priestly power exercised in the sacred ministry.<br />37. Considering their special designation to perform the liturgical functions of the holy sacrifice and divine office, the Church has serious reason for prescribing that the ministers she assigns to the service of the sanctuary and members of religious institutes betake themselves at stated times to mental prayer, to examination of conscience, and to various other spiritual exercises.[37] Unquestionably, liturgical prayer, being the public supplication of the illustrious Spouse of Jesus Christ, is superior in excellence to private prayers. But this superior worth does not at all imply contrast or incompatibility between these two kinds of prayer. For both merge harmoniously in the single spirit which animates them, "Christ is all and in all."[38] Both tend to the same objective: until Christ be formed in us.[39]<br />38. For a better and more accurate understanding of the sacred liturgy another of its characteristic features, no less important, needs to be considered.<br />39. The Church is a society, and as such requires an authority and hierarchy of her own. Though it is true that all the members of the Mystical Body partake of the same blessings and pursue the same objective, they do not all enjoy the same powers, nor are they all qualified to perform the same acts. The divine Redeemer has willed, as a matter of fact, that His Kingdom should be built and solidly supported, as it were, on a holy order, which resembles in some sort the heavenly hierarchy.<br />40. Only to the apostles, and thenceforth to those on whom their successors have imposed hands, is granted the power of the priesthood, in virtue of which they represent the person of Jesus Christ before their people, acting at the same time as representatives of their people before God. This priesthood is not transmitted by heredity or human descent. It does not emanate from the Christian community. It is not a delegation from the people. Prior to acting as representative of the community before the throne of God, the priest is the ambassador of the divine Redeemer. He is God's vice-gerent in the midst of his flock precisely because Jesus Christ is Head of that body of which Christians are the members. The power entrusted to him, therefore, bears no natural resemblance to anything human. It is entirely supernatural. It comes from God. "As the Father hath sent me, I also send you [40]. . . he that heareth you heareth me [41]. . . go ye into the whole world and preach the gospel to every creature; he that believeth and is baptized shall be saved."[42]<br />41. That is why the visible, external priesthood of Jesus Christ is not handed down indiscriminately to all members of the Church in general, but is conferred on designated men, through what may be called the spiritual generation of holy orders.<br />42. This latter, one of the seven sacraments, not only imparts the grace appropriate to the clerical function and state of life, but imparts an indelible "character" besides, indicating the sacred ministers' conformity to Jesus Christ the Priest and qualifying them to perform those official acts of religion by which men are sanctified and God is duly glorified in keeping with the divine laws and regulations.<br />43. In the same way, actually that baptism is the distinctive mark of all Christians, and serves to differentiate them from those who have not been cleansed in this purifying stream and consequently are not members of Christ, the sacrament of holy orders sets the priest apart from the rest of the faithful who have not received this consecration. For they alone, in answer to an inward supernatural call, have entered the august ministry, where they are assigned to service in the sanctuary and become, as it were, the instruments God uses to communicate supernatural life from on high to the Mystical Body of Jesus Christ. Add to this, as We have noted above, the fact that they alone have been marked with the indelible sign "conforming" them to Christ the Priest, and that their hands alone have been consecrated "in order that whatever they bless may be blessed, whatever they consecrate may become sacred and holy, in the name of our Lord Jesus Christ"[43] Let all, then, who would live in Christ flock to their priests. By them they will be supplied with the comforts and food of the spiritual life. From them they will procure the medicine of salvation assuring their cure and happy recovery from the fatal sickness of their sins. The priest, finally, will bless their homes, consecrate their families and help them, as they breathe their last, across the threshold of eternal happiness.<br />44. Since, therefore, it is the priest chiefly who performs the sacred liturgy in the name of the Church, its organization, regulation and details cannot but be subject to Church authority. This conclusion, based on the nature of Christian worship itself, is further confirmed by the testimony of history.<br />45. Additional proof of this indefeasible right of the ecclesiastical hierarchy lies in the circumstances that the sacred liturgy is intimately bound up with doctrinal propositions which the Church proposes to be perfectly true and certain, and must as a consequence conform to the decrees respecting Catholic faith issued by the supreme teaching authority of the Church with a view to safeguarding the integrity of the religion revealed by God.<br />46. On this subject We judge it Our duty to rectify an attitude with which you are doubtless familiar, Venerable Brethren. We refer to the error and fallacious reasoning of those who have claimed that the sacred liturgy is a kind of proving ground for the truths to be held of faith, meaning by this that the Church is obliged to declare such a doctrine sound when it is found to have produced fruits of piety and sanctity through the sacred rites of the liturgy, and to reject it otherwise. Hence the epigram, "Lex orandi, lex credendi" - the law for prayer is the law for faith.<br />47. But this is not what the Church teaches and enjoins. The worship she offers to God, all good and great, is a continuous profession of Catholic faith and a continuous exercise of hope and charity, as Augustine puts it tersely. "God is to be worshipped," he says, "by faith, hope and charity."[44] In the sacred liturgy we profess the Catholic faith explicitly and openly, not only by the celebration of the mysteries, and by offering the holy sacrifice and administering the sacraments, but also by saying or singing the credo or Symbol of the faith - it is indeed the sign and badge, as it were, of the Christian - along with other texts, and likewise by the reading of holy scripture, written under the inspiration of the Holy Ghost. The entire liturgy, therefore, has the Catholic faith for its content, inasmuch as it bears public witness to the faith of the Church.<br />48. For this reason, whenever there was question of defining a truth revealed by God, the Sovereign Pontiff and the Councils in their recourse to the "theological sources," as they are called, have not seldom drawn many an argument from this sacred science of the liturgy. For an example in point, Our predecessor of immortal memory, Pius IX, so argued when he proclaimed the Immaculate Conception of the Virgin Mary. Similarly during the discussion of a doubtful or controversial truth, the Church and the Holy Fathers have not failed to look to the age-old and age-honored sacred rites for enlightenment. Hence the well-known and venerable maxim, "Legem credendi lex statuat supplicandi" - let the rule for prayer determine the rule of belief.[45] The sacred liturgy, consequently, does not decide or determine independently and of itself what is of Catholic faith. More properly, since the liturgy is also a profession of eternal truths, and subject, as such, to the supreme teaching authority of the Church, it can supply proofs and testimony, quite clearly, of no little value, towards the determination of a particular point of Christian doctrine. But if one desires to differentiate and describe the relationship between faith and the sacred liturgy in absolute and general terms, it is perfectly correct to say, "Lex credendi legem statuat supplicandi" - let the rule of belief determine the rule of prayer. The same holds true for the other theological virtues also, "In . . . fide, spe, caritate continuato desiderio semper oramus" - we pray always, with constant yearning in faith, hope and charity.[46]<br />49. From time immemorial the ecclesiastical hierarchy has exercised this right in matters liturgical. It has organized and regulated divine worship, enriching it constantly with new splendor and beauty, to the glory of God and the spiritual profit of Christians. What is more, it has not been slow - keeping the substance of the Mass and sacraments carefully intact - to modify what it deemed not altogether fitting, and to add what appeared more likely to increase the honor paid to Jesus Christ and the august Trinity, and to instruct and stimulate the Christian people to greater advantage.[47]<br />50. The sacred liturgy does, in fact, include divine as well as human elements. The former, instituted as they have been by God, cannot be changed in any way by men. But the human components admit of various modifications, as the needs of the age, circumstance and the good of souls may require, and as the ecclesiastical hierarchy, under guidance of the Holy Spirit, may have authorized. This will explain the marvelous variety of Eastern and Western rites. Here is the reason for the gradual addition, through successive development, of particular religious customs and practices of piety only faintly discernible in earlier times. Hence likewise it happens from time to time that certain devotions long since forgotten are revived and practiced anew. All these developments attest the abiding life of the immaculate Spouse of Jesus Christ through these many centuries. They are the sacred language she uses, as the ages run their course, to profess to her divine Spouse her own faith along with that of the nations committed to her charge, and her own unfailing love. They furnish proof, besides, of the wisdom of the teaching method she employs to arouse and nourish constantly the "Christian instinct."<br />51. Several causes, really have been instrumental in the progress and development of the sacred liturgy during the long and glorious life of the Church.<br />52. Thus, for example, as Catholic doctrine on the Incarnate Word of God, the eucharistic sacrament and sacrifice, and Mary the Virgin Mother of God came to be determined with greater certitude and clarity, new ritual forms were introduced through which the acts of the liturgy proceeded to reproduce this brighter light issuing from the decrees of the teaching authority of the Church, and to reflect it, in a sense so that it might reach the minds and hearts of Christ's people more readily.<br />53. The subsequent advances in ecclesiastical discipline for the administering of the sacraments, that of penance for example; the institution and later suppression of the catechumenate; and again, the practice of eucharistic communion under a single species, adopted in the Latin Church; these developments were assuredly responsible in no little measure for the modification of the ancient ritual in the course of time, and for the gradual introduction of new rites considered more in accord with prevailing discipline in these matters.<br />54. Just as notable a contribution to this progressive transformation was made by devotional trends and practices not directly related to the sacred liturgy, which began to appear, by God's wonderful design, in later periods, and grew to be so popular. We may instance the spread and ever mounting ardor of devotion to the Blessed Eucharist, devotion to the most bitter passion of our Redeemer, devotion to the most Sacred Heart of Jesus, to the Virgin Mother of God and to her most chaste spouse.<br />55. Other manifestations of piety have also played their circumstantial part in this same liturgical development. Among them may be cited the public pilgrimages to the tombs of the martyrs prompted by motives of devotion, the special periods of fasting instituted for the same reason, and lastly, in this gracious city of Rome, the penitential recitation of the litanies during the "station" processions, in which even the Sovereign Pontiff frequently joined.<br />56. It is likewise easy to understand that the progress of the fine arts, those of architecture, painting and music above all, has exerted considerable influence on the choice and disposition of the various external features of the sacred liturgy.<br />57. The Church has further used her right of control over liturgical observance to protect the purity of divine worship against abuse from dangerous and imprudent innovations introduced by private individuals and particular churches. Thus it came about - during the 16th century, when usages and customs of this sort had become increasingly prevalent and exaggerated, and when private initiative in matters liturgical threatened to compromise the integrity of faith and devotion, to the great advantage of heretics and further spread of their errors - that in the year 1588, Our predecessor Sixtus V of immortal memory established the Sacred Congregation of Rites, charged with the defense of the legitimate rites of the Church and with the prohibition of any spurious innovation.[48] This body fulfills even today the official function of supervision and legislation with regard to all matters touching the sacred liturgy.[49]<br />58. It follows from this that the Sovereign Pontiff alone enjoys the right to recognize and establish any practice touching the worship of God, to introduce and approve new rites, as also to modify those he judges to require modification.[50] Bishops, for their part, have the right and duty carefully to watch over the exact observance of the prescriptions of the sacred canons respecting divine worship.[51] Private individuals, therefore, even though they be clerics, may not be left to decide for themselves in these holy and venerable matters, involving as they do the religious life of Christian society along with the exercise of the priesthood of Jesus Christ and worship of God; concerned as they are with the honor due to the Blessed Trinity, the Word Incarnate and His august mother and the other saints, and with the salvation of souls as well. For the same reason no private person has any authority to regulate external practices of this kind, which are intimately bound up with Church discipline and with the order, unity and concord of the Mystical Body and frequently even with the integrity of Catholic faith itself.<br />59. The Church is without question a living organism, and as an organism, in respect of the sacred liturgy also, she grows, matures, develops, adapts and accommodates herself to temporal needs and circumstances, provided only that the integrity of her doctrine be safeguarded. This notwithstanding, the temerity and daring of those who introduce novel liturgical practices, or call for the revival of obsolete rites out of harmony with prevailing laws and rubrics, deserve severe reproof. It has pained Us grievously to note, Venerable Brethren, that such innovations are actually being introduced, not merely in minor details but in matters of major importance as well. We instance, in point of fact, those who make use of the vernacular in the celebration of the august eucharistic sacrifice; those who transfer certain feast-days - which have been appointed and established after mature deliberation - to other dates; those, finally, who delete from the prayerbooks approved for public use the sacred texts of the Old Testament, deeming them little suited and inopportune for modern times.<br />60. The use of the Latin language, customary in a considerable portion of the Church, is a manifest and beautiful sign of unity, as well as an effective antidote for any corruption of doctrinal truth. In spite of this, the use of the mother tongue in connection with several of the rites may be of much advantage to the people. But the Apostolic See alone is empowered to grant this permission. It is forbidden, therefore, to take any action whatever of this nature without having requested and obtained such consent, since the sacred liturgy, as We have said, is entirely subject to the discretion and approval of the Holy See.<br />61. The same reasoning holds in the case of some persons who are bent on the restoration of all the ancient rites and ceremonies indiscriminately. The liturgy of the early ages is most certainly worthy of all veneration. But ancient usage must not be esteemed more suitable and proper, either in its own right or in its significance for later times and new situations, on the simple ground that it carries the savor and aroma of antiquity. The more recent liturgical rites likewise deserve reverence and respect. They, too, owe their inspiration to the Holy Spirit, who assists the Church in every age even to the consummation of the world.[52] They are equally the resources used by the majestic Spouse of Jesus Christ to promote and procure the sanctity of man.<br />62. Assuredly it is a wise and most laudable thing to return in spirit and affection to the sources of the sacred liturgy. For research in this field of study, by tracing it back to its origins, contributes valuable assistance towards a more thorough and careful investigation of the significance of feast-days, and of the meaning of the texts and sacred ceremonies employed on their occasion. But it is neither wise nor laudable to reduce everything to antiquity by every possible device. Thus, to cite some instances, one would be straying from the straight path were he to wish the altar restored to its primitive tableform; were he to want black excluded as a color for the liturgical vestments; were he to forbid the use of sacred images and statues in Churches; were he to order the crucifix so designed that the divine Redeemer's body shows no trace of His cruel sufferings; and lastly were he to disdain and reject polyphonic music or singing in parts, even where it conforms to regulations issued by the Holy See.<br />63. Clearly no sincere Catholic can refuse to accept the formulation of Christian doctrine more recently elaborated and proclaimed as dogmas by the Church, under the inspiration and guidance of the Holy Spirit with abundant fruit for souls, because it pleases him to hark back to the old formulas. No more can any Catholic in his right senses repudiate existing legislation of the Church to revert to prescriptions based on the earliest sources of canon law. Just as obviously unwise and mistaken is the zeal of one who in matters liturgical would go back to the rites and usage of antiquity, discarding the new patterns introduced by disposition of divine Providence to meet the changes of circumstances and situation.<br />64. This way of acting bids fair to revive the exaggerated and senseless antiquarianism to which the illegal Council of Pistoia gave rise. It likewise attempts to reinstate a series of errors which were responsible for the calling of that meeting as well as for those resulting from it, with grievous harm to souls, and which the Church, the ever watchful guardian of the "deposit of faith" committed to her charge by her divine Founder, had every right and reason to condemn.[53] For perverse designs and ventures of this sort tend to paralyze and weaken that process of sanctification by which the sacred liturgy directs the sons of adoption to their Heavenly Father of their souls' salvation.<br />65. In every measure taken, then, let proper contact with the ecclesiastical hierarchy be maintained. Let no one arrogate to himself the right to make regulations and impose them on others at will. Only the Sovereign Pontiff, as the successor of Saint Peter, charged by the divine Redeemer with the feeding of His entire flock,[54] and with him, in obedience to the Apostolic See, the bishops "whom the Holy Ghost has placed . . . to rule the Church of God,"[55] have the right and the duty to govern the Christian people. Consequently, Venerable Brethren, whenever you assert your authority - even on occasion with wholesome severity - you are not merely acquitting yourselves of your duty; you are defending the very will of the Founder of the Church.<br />66. The mystery of the most Holy Eucharist which Christ, the High Priest instituted, and which He commands to be continually renewed in the Church by His ministers, is the culmination and center, as it were, of the Christian religion. We consider it opportune in speaking about the crowning act of the sacred liturgy, to delay for a little while and call your attention, Venerable Brethren, to this most important subject.<br />67. Christ the Lord, "Eternal Priest according to the order of Melchisedech,"[56] "loving His own who were of the world,"[57] "at the last supper, on the night He was betrayed, wishing to leave His beloved Spouse, the Church, a visible sacrifice such as the nature of men requires, that would re-present the bloody sacrifice offered once on the cross, and perpetuate its memory to the end of time, and whose salutary virtue might be applied in remitting those sins which we daily commit, . . . offered His body and blood under the species of bread and wine to God the Father, and under the same species allowed the apostles, whom he at that time constituted the priests of the New Testament, to partake thereof; commanding them and their successors in the priesthood to make the same offering."[58]<br />68. The august sacrifice of the altar, then, is no mere empty commemoration of the passion and death of Jesus Christ, but a true and proper act of sacrifice, whereby the High Priest by an unbloody immolation offers Himself a most acceptable victim to the Eternal Father, as He did upon the cross. "It is one and the same victim; the same person now offers it by the ministry of His priests, who then offered Himself on the cross, the manner of offering alone being different."[59]<br />69. The priest is the same, Jesus Christ, whose sacred Person His minister represents. Now the minister, by reason of the sacerdotal consecration which he has received, is made like to the High Priest and possesses the power of performing actions in virtue of Christ's very person.[60] Wherefore in his priestly activity he in a certain manner "lends his tongue, and gives his hand" to Christ.[61]<br />70. Likewise the victim is the same, namely, our divine Redeemer in His human nature with His true body and blood. The manner, however, in which Christ is offered is different. On the cross He completely offered Himself and all His sufferings to God, and the immolation of the victim was brought about by the bloody death, which He underwent of His free will. But on the altar, by reason of the glorified state of His human nature, "death shall have no more dominion over Him,"[62] and so the shedding of His blood is impossible; still, according to the plan of divine wisdom, the sacrifice of our Redeemer is shown forth in an admirable manner by external signs which are the symbols of His death. For by the "transubstantiation" of bread into the body of Christ and of wine into His blood, His body and blood are both really present: now the eucharistic species under which He is present symbolize the actual separation of His body and blood. Thus the commemorative representation of His death, which actually took place on Calvary, is repeated in every sacrifice of the altar, seeing that Jesus Christ is symbolically shown by separate symbols to be in a state of victimhood.<br />71. Moreover, the appointed ends are the same. The first of these is to give glory to the Heavenly Father. From His birth to His death Jesus Christ burned with zeal for the divine glory; and the offering of His blood upon the cross rose to heaven in an odor of sweetness. To perpetuate this praise, the members of the Mystical Body are united with their divine Head in the eucharistic sacrifice, and with Him, together with the Angels and Archangels, they sing immortal praise to God[63] and give all honor and glory to the Father Almighty.[64]<br />72. The second end is duly to give thanks to God. Only the divine Redeemer, as the eternal Father's most beloved Son whose immense love He knew, could offer Him a worthy return of gratitude. This was His intention and desire at the Last Supper when He "gave thanks."[65] He did not cease to do so when hanging upon the cross, nor does He fail to do so in the august sacrifice of the altar, which is an act of thanksgiving or a "eucharistic" act; since this "is truly meet and just, right and availing unto salvation."[66]<br />73. The third end proposed is that of expiation, propitiation and reconciliation. Certainly, no one was better fitted to make satisfaction to Almighty God for all the sins of men than was Christ. Therefore, He desired to be immolated upon the cross "as a propitiation for our sins, not for ours only but also for those of the whole world"[67] and likewise He daily offers Himself upon our altars for our redemption, that we may be rescued from eternal damnation and admitted into the company of the elect. This He does, not for us only who are in this mortal life, but also "for all who rest in Christ, who have gone before us with the sign of faith and repose in the sleep of peace;"[68] for whether we live, or whether we die "still we are not separated from the one and only Christ."[69]<br />74. The fourth end, finally, is that of impetration. Man, being the prodigal son, has made bad use of and dissipated the goods which he received from his heavenly Father. Accordingly, he has been reduced to the utmost poverty and to extreme degradation. However, Christ on the cross "offering prayers and supplications with a loud cry and tears, has been heard for His reverence."[70] Likewise upon the altar He is our mediator with God in the same efficacious manner, so that we may be filled with every blessing and grace.<br />75. It is easy, therefore, to understand why the holy Council of Trent lays down that by means of the eucharistic sacrifice the saving virtue of the cross is imparted to us for the remission of the sins we daily commit.[71]<br />76. Now the Apostle of the Gentiles proclaims the copious plenitude and the perfection of the sacrifice of the cross, when he says that Christ by one oblation has perfected for ever them that are sanctified.[72] For the merits of this sacrifice, since they are altogether boundless and immeasurable, know no limits; for they are meant for all men of every time and place. This follows from the fact that in this sacrifice the God-Man is the priest and victim; that His immolation was entirely perfect, as was His obedience to the will of His eternal Father; and also that He suffered death as the Head of the human race: "See how we were bought: Christ hangs upon the cross, see at what a price He makes His purchase . . . He sheds His blood, He buys with His blood, He buys with the blood of the Spotless Lamb, He buys with the blood of God's only Son. He who buys is Christ; the price is His blood; the possession bought is the world."[73]<br />77. This purchase, however, does not immediately have its full effect; since Christ, after redeeming the world at the lavish cost of His own blood, still must come into complete possession of the souls of men. Wherefore, that the redemption and salvation of each person and of future generations unto the end of time may be effectively accomplished, and be acceptable to God, it is necessary that-men should individually come into vital contact with the sacrifice of the cross, so that the merits, which flow from it, should be imparted to them. In a certain sense it can be said that on Calvary Christ built a font of purification and salvation which He filled with the blood He shed; but if men do not bathe in it and there wash away the stains of their iniquities, they can never be purified and saved.<br />78. The cooperation of the faithful is required so that sinners may be individually purified in the blood of the Lamb. For though, speaking generally, Christ reconciled by His painful death the whole human race with the Father, He wished that all should approach and be drawn to His cross, especially by means of the sacraments and the eucharistic sacrifice, to obtain the salutary fruits produced by Him upon it. Through this active and individual participation, the members of the Mystical Body not only become daily more like to their divine Head, but the life flowing from the Head is imparted to the members, so that we can each repeat the words of St. Paul, "With Christ I am nailed to the cross: I live, now not I, but Christ liveth in me."[74] We have already explained sufficiently and of set purpose on another occasion, that Jesus Christ "when dying on the cross, bestowed upon His Church, as a completely gratuitous gift, the immense treasure of the redemption. But when it is a question of distributing this treasure, He not only commits the work of sanctification to His Immaculate Spouse, but also wishes that, to a certain extent, sanctity should derive from her activity."[75]<br />79. The august sacrifice of the altar is, as it were, the supreme instrument whereby the merits won by the divine Redeemer upon the cross are distributed to the faithful: "as often as this commemorative sacrifice is offered, there is wrought the work of our Redemption."[76] This, however, so far from lessening the dignity of the actual sacrifice on Calvary, rather proclaims and renders more manifest its greatness and its necessity, as the Council of Trent declares.[77] Its daily immolation reminds us that there is no salvation except in the cross of our Lord Jesus Christ[78] and that God Himself wishes that there should be a continuation of this sacrifice "from the rising of the sun till the going down thereof,"[79] so that there may be no cessation of the hymn of praise and thanksgiving which man owes to God, seeing that he required His help continually and has need of the blood of the Redeemer to remit sin which challenges God's justice.<br />80. It is, therefore, desirable, Venerable Brethren, that all the faithful should be aware that to participate in the eucharistic sacrifice is their chief duty and supreme dignity, and that not in an inert and negligent fashion, giving way to distractions and day-dreaming, but with such earnestness and concentration that they may be united as closely as possible with the High Priest, according to the Apostle, "Let this mind be in you which was also in Christ Jesus."[80] And together with Him and through Him let them make their oblation, and in union with Him let them offer up themselves.<br />81. It is quite true that Christ is a priest; but He is a priest not for Himself but for us, when in the name of the whole human race He offers our prayers and religious homage to the eternal Father; He is also a victim and for us since He substitutes Himself for sinful man. Now the exhortation of the Apostle, "Let this mind be in you which was also in Christ Jesus," requires that all Christians should possess, as far as is humanly possible, the same dispositions as those which the divine Redeemer had when He offered Himself in sacrifice: that is to say, they should in a humble attitude of mind, pay adoration, honor, praise and thanksgiving to the supreme majesty of God. Moreover, it means that they must assume to some extent the character of a victim, that they deny themselves as the Gospel commands, that freely and of their own accord they do penance and that each detests and satisfies for his sins. It means, in a word, that we must all undergo with Christ a mystical death on the cross so that we can apply to ourselves the words of St. Paul, "With Christ I am nailed to the cross."[81]<br />82. The fact, however, that the faithful participate in the eucharistic sacrifice does not mean that they also are endowed with priestly power. It is very necessary that you make this quite clear to your flocks.<br />83. For there are today, Venerable Brethren, those who, approximating to errors long since condemned[82] teach that in the New Testament by the word "priesthood" is meant only that priesthood which applies to all who have been baptized; and hold that the command by which Christ gave power to His apostles at the Last Supper to do what He Himself had done, applies directly to the entire Christian Church, and that thence, and thence only, arises the hierarchical priesthood. Hence they assert that the people are possessed of a true priestly power, while the priest only acts in virtue of an office committed to him by the community. Wherefore, they look on the eucharistic sacrifice as a "concelebration," in the literal meaning of that term, and consider it more fitting that priests should "concelebrate" with the people present than that they should offer the sacrifice privately when the people are absent.<br />84. It is superfluous to explain how captious errors of this sort completely contradict the truths which we have just stated above, when treating of the place of the priest in the Mystical Body of Jesus Christ. But we deem it necessary to recall that the priest acts for the people only because he represents Jesus Christ, who is Head of all His members and offers Himself in their stead. Hence, he goes to the altar as the minister of Christ, inferior to Christ but superior to the people.[83] The people, on the other hand, since they in no sense represent the divine Redeemer and are not mediator between themselves and God, can in no way possess the sacerdotal power.<br />85. All this has the certitude of faith. However, it must also be said that the faithful do offer the divine Victim, though in a different sense.<br />86. This has already been stated in the clearest terms by some of Our predecessors and some Doctors of the Church. "Not only," says Innocent III of immortal memory, "do the priests offer the sacrifice, but also all the faithful: for what the priest does personally by virtue of his ministry, the faithful do collectively by virtue of their intention."[84] We are happy to recall one of St. Robert Bellarmine's many statements on this subject. "The sacrifice," he says "is principally offered in the person of Christ. Thus the oblation that follows the consecration is a sort of attestation that the whole Church consents in the oblation made by Christ, and offers it along with Him."[85]<br />87. Moreover, the rites and prayers of the eucharistic sacrifice signify and show no less clearly that the oblation of the Victim is made by the priests in company with the people. For not only does the sacred minister, after the oblation of the bread and wine when he turns to the people, say the significant prayer: "Pray brethren, that my sacrifice and yours may be acceptable to God the Father Almighty;"[86] but also the prayers by which the divine Victim is offered to God are generally expressed in the plural number: and in these it is indicated more than once that the people also participate in this august sacrifice inasmuch as they offer the same. The following words, for example, are used: "For whom we offer, or who offer up to Thee . . . We therefore beseech thee, O Lord, to be appeased and to receive this offering of our bounded duty, as also of thy whole household. . . We thy servants, as also thy whole people . . . do offer unto thy most excellent majesty, of thine own gifts bestowed upon us, a pure victim, a holy victim, a spotless victim."[87]<br />88. Nor is it to be wondered at, that the faithful should be raised to this dignity. By the waters of baptism, as by common right, Christians are made members of the Mystical Body of Christ the Priest, and by the "character" which is imprinted on their souls, they are appointed to give worship to God. Thus they participate, according to their condition, in the priesthood of Christ.<br />89. In every age of the Church's history, the mind of man, enlightened by faith, has aimed at the greatest possible knowledge of things divine. It is fitting, then, that the Christian people should also desire to know in what sense they are said in the canon of the Mass to offer up the sacrifice. To satisfy such a pious desire, then, We shall here explain the matter briefly and concisely.<br />90. First of all the more extrinsic explanations are these: it frequently happens that the faithful assisting at Mass join their prayers alternately with those of the priest, and sometimes - a more frequent occurrence in ancient times - they offer to the ministers at the altar bread and wine to be changed into the body and blood of Christ, and, finally, by their alms they get the priest to offer the divine victim for their intentions.<br />91. But there is also a more profound reason why all Christians, especially those who are present at Mass, are said to offer the sacrifice.<br />92. In this most important subject it is necessary, in order to avoid giving rise to a dangerous error, that we define the exact meaning of the word "offer." The unbloody immolation at the words of consecration, when Christ is made present upon the altar in the state of a victim, is performed by the priest and by him alone, as the representative of Christ and not as the representative of the faithful. But it is because the priest places the divine victim upon the altar that he offers it to God the Father as an oblation for the glory of the Blessed Trinity and for the good of the whole Church. Now the faithful participate in the oblation, understood in this limited sense, after their own fashion and in a twofold manner, namely, because they not only offer the sacrifice by the hands of the priest, but also, to a certain extent, in union with him. It is by reason of this participation that the offering made by the people is also included in liturgical worship.<br />93. Now it is clear that the faithful offer the sacrifice by the hands of the priest from the fact that the minister at the altar, in offering a sacrifice in the name of all His members, represents Christ, the Head of the Mystical Body. Hence the whole Church can rightly be said to offer up the victim through Christ. But the conclusion that the people offer the sacrifice with the priest himself is not based on the fact that, being members of the Church no less than the priest himself, they perform a visible liturgical rite; for this is the privilege only of the minister who has been divinely appointed to this office: rather it is based on the fact that the people unite their hearts in praise, impetration, expiation and thanksgiving with prayers or intention of the priest, even of the High Priest himself, so that in the one and same offering of the victim and according to a visible sacerdotal rite, they may be presented to God the Father. It is obviously necessary that the external sacrificial rite should, of its very nature, signify the internal worship of the heart. Now the sacrifice of the New Law signifies that supreme worship by which the principal Offerer himself, who is Christ, and, in union with Him and through Him, all the members of the Mystical Body pay God the honor and reverence that are due to Him.<br />94. We are very pleased to learn that this teaching, thanks to a more intense study of the liturgy on the part of many, especially in recent years, has been given full recognition. We must, however, deeply deplore certain exaggerations and over-statements which are not in agreement with the true teaching of the Church.<br />95. Some in fact disapprove altogether of those Masses which are offered privately and without any congregation, on the ground that they are a departure from the ancient way of offering the sacrifice; moreover, there are some who assert that priests cannot offer Mass at different altars at the same time, because, by doing so, they separate the community of the faithful and imperil its unity; while some go so far as to hold that the people must confirm and ratify the sacrifice if it is to have its proper force and value.<br />96. They are mistaken in appealing in this matter to the social character of the eucharistic sacrifice, for as often as a priest repeats what the divine Redeemer did at the Last Supper, the sacrifice is really completed. Moreover, this sacrifice, necessarily and of its very nature, has always and everywhere the character of a public and social act, inasmuch as he who offers it acts in the name of Christ and of the faithful, whose Head is the divine Redeemer, and he offers it to God for the holy Catholic Church, and for the living and the dead.[88] This is undoubtedly so, whether the faithful are present - as we desire and commend them to be in great numbers and with devotion - or are not present, since it is in no wise required that the people ratify what the sacred minister has done.<br />97. Still, though it is clear from what We have said that the Mass is offered in the name of Christ and of the Church and that it is not robbed of its social effects though it be celebrated by a priest without a server, nonetheless, on account of the dignity of such an august mystery, it is our earnest desire - as Mother Church has always commanded - that no priest should say Mass unless a server is at hand to answer the prayers, as canon 813 prescribes.<br />98. In order that the oblation by which the faithful offer the divine Victim in this sacrifice to the heavenly Father may have its full effect, it is necessary that the people add something else, namely, the offering of themselves as a victim.<br />99. This offering in fact is not confined merely to the liturgical sacrifice. For the Prince of the Apostles wishes us, as living stones built upon Christ, the cornerstone, to be able as "a holy priesthood, to offer up spiritual sacrifices, acceptable to God by Jesus Christ."[89] St. Paul the Apostle addresses the following words of exhortation to Christians, without distinction of time, "I beseech you therefore, . . . that you present your bodies, a living sacrifice, holy, pleasing unto God, your reasonable service."[90] But at that time especially when the faithful take part in the liturgical service with such piety and recollection that it can truly be said of them: "whose faith and devotion is known to Thee,"[91] it is then, with the High Priest and through Him they offer themselves as a spiritual sacrifice, that each one's faith ought to become more ready to work through charity, his piety more real and fervent, and each one should consecrate himself to the furthering of the divine glory, desiring to become as like as possible to Christ in His most grievous sufferings.<br />100. This we are also taught by those exhortations which the Bishop, in the Church's name, addresses to priests on the day of their ordination, "Understand what you do, imitate what you handle, and since you celebrate the mystery of the Lord's death, take good care to mortify your members with their vices and concupiscences."[92] In almost the same manner the sacred books of the liturgy advise Christians who come to Mass to participate in the sacrifice: "At this . . . altar let innocence be in honor, let pride be sacrificed, anger slain, impurity and every evil desire laid low, let the sacrifice of chastity be offered in place of doves and instead of the young pigeons the sacrifice of innocence."[93] While we stand before the altar, then, it is our duty so to transform our hearts, that every trace of sin may be completely blotted out, while whatever promotes supernatural life through Christ may be zealously fostered and strengthened even to the extent that, in union with the immaculate Victim, we become a victim acceptable to the eternal Father.<br />101. The prescriptions in fact of the sacred liturgy aim, by every means at their disposal, at helping the Church to bring about this most holy purpose in the most suitable manner possible. This is the object not only of readings, homilies and other sermons given by priests, as also the whole cycle of mysteries which are proposed for our commemoration in the course of the year, but it is also the purpose of vestments, of sacred rites and their external splendor. All these things aim at "enhancing the majesty of this great Sacrifice, and raising the minds of the faithful by means of these visible signs of religion and piety, to the contemplation of the sublime truths contained in this sacrifice."[94]<br />102. All the elements of the liturgy, then, would have us reproduce in our hearts the likeness of the divine Redeemer through the mystery of the cross, according to the words of the Apostle of the Gentiles, "With Christ I am nailed to the cross. I live, now not I, but Christ liveth in me."[95] Thus we become a victim, as it were, along with Christ to increase the glory of the eternal Father.<br />103. Let this, then, be the intention and aspiration of the faithful, when they offer up the divine Victim in the Mass. For if, as St. Augustine writes, our mystery is enacted on the Lord's table, that is Christ our Lord Himself,[96] who is the Head and symbol of that union through which we are the body of Christ[97] and members of His Body;[98] if St. Robert Bellarmine teaches, according to the mind of the Doctor of Hippo, that in the sacrifice of the altar there is signified the general sacrifice by which the whole Mystical Body of Christ, that is, all the city of redeemed, is offered up to God through Christ, the High Priest:[99] nothing can be conceived more just or fitting than that all of us in union with our Head, who suffered for our sake, should also sacrifice ourselves to the eternal Father. For in the sacrament of the altar, as the same St. Augustine has it, the Church is made to see that in what she offers she herself is offered.[100]<br />104. Let the faithful, therefore, consider to what a high dignity they are raised by the sacrament of baptism. They should not think it enough to participate in the eucharistic sacrifice with that general intention which befits members of Christ and children of the Church, but let them further, in keeping with the spirit of the sacred liturgy, be most closely united with the High Priest and His earthly minister, at the time the consecration of the divine Victim is enacted, and at that time especially when those solemn words are pronounced, "By Him and with Him and in Him is to Thee, God the Father almighty, in the unity of the Holy Ghost, all honor and glory for ever and ever";[101] to these words in fact the people answer, "Amen." Nor should Christians forget to offer themselves, their cares, their sorrows, their distress and their necessities in union with their divine Savior upon the cross.<br />105. Therefore, they are to be praised who, with the idea of getting the Christian people to take part more easily and more fruitfully in the Mass, strive to make them familiar with the "Roman Missal," so that the faithful, united with the priest, may pray together in the very words and sentiments of the Church. They also are to be commended who strive to make the liturgy even in an external way a sacred act in which all who are present may share. This can be done in more than one way, when, for instance, the whole congregation, in accordance with the rules of the liturgy, either answer the priest in an orderly and fitting manner, or sing hymns suitable to the different parts of the Mass, or do both, or finally in high Masses when they answer the prayers of the minister of Jesus Christ and also sing the liturgical chant.<br />100. These methods of participation in the Mass are to be approved and recommended when they are in complete agreement with the precepts of the Church and the rubrics of the liturgy. Their chief aim is to foster and promote the people's piety and intimate union with Christ and His visible minister and to arouse those internal sentiments and dispositions which should make our hearts become like to that of the High Priest of the New Testament. However, though they show also in an outward manner that the very nature of the sacrifice, as offered by the Mediator between God and men,[102] must be regarded as the act of the whole Mystical Body of Christ, still they are by no means necessary to constitute it a public act or to give it a social character. And besides, a "dialogue" Mass of this kind cannot replace the high Mass, which, as a matter of fact, though it should be offered with only the sacred ministers present, possesses its own special dignity due to the impressive character of its ritual and the magnificence of its ceremonies. The splendor and grandeur of a high Mass, however, are very much increased if, as the Church desires, the people are present in great numbers and with devotion.<br />107. It is to be observed, also, that they have strayed from the path of truth and right reason who, led away by false opinions, make so much of these accidentals as to presume to assert that without them the Mass cannot fulfill its appointed end.<br />108. Many of the faithful are unable to use the Roman missal even though it is written in the vernacular; nor are all capable of understanding correctly the liturgical rites and formulas. So varied and diverse are men's talents and characters that it is impossible for all to be moved and attracted to the same extent by community prayers, hymns and liturgical services. Moreover, the needs and inclinations of all are not the same, nor are they always constant in the same individual. Who, then, would say, on account of such a prejudice, that all these Christians cannot participate in the Mass nor share its fruits? On the contrary, they can adopt some other method which proves easier for certain people; for instance, they can lovingly meditate on the mysteries of Jesus Christ or perform other exercises of piety or recite prayers which, though they differ from the sacred rites, are still essentially in harmony with them.<br />109. Wherefore We exhort you, Venerable Brethren, that each in his diocese or ecclesiastical jurisdiction supervise and regulate the manner and method in which the people take part in the liturgy, according to the rubrics of the missal and in keeping with the injunctions which the Sacred Congregation of Rites and the Code of canon law have published. Let everything be done with due order and dignity, and let no one, not even a priest, make use of the sacred edifices according to his whim to try out experiments. It is also Our wish that in each diocese an advisory committee to promote the liturgical apostolate should be established, similar to that which cares for sacred music and art, so that with your watchful guidance everything may be carefully carried out in accordance with the prescriptions of the Apostolic See.<br />110. In religious communities let all those regulations be accurately observed which are laid down in their respective constitutions, nor let any innovations be made which the superiors of these communities have not previously approved.<br />111. But however much variety and disparity there may be in the exterior manner and circumstances in which the Christian laity participate in the Mass and other liturgical functions, constant and earnest effort must be made to unite the congregation in spirit as much as possible with the divine Redeemer, so that their lives may be daily enriched with more abundant sanctity, and greater glory be given to the heaven Father.<br />112. The august sacrifice of the altar is concluded with communion or the partaking of the divine feast. But, as all know, the integrity of the sacrifice only requires that the priest partake of the heavenly food. Although it is most desirable that the people should also approach the holy table, this is not required for the integrity of the sacrifice.<br />113. We wish in this matter to repeat the remarks which Our predecessor Benedict XIV makes with regard to the definitions of the Council of Trent: "First We must state that none of the faithful can hold that private Masses, in which the priest alone receives holy communion, are therefore unlawful and do not fulfill the idea of the true, perfect and complete unbloody sacrifice instituted by Christ our Lord. For the faithful know quite well, or at least can easily be taught, that the Council of Trent, supported by the doctrine which the uninterrupted tradition of the Church has preserved, condemned the new and false opinion of Luther as opposed to this tradition."[103] "If anyone shall say that Masses in which the priest only receives communion, are unlawful, and therefore should be abolished, let him be anathema."[104]<br />114. They, therefore, err from the path of truth who do not want to have Masses celebrated unless the faithful communicate; and those are still more in error who, in holding that it is altogether necessary for the faithful to receive holy communion as well as the priest, put forward the captious argument that here there is question not of a sacrifice merely, but of a sacrifice and a supper of brotherly union, and consider the general communion of all present as the culminating point of the whole celebration.<br />115. Now it cannot be over-emphasized that the eucharistic sacrifice of its very nature is the unbloody immolation of the divine Victim, which is made manifest in a mystical manner by the separation of the sacred species and by their oblation to the eternal Father. Holy communion pertains to the integrity of the Mass and to the partaking of the august sacrament; but while it is obligatory for the priest who says the Mass, it is only something earnestly recommended to the faithful.<br />116. The Church, as the teacher of truth, strives by every means in her power to safeguard the integrity of the Catholic faith, and like a mother solicitous for the welfare of her children, she exhorts them most earnestly to partake fervently and frequently of the richest treasure of our religion.<br />117. She wishes in the first place that Christians - especially when they cannot easily receive holy communion - should do so at least by desire, so that with renewed faith, reverence, humility and complete trust in the goodness of the divine Redeemer, they may be united to Him in the spirit of the most ardent charity.<br />118. But the desire of Mother Church does not stop here. For since by feasting upon the bread of angels we can by a "sacramental" communion, as we have already said, also become partakers of the sacrifice, she repeats the invitation to all her children individually, "Take and eat. . . Do this in memory of Me"[105] so that "we may continually experience within us the fruit of our redemption"[106] in a more efficacious manner. For this reason the Council of Trent, reechoing, as it were, the invitation of Christ and His immaculate Spouse, has earnestly exhorted "the faithful when they attend Mass to communicate not only by a spiritual communion but also by a sacramental one, so that they may obtain more abundant fruit from this most holy sacrifice."[107] Moreover, our predecessor of immortal memory, Benedict XIV, wishing to emphasize and throw fuller light upon the truth that the faithful by receiving the Holy Eucharist become partakers of the divine sacrifice itself, praises the devotion of those who, when attending Mass, not only elicit a desire to receive holy communion but also want to be nourished by hosts consecrated during the Mass, even though, as he himself states, they really and truly take part in the sacrifice should they receive a host which has been duly consecrated at a previous Mass. He writes as follows: "And although in addition to those to whom the celebrant gives a portion of the Victim he himself has offered in the Mass, they also participate in the same sacrifice to whom a priest distributes the Blessed Sacrament that has been reserved; however, the Church has not for this reason ever forbidden, nor does she now forbid, a celebrant to satisfy the piety and just request of those who, when present at Mass, want to become partakers of the same sacrifice, because they likewise offer it after their own manner, nay more, she approves of it and desires that it should not be omitted and would reprehend those priests through whose fault and negligence this participation would be denied to the faithful."[108]<br />119. May God grant that all accept these invitations of the Church freely and with spontaneity. May He grant that they participate even every day, if possible, in the divine sacrifice, not only in a spiritual manner, but also by reception of the august sacrament, receiving the body of Jesus Christ which has been offered for all to the eternal Father. Arouse Venerable Brethren, in the hearts of those committed to your care, a great and insatiable hunger for Jesus Christ. Under your guidance let the children and youth crowd to the altar rails to offer themselves, their innocence and their works of zeal to the divine Redeemer. Let husbands and wives approach the holy table so that nourished on this food they may learn to make the children entrusted to them conformed to the mind and heart of Jesus Christ.<br />120. Let the workers be invited to partake of this sustaining and never failing nourishment that it may renew their strength and obtain for their labors an everlasting recompense in heaven; in a word, invite all men of whatever class and compel them to come in;[109] since this is the bread of life which all require. The Church of Jesus Christ needs no other bread than this to satisfy fully our souls' wants and desires, and to unite us in the most intimate union with Jesus Christ, to make us "one body,"[110] to get us to live together as brothers who, breaking the same bread, sit down to the same heavenly table, to partake of the elixir of immortality.[111]<br />121. Now it is very fitting, as the liturgy otherwise lays down, that the people receive holy communion after the priest has partaken of the divine repast upon the altar; and, as we have written above, they should be commended who, when present at Mass, receive hosts consecrated at the same Mass, so that it is actually verified, "that as many of us, as, at this altar, shall partake of and receive the most holy body and blood of thy Son, may be filled with every heavenly blessing and grace."[112]<br />122. Still sometimes there may be a reason, and that not infrequently, why holy communion should be distributed before or after Mass and even immediately after the priest receives the sacred species - and even though hosts consecrated at a previous Mass should be used. In these circumstances - as we have stated above - the people duly take part in the eucharistic sacrifice and not seldom they can in this way more conveniently receive holy communion. Still, though the Church with the kind heart of a mother strives to meet the spiritual needs of her children, they, for their part, should not readily neglect the directions of the liturgy and, as often as there is no reasonable difficulty, should aim that all their actions at the altar manifest more clearly the living unity of the Mystical Body.<br />123. When the Mass, which is subject to special rules of the liturgy, is over, the person who has received holy communion is not thereby freed from his duty of thanksgiving; rather, it is most becoming that, when the Mass is finished, the person who has received the Eucharist should recollect himself, and in intimate union with the divine Master hold loving and fruitful converse with Him. Hence they have departed from the straight way of truth, who, adhering to the letter rather than the sense, assert and teach that, when Mass has ended, no such thanksgiving should be added, not only because the Mass is itself a thanksgiving, but also because this pertains to a private and personal act of piety and not to the good of the community.<br />124. But, on the contrary, the very nature of the sacrament demands that its reception should produce rich fruits of Christian sanctity. Admittedly the congregation has been officially dismissed, but each individual, since he is united with Christ, should not interrupt the hymn of praise in his own soul, "always returning thanks for all in the name of our Lord Jesus Christ to God the Father."[113] The sacred liturgy of the Mass also exhorts us to do this when it bids us pray in these words, "Grant, we beseech thee, that we may always continue to offer thanks[114] . . . and may never cease from praising thee."[115] Wherefore, if there is no time when we must not offer God thanks, and if we must never cease from praising Him, who would dare to reprehend or find fault with the Church, because she advises her priests[116] and faithful to converse with the divine Redeemer for at least a short while after holy communion, and inserts in her liturgical books, fitting prayers, enriched with indulgences, by which the sacred ministers may make suitable preparation before Mass and holy communion or may return thanks afterwards? So far is the sacred liturgy from restricting the interior devotion of individual Christians, that it actually fosters and promotes it so that they may be rendered like to Jesus Christ and through Him be brought to the heavenly Father; wherefore this same discipline of the liturgy demands that whoever has partaken of the sacrifice of the altar should return fitting thanks to God. For it is the good pleasure of the divine Redeemer to hearken to us when we pray, to converse with us intimately and to offer us a refuge in His loving Heart.<br />125. Moreover, such personal colloquies are very necessary that we may all enjoy more fully the supernatural treasures that are contained in the Eucharist and according to our means, share them with others, so that Christ our Lord may exert the greatest possible influence on the souls of all.<br />126. Why then, Venerable Brethren, should we not approve of those who, when they receive holy communion, remain on in closest familiarity with their divine Redeemer even after the congregation has been officially dismissed, and that not only for the consolation of conversing with Him, but also to render Him due thanks and praise and especially to ask help to defend their souls against anything that may lessen the efficacy of the sacrament and to do everything in their power to cooperate with the action of Christ who is so intimately present. We exhort them to do so in a special manner by carrying out their resolutions, by exercising the Christian virtues, as also by applying to their own necessities the riches they have received with royal Liberality. The author of that golden book The Imitation of Christ certainly speaks in accordance with the letter and the spirit of the liturgy, when he gives the following advice to the person who approaches the altar, "Remain on in secret and take delight in your God; for He is yours whom the whole world cannot take away from you."[117]<br />127. Therefore, let us all enter into closest union with Christ and strive to lose ourselves, as it were, in His most holy soul and so be united to Him that we may have a share in those acts with which He adores the Blessed Trinity with a homage that is most acceptable, and by which He offers to the eternal Father supreme praise and thanks which find an harmonious echo throughout the heavens and the earth, according to the words of the prophet, "All ye works of the Lord, bless the Lord."[118] Finally, in union with these sentiments of Christ, let us ask for heavenly aid at that moment in which it is supremely fitting to pray for and obtain help in His name.[119] For it is especially in virtue of these sentiments that we offer and immolate ourselves as a victim, saying, "make of us thy eternal offering."[120]<br />128. The divine Redeemer is ever repeating His pressing invitation, "Abide in Me."[121] Now by the sacrament of the Eucharist, Christ remains in us and we in Him, and just as Christ, remaining in us, lives and works, so should we remain in Christ and live and work through Him.<br />129. The Eucharistic Food contains, as all are aware, "truly, really and substantially the Body and Blood together with soul and divinity of our Lord Jesus Christ."[122] It is no wonder, then, that the Church, even from the beginning, adored the body of Christ under the appearance of bread; this is evident from the very rites of the august sacrifice, which prescribe that the sacred ministers should adore the most holy sacrament by genuflecting or by profoundly bowing their heads.<br />130. The Sacred Councils teach that it is the Church's tradition right from the beginning, to worship "with the same adoration the Word Incarnate as well as His own flesh,"[123] and St. Augustine asserts that, "No one eats that flesh, without first adoring it," while he adds that "not only do we not commit a sin by adoring it, but that we do sin by not adoring it."[124]<br />131. It is on this doctrinal basis that the cult of adoring the Eucharist was founded and gradually developed as something distinct from the sacrifice of the Mass. The reservation of the sacred species for the sick and those in danger of death introduced the praiseworthy custom of adoring the blessed Sacrament which is reserved in our churches. This practice of adoration, in fact, is based on strong and solid reasons. For the Eucharist is at once a sacrifice and a sacrament; but it differs from the other sacraments in this that it not only produces grace, but contains in a permanent manner the Author of grace Himself. When, therefore, the Church bids us adore Christ hidden behind the eucharistic veils and pray to Him for spiritual and temporal favors, of which we ever stand in need, she manifests living faith in her divine Spouse who is present beneath these veils, she professes her gratitude to Him and she enjoys the intimacy of His friendship.<br />132. Now, the Church in the course of centuries has introduced various forms of this worship which are ever increasing in beauty and helpfulness: as, for example, visits of devotion to the tabernacles, even every day; benediction of the Blessed Sacrament; solemn processions, especially at the time of Eucharistic Congress, which pass through cities and villages; and adoration of the Blessed Sacrament publicly exposed. Sometimes these public acts of adoration are of short duration. Sometimes they last for one, several and even for forty hours. In certain places they continue in turn in different churches throughout the year, while elsewhere adoration is perpetual day and night, under the care of religious communities, and the faithful quite often take part in them.<br />133. These exercises of piety have brought a wonderful increase in faith and supernatural life to the Church militant upon earth and they are reechoed to a certain extent by the Church triumphant in heaven which sings continually a hymn of praise to God and to the Lamb "who was slain."[125] Wherefore, the Church not merely approves these pious practices, which in the course of centuries have spread everywhere throughout the world, but makes them her own, as it were, and by her authority commends them.[126] They spring from the inspiration of the liturgy and if they are performed with due propriety and with faith and piety, as the liturgical rules of the Church require, they are undoubtedly of the very greatest assistance in living the life of the liturgy.<br />134. Nor is it to be admitted that by this Eucharistic cult men falsely confound the historical Christ, as they say, who once lived on earth, with the Christ who is present in the august Sacrament of the altar, and who reigns glorious and triumphant in heaven and bestows supernatural favors. On the contrary, it can be claimed that by this devotion the faithful bear witness to and solemnly avow the faith of the Church that the Word of God is identical with the Son of the Virgin Mary, who suffered on the cross, who is present in a hidden manner in the Eucharist and who reigns upon His heavenly throne. Thus, St. John Chrysostom states: "When you see It [the Body of Christ] exposed, say to yourself: Thanks to this body, I am no longer dust and ashes, I am no more a captive but a freeman: hence I hope to obtain heaven and the good things that are there in store for me, eternal life, the heritage of the angels, companionship with Christ; death has not destroyed this body which was pierced by nails and scourged, . . . this is that body which was once covered with blood, pierced by a lance, from which issued saving fountains upon the world, one of blood and the other of water. . . This body He gave to us to keep and eat, as a mark of His intense love."[127]<br />135. That practice in a special manner is to be highly praised according to which many exercises of piety, customary among the faithful, and with benediction of the blessed sacrament. For excellent and of great benefit is that custom which makes the priest raise aloft the Bread of Angels before congregations with heads bowed down in adoration, and forming with It the sign of the cross implores the heavenly Father to deign to look upon His Son who for love of us was nailed to the cross, and for His sake and through Him who willed to be our Redeemer and our brother, be pleased to shower down heavenly favors upon those whom the immaculate blood of the Lamb has redeemed.[128]<br />136. Strive then, Venerable Brethren, with your customary devoted care so the churches, which the faith and piety of Christian peoples have built in the course of centuries for the purpose of singing a perpetual hymn of glory to God almighty and of providing a worthy abode for our Redeemer concealed beneath the eucharistic species, may be entirely at the disposal of greater numbers of the faithful who, called to the feet of their Savior, hearken to His most consoling invitation, "Come to Me all you who labor and are heavily burdened, and I will refresh you."[129] Let your churches be the house of God where all who enter to implore blessings rejoice in obtaining whatever they ask[130] and find there heavenly consolation.<br />137. Only thus can it be brought about that the whole human family settling their differences may find peace, and united in mind and heart may sing this song of hope and charity, "Good Pastor, truly bread - Jesus have mercy on us - feed us, protect us - bestow on us the vision of all good things in the land of the living."[131]<br />138. The ideal of Christian life is that each one be united to God in the closest and most intimate manner. For this reason, the worship that the Church renders to God, and which is based especially on the eucharistic sacrifice and the use of the sacraments, is directed and arranged in such a way that it embraces by means of the divine office, the hours of the day, the weeks and the whole cycle of the year, and reaches all the aspects and phases of human life.<br />139. Since the divine Master commanded "that we ought always to pray and not to faint,"[132] the Church faithfully fulfills this injunction and never ceases to pray: she urges us in the words of the Apostle of the Gentiles, "by him Jesus let us offer the sacrifice of praise always to God "[133]<br />140. Public and common prayer offered to God by all at the same time was customary in antiquity only on certain days and at certain times. Indeed, people prayed to God not only in groups but in private houses and occasionally with neighbors and friends. But soon in different parts of the Christian world the practice arose of setting aside special times for praying, as for example, the last hour of the day when evening set in and the lamps were lighted; or the first, heralded, when the night was coming to an end, by the crowing of the cock and the rising of the morning star. Other times of the day, as being more suitable for prayer are indicated in Sacred Scripture, in Hebrew customs or in keeping with the practice of every-day life. According to the acts of the Apostles, the disciples of Jesus Christ all came together to pray at the third hour, when they were all filled with the Holy Ghost;[134] and before eating, the Prince of the Apostles went up to the higher parts of the house to pray, about the sixth hour;[135] Peter and John "went up into the Temple at the ninth hour of prayer"[136] and at "midnight Paul and Silas praying . . . praised God."[137]<br />141. Thanks to the work of the monks and those who practice asceticism, these various prayers in the course of time become ever more perfected and by the authority of the Church are gradually incorporated into the sacred liturgy.<br />142. The divine office is the prayer of the Mystical Body of Jesus Christ, offered to God in the name and on behalf of all Christians, when recited by priests and other ministers of the Church and by religious who are deputed by the Church for this.<br />143. The character and value of the divine office may be gathered from the words recommended by the Church to be said before starting the prayers of the office, namely, that they be said "worthily, with attention and devotion."<br />144. By assuming human nature, the Divine Word introduced into this earthly exile a hymn which is sung in heaven for all eternity. He unites to Himself the whole human race and with it sings this hymn to the praise of God. As we must humbly recognize that "we know not what we should pray for, as we ought, the Spirit Himself asketh for us with unspeakable groanings."[138] Moreover, through His Spirit in us, Christ entreats the Father, "God could not give a greater gift to men . . . [Jesus] prays for us, as our Priest; He prays in us as our Head; we pray to Him as our God . . . we recognize in Him our voice and His voice in us . . . He is prayed to as God, He prays under the appearance of a servant; in heaven He is Creator; here, created though not changed, He assumes a created nature which is to be changed and makes us with Him one complete man, head and body."[139]<br />145. To this lofty dignity of the Church's prayer, there should correspond earnest devotion in our souls. For when in prayer the voice repeats those hymns written under the inspiration of the Holy Ghost and extols God's infinite perfections, it is necessary that the interior sentiment of our souls should accompany the voice so as to make those sentiments our own in which we are elevated to heaven, adoring and giving due praise and thanks to the Blessed Trinity; "so let us chant in choir that mind and voice may accord together."[140] It is not merely a question of recitation or of singing which, however perfect according to norms of music and the sacred rites, only reaches the ear, but it is especially a question of the ascent of the mind and heart to God so that, united with Christ, we may completely dedicate ourselves and all our actions to Him.<br />146. On this depends in no small way the efficacy of our prayers. These prayers in fact, when they are not addressed directly to the Word made man, conclude with the phrase "though Jesus Christ our Lord." As our Mediator with God, He shows to the heavenly Father His glorified wounds, "always living to make intercessions for us."[141]<br />147. The Psalms, as all know, form the chief part of the divine office. They encompass the full round of the day and sanctify it. Cassiodorus speaks beautifully about the Psalms as distributed in his day throughout the divine office: "With the celebration of matins they bring a blessing on the coming day, they set aside for us the first hour and consecrate the third hour of the day, they gladden the sixth hour with the breaking of bread, at the ninth they terminate our fast, they bring the evening to a close and at nightfall they shield our minds from darkness."[142]<br />148. The Psalms recall to mind the truths revealed by God to the chosen people, which were at one time frightening and at another filled with wonderful tenderness; they keep repeating and fostering the hope of the promised Liberator which in ancient times was kept alive with song, either around the hearth or in the stately temple; they show forth in splendid light the prophesied glory of Jesus Christ: first, His supreme and eternal power, then His lowly coming to this terrestrial exile, His kingly dignity and priestly power and, finally, His beneficent labors, and the shedding of His blood for our redemption. In a similar way they express the joy, the bitterness, the hope and fear of our hearts and our desire of loving God and hoping in Him alone, and our mystic ascent to divine tabernacles.<br />149. "The psalm is . . . a blessing for the people, it is the praise of God, the tribute of the nation, the common language and acclamation of all, it is the voice of the Church, the harmonious confession of faith, signifying deep attachment to authority; it is the joy of freedom, the expression of happiness, an echo of bliss."[143]<br />150. In an earlier age, these canonical prayers were attended by many of the faithful. But this gradually ceased, and, as We have already said, their recitation at present is the duty only of the clergy and of religious. The laity have no obligation in this matter. Still, it is greatly to be desired that they participate in reciting or chanting vespers sung in their own parish on feast days. We earnestly exhort you, Venerable Brethren, to see that this pious practice is kept up, and that wherever it has ceased you restore it if possible. This, without doubt, will produce salutary results when vespers are conducted in a worthy and fitting manner and with such helps as foster the piety of the faithful. Let the public and private observance of the feasts of the Church, which are in a special way dedicated and consecrated to God, be kept inviolable; and especially the Lord's day which the Apostles, under the guidance of the Holy Ghost, substituted for the sabbath. Now, if the order was given to the Jews: "Six days shall you do work; in the seventh day is the sabbath, the rest holy to the Lord. Every one that shall do any work on this day, shall die;"[144] how will these Christians not fear spiritual death who perform servile work on feast-days, and whose rest on these days is not devoted to religion and piety but given over to the allurements of the world? Sundays and holydays, then, must be made holy by divine worship, which gives homage to God and heavenly food to the soul. Although the Church only commands the faithful to abstain from servile work and attend Mass and does not make it obligatory to attend evening devotions, still she desires this and recommends it repeatedly. Moreover, the needs of each one demand it, seeing that all are bound to win the favor of God if they are to obtain His benefits. Our soul is filled with the greatest grief when We see how the Christian people of today profane the afternoon of feast days; public places of amusement and public games are frequented in great numbers while the churches are not as full as they should be. All should come to our churches and there be taught the truth of the Catholic faith, sing the praises of God, be enriched with benediction of the blessed sacrament given by the priest and be strengthened with help from heaven against the adversities of this life. Let all try to learn those prayers which are recited at vespers and fill their souls with their meaning. When deeply penetrated by these prayers, they will experience what St. Augustine said about himself: "How much did I weep during hymns and verses, greatly moved at the sweet singing of thy Church. Their sound would penetrate my ears and their truth melt my heart, sentiments of piety would well up, tears would flow and that was good for me."[145]<br />151. Throughout the entire year, the Mass and the divine office center especially around the person of Jesus Christ. This arrangement is so suitably disposed that our Savior dominates the scene in the mysteries of His humiliation, of His redemption and triumph.<br />152. While the sacred liturgy calls to mind the mysteries of Jesus Christ, it strives to make all believers take their part in them so that the divine Head of the mystical Body may live in all the members with the fullness of His holiness. Let the souls of Christians be like altars on each one of which a different phase of the sacrifice, offered by the High priest, comes to life again, as it were: pains and tears which wipe away and expiate sin; supplication to God which pierces heaven; dedication and even immolation of oneself made promptly, generously and earnestly; and, finally, that intimate union by which we commit ourselves and all we have to God, in whom we find our rest. "The perfection of religion is to imitate whom you adore."[146]<br />153. By these suitable ways and methods in which the liturgy at stated times proposes the life of Jesus Christ for our meditation, the Church gives us examples to imitate, points out treasures of sanctity for us to make our own, since it is fitting that the mind believes what the lips sing, and that what the mind believes should be practiced in public and private life.<br />154. In the period of Advent, for instance, the Church arouses in us the consciousness of the sins we have had the misfortune to commit, and urges us, by restraining our desires and practicing voluntary mortification of the body, to recollect ourselves in meditation, and experience a longing desire to return to God who alone can free us by His grace from the stain of sin and from its evil consequences.<br />155. With the coming of the birthday of the Redeemer, she would bring us to the cave of Bethlehem and there teach that we must be born again and undergo a complete reformation; that will only happen when we are intimately and vitally united to the Word of God made man and participate in His divine nature, to which we have been elevated.<br />156. At the solemnity of the Epiphany, in putting before us the call of the Gentiles to the Christian faith, she wishes us daily to give thanks to the Lord for such a blessing; she wishes us to seek with lively faith the living and true God, to penetrate deeply and religiously the things of heaven, to love silence and meditation in order to perceive and grasp more easily heavenly gifts.<br />157. During the days of Septuagesima and Lent, our Holy Mother the Church over and over again strives to make each of us seriously consider our misery, so that we may be urged to a practical emendation of our lives, detest our sins heartily and expiate them by prayer and penance. For constant prayer and penance done for past sins obtain for us divine help, without which every work of ours is useless and unavailing.<br />158. In Holy Week, when the most bitter sufferings of Jesus Christ are put before us by the liturgy, the Church invites us to come to Calvary and follow in the blood-stained footsteps of the divine Redeemer, to carry the cross willingly with Him, to reproduce in our own hearts His spirit of expiation and atonement, and to die together with Him.<br />159. At the Paschal season, which commemorates the triumph of Christ, our souls are filled with deep interior joy: we, accordingly, should also consider that we must rise, in union with the Redeemer, from our cold and slothful life to one of greater fervor and holiness by giving ourselves completely and generously to God, and by forgetting this wretched world in order to aspire only to the things of heaven: "If you be risen with Christ, seek the things that are above . . . mind the things that are above."[147]<br />160. Finally, during the time of Pentecost, the Church by her precept and practice urges us to be more docile to the action of the Holy Spirit who wishes us to be on fire with divine love so that we may daily strive to advance more in virtue and thus become holy as Christ our Lord and His Father are holy.<br />161. Thus, the liturgical year should be considered as a splendid hymn of praise offered to the heavenly Father by the Christian family through Jesus, their perpetual Mediator. Nevertheless, it requires a diligent and well ordered study on our part to be able to know and praise our Redeemer ever more and more. It requires a serious effort and constant practice to imitate His mysteries, to enter willingly upon His path of sorrow and thus finally share His glory and eternal happiness.<br />162. From what We have already explained, Venerable Brethren, it is perfectly clear how much modern writers are wanting in the genuine and true liturgical spirit who, deceived by the illusion of a higher mysticism, dare to assert that attention should be paid not to the historic Christ but to a "pneumatic" or glorified Christ. They do not hesitate to assert that a change has taken place in the piety of the faithful by dethroning, as it were, Christ from His position; since they say that the glorified Christ, who liveth and reigneth forever and sitteth at the right hand of the Father, has been overshadowed and in His place has been substituted that Christ who lived on earth. For this reason, some have gone so far as to want to remove from the churches images of the divine Redeemer suffering on the cross.<br />163. But these false statements are completely opposed to the solid doctrine handed down by tradition. "You believe in Christ born in the flesh," says St. Augustine, "and you will come to Christ begotten of God."[148] In the sacred liturgy, the whole Christ is proposed to us in all the circumstances of His life, as the Word of the eternal Father, as born of the Virgin Mother of God, as He who teaches us truth, heals the sick, consoles the afflicted, who endures suffering and who dies; finally, as He who rose triumphantly from the dead and who, reigning in the glory of heaven, sends us the Holy Paraclete and who abides in His Church forever; "Jesus Christ, yesterday and today, and the same forever."[149] Besides, the liturgy shows us Christ not only as a model to be imitated but as a master to whom we should listen readily, a Shepherd whom we should follow, Author of our salvation, the Source of our holiness and the Head of the Mystical Body whose members we are, living by His very life.<br />164. Since His bitter sufferings constitute the principal mystery of our redemption, it is only fitting that the Catholic faith should give it the greatest prominence. This mystery is the very center of divine worship since the Mass represents and renews it every day and since all the sacraments are most closely united with the cross.[150]<br />165. Hence, the liturgical year, devotedly fostered and accompanied by the Church, is not a cold and lifeless representation of the events of the past, or a simple and bare record of a former age. It is rather Christ Himself who is ever living in His Church. Here He continues that journey of immense mercy which He lovingly began in His mortal life, going about doing good,[151] with the design of bringing men to know His mysteries and in a way live by them. These mysteries are ever present and active not in a vague and uncertain way as some modern writers hold, but in the way that Catholic doctrine teaches us. According to the Doctors of the Church, they are shining examples of Christian perfection, as well as sources of divine grace, due to the merit and prayers of Christ; they still influence us because each mystery brings its own special grace for our salvation. Moreover, our holy Mother the Church, while proposing for our contemplation the mysteries of our Redeemer, asks in her prayers for those gifts which would give her children the greatest possible share in the spirit of these mysteries through the merits of Christ. By means of His inspiration and help and through the cooperation of our wills we can receive from Him living vitality as branches do from the tree and members from the head; thus slowly and laboriously we can transform ourselves "unto the measure of the age of the fullness of Christ."[152]<br />166. In the course of the liturgical year, besides the mysteries of Jesus Christ, the feasts of the saints are celebrated. Even though these feasts are of a lower and subordinate order, the Church always strives to put before the faithful examples of sanctity in order to move them to cultivate in themselves the virtues of the divine Redeemer.<br />167. We should imitate the virtues of the saints just as they imitated Christ, for in their virtues there shines forth under different aspects the splendor of Jesus Christ. Among some of these saints the zeal of the apostolate stood out, in others courage prevailed even to the shedding of blood, constant vigilance marked others out as they kept watch for the divine Redeemer, while in others the virginal purity of soul was resplendent and their modesty revealed the beauty of Christian humility; there burned in all of them the fire of charity towards God and their neighbor. The sacred liturgy puts all these gems of sanctity before us so that we may consider them for our salvation, and "rejoicing at their merits, we may be inflamed by their example."[153] It is necessary, then, to practice "in simplicity innocence, in charity concord, in humility modesty, diligence in government, readiness in helping those who labor, mercy in serving the poor, in defending truth, constancy, in the strict maintenance of discipline justice, so that nothing may be wanting in us of the virtues which have been proposed for our imitation. These are the footprints left by the saints in their journey homeward, that guided by them we might follow them into glory."[154] In order that we may be helped by our senses, also, the Church wishes that images of the saints be displayed in our churches, always, however, with the same intention "that we imitate the virtues of those whose images we venerate."[155]<br />168. But there is another reason why the Christian people should honor the saints in heaven, namely, to implore their help and "that we be aided by the pleadings of those whose praise is our delight."[156] Hence, it is easy to understand why the sacred liturgy provides us with many different prayers to invoke the intercession of the saints.<br />169. Among the saints in heaven the Virgin Mary Mother of God is venerated in a special way. Because of the mission she received from God, her life is most closely linked with the mysteries of Jesus Christ, and there is no one who has followed in the footsteps of the Incarnate Word more closely and with more merit than she: and no one has more grace and power over the most Sacred Heart of the Son of God and through Him with the Heavenly Father. Holier than the Cherubim and Seraphim, she enjoys unquestionably greater glory than all the other saints, for she is "full of grace,"[157] she is the Mother of God, who happily gave birth to the Redeemer for us. Since she is therefore, "Mother of mercy, our life, our sweetness and our hope," let us all cry to her "mourning and weeping in this vale of tears,"[158] and confidently place ourselves and all we have under her patronage. She became our Mother also when the divine Redeemer offered the sacrifice of Himself; and hence by this title also, we are her children. She teaches us all the virtues; she gives us her Son and with Him all the help we need, for God "wished us to have everything through Mary."[159]<br />170. Throughout this liturgical journey which begins anew for us each year under the sanctifying action of the Church, and strengthened by the help and example of the saints, especially of the Immaculate Virgin Mary, "let us draw near with a true heart, in fullness of faith having our hearts sprinkled from an evil conscience, and our bodies washed with clean water,"[160] let us draw near to the "High Priest"[161] that with Him we may share His life and sentiments and by Him penetrate "even within the veil,"[162] and there honor the heavenly Father for ever and ever.<br />171. Such is the nature and the object of the sacred liturgy: it treats of the Mass, the sacraments, the divine office; it aims at uniting our souls with Christ and sanctifying them through the divine Redeemer in order that Christ be honored and, through Him and in Him, the most Holy Trinity, Glory be to the Father and to the Son and to the Holy Ghost.<br />172. In order that the errors and inaccuracies, mentioned above, may be more easily removed from the Church, and that the faithful following safer norms may be able to use more fruitfully the liturgical apostolate, We have deemed it opportune, Venerable Brethren, to add some practical applications of the doctrine which We have explained.<br />173. When dealing with genuine and solid piety We stated that there could be no real opposition between the sacred liturgy and other religious practices, provided they be kept within legitimate bounds and performed for a legitimate purpose. In fact, there are certain exercises of piety which the Church recommends very much to clergy and religious.<br />174. It is Our wish also that the faithful, as well, should take part in these practices. The chief of these are: meditation on spiritual things, diligent examination of conscience, enclosed retreats, visits to the blessed sacrament, and those special prayers in honor of the Blessed Virgin Mary among which the rosary, as all know, has pride of place.[163]<br />175. From these multiple forms of piety, the inspiration and action of the Holy Spirit cannot be absent. Their purpose is, in various ways, to attract and direct our souls to God, purifying them from their sins, encouraging them to practice virtue and, finally, stimulating them to advance along the path of sincere piety by accustoming them to meditate on the eternal truths and disposing them better to contemplate the mysteries of the human and divine natures of Christ. Besides, since they develop a deeper spiritual life of the faithful, they prepare them to take part in sacred public functions with greater fruit, and they lessen the danger of liturgical prayers becoming an empty ritualism.<br />176. In keeping with your pastoral solicitude, Venerable Brethren, do not cease to recommend and encourage these exercises of piety from which the faithful, entrusted to your care, cannot but derive salutary fruit. Above all, do not allow - as some do, who are deceived under the pretext of restoring the liturgy or who idly claim that only liturgical rites are of any real value and dignity - that churches be closed during the hours not appointed for public functions, as has already happened in some places: where the adoration of the august sacrament and visits to our Lord in the tabernacles are neglected; where confession of devotion is discouraged; and devotion to the Virgin Mother of God, a sign of "predestination" according to the opinion of holy men, is so neglected, especially among the young, as to fade away and gradually vanish. Such conduct most harmful to Christian piety is like poisonous fruit, growing on the infected branches of a healthy tree, which must be cut off so that the life-giving sap of the tree may bring forth only the best fruit.<br />177. Since the opinions expressed by some about frequent confession are completely foreign to the spirit of Christ and His Immaculate Spouse and are also most dangerous to the spiritual life, let Us call to mind what with sorrow We wrote about this point in the encyclical on the Mystical Body. We urgently insist once more that what We expounded in very serious words be proposed by you for the serious consideration and dutiful obedience of your flock, especially to students for the priesthood and young clergy.<br />178. Take special care that as many as possible, not only of the clergy but of the laity and especially those in religious organizations and in the ranks of Catholic Action, take part in monthly days of recollection and in retreats of longer duration made with a view to growing in virtue. As We have previously stated, such spiritual exercises are most useful and even necessary to instill into souls solid virtue, and to strengthen them in sanctity so as to be able to derive from the sacred liturgy more efficacious and abundant benefits.<br />179. As regards the different methods employed in these exercises, it is perfectly clear to all that in the Church on earth, no less in the Church in heaven, there are many mansions,[164] and that asceticism cannot be the monopoly of anyone. It is the same spirit who breatheth where He will,[165] and who with differing gifts and in different ways enlightens and guides souls to sanctity. Let their freedom and the supernatural action of the Holy Spirit be so sacrosanct that no one presume to disturb or stifle them for any reason whatsoever.<br />180. However, it is well known that the spiritual exercise according to the method and norms of St. Ignatius have been fully approved and earnestly recommended by Our predecessors on account of their admirable efficacy. We, too, for the same reason have approved and commended them and willingly do We repeat this now.<br />181. Any inspiration to follow and practice extraordinary exercises of piety must most certainly come from the Father of Lights, from whom every good and perfect gift descends;[166] and, of course, the criterion of this will be the effectiveness of these exercises in making the divine cult loved and spread daily ever more widely, and in making the faithful approach the sacraments with more longing desire, and in obtaining for all things holy due respect and honor. If on the contrary, they are an obstacle to principles and norms of divine worship, or if they oppose or hinder them, one must surely conclude that they are not in keeping with prudence and enlightened zeal.<br />182. There are, besides, other exercises of piety which, although not strictly belonging to the sacred liturgy, are, nevertheless, of special import and dignity, and may be considered in a certain way to be an addition to the liturgical cult; they have been approved and praised over and over again by the Apostolic See and by the bishops. Among these are the prayers usually said during the month of May in honor of the Blessed Virgin Mother of God, or during the month of June to the most Sacred Heart of Jesus: also novenas and triduums, stations of the cross and other similar practices.<br />183. These devotions make us partakers in a salutary manner of the liturgical cult, because they urge the faithful to go frequently to the sacrament of penance, to attend Mass and receive communion with devotion, and, as well, encourage them to meditate on the mysteries of our redemption and imitate the example of the saints.<br />184. Hence, he would do something very wrong and dangerous who would dare to take on himself to reform all these exercises of piety and reduce them completely to the methods and norms of liturgical rites. However, it is necessary that the spirit of the sacred liturgy and its directives should exercise such a salutary influence on them that nothing improper be introduced nor anything unworthy of the dignity of the house of God or detrimental to the sacred functions or opposed to solid piety.<br />185. Take care then, Venerable Brethren, that this true and solid piety increases daily and more under your guidance and bears more abundant fruit. Above all, do not cease to inculcate into the minds of all that progress in the Christian life does not consist in the multiplicity and variety of prayers and exercises of piety, but rather in their helpfulness towards spiritual progress of the faithful and constant growth of the Church universal. For the eternal Father "chose us in Him [Christ] before the foundation of the world that we should be holy and unspotted in His sight."[167] All our prayers, then, and all our religious practices should aim at directing our spiritual energies towards attaining this most noble and lofty end.<br />186. We earnestly exhort you, Venerable Brethren, that after errors and falsehoods have been removed, and anything that is contrary to truth or moderation has been condemned, you promote a deeper knowledge among the people of the sacred liturgy so that they more readily and easily follow the sacred rites and take part in them with true Christian dispositions.<br />187. First of all, you must strive that with due reverence and faith all obey the decrees of the Council of Trent, of the Roman Pontiffs, and the Sacred Congregation of Rites, and what the liturgical books ordain concerning external public worship.<br />188. Three characteristics of which Our predecessor Pius X spoke should adorn all liturgical services: sacredness, which abhors any profane influence; nobility, which true and genuine arts should serve and foster; and universality, which, while safeguarding local and legitimate custom, reveals the catholic unity of the Church.[168]<br />189. We desire to commend and urge the adornment of churches and altars. Let each one feel moved by the inspired word, "the zeal of thy house hath eaten me up";[169] and strive as much as in him lies that everything in the church, including vestments and liturgical furnishings, even though not rich nor lavish, be perfectly clean and appropriate, since all is consecrated to the Divine Majesty. If we have previously disapproved of the error of those who would wish to outlaw images from churches on the plea of reviving an ancient tradition, We now deem it Our duty to censure the inconsiderate zeal of those who propose for veneration in the Churches and on the altars, without any just reason, a multitude of sacred images and statues, and also those who display unauthorized relics, those who emphasize special and insignificant practices, neglecting essential and necessary things. They thus bring religion into derision and lessen the dignity of worship.<br />190. Let us recall, as well, the decree about "not introducing new forms of worship and devotion."[170] We commend the exact observance of this decree to your vigilance.<br />191. As regards music, let the clear and guiding norms of the Apostolic See be scrupulously observed. Gregorian chant, which the Roman Church considers her own as handed down from antiquity and kept under her close tutelage, is proposed to the faithful as belonging to them also. In certain parts of the liturgy the Church definitely prescribes it;[171] it makes the celebration of the sacred mysteries not only more dignified and solemn but helps very much to increase the faith and devotion of the congregation. For this reason, Our predecessors of immortal memory, Pius X and Pius XI, decree - and We are happy to confirm with Our authority the norms laid down by them - that in seminaries and religious institutes, Gregorian chant be diligently and zealously promoted, and moreover that the old Scholae Cantorum be restored, at least in the principal churches. This has already been done with happy results in not a few places.[172]<br />192. Besides, "so that the faithful take a more active part in divine worship, let Gregorian chant be restored to popular use in the parts proper to the people. Indeed it is very necessary that the faithful attend the sacred ceremonies not as if they were outsiders or mute onlookers, but let them fully appreciate the beauty of the liturgy and take part in the sacred ceremonies, alternating their voices with the priest and the choir, according to the prescribed norms. If, please God, this is done, it will not happen that the congregation hardly ever or only in a low murmur answer the prayers in Latin or in the vernacular."[173] A congregation that is devoutly present at the sacrifice, in which our Savior together with His children redeemed with His sacred blood sings the nuptial hymn of His immense love, cannot keep silent, for "song befits the lover"[174] and, as the ancient saying has it, "he who sings well prays twice." Thus the Church militant, faithful as well as clergy, joins in the hymns of the Church triumphant and with the choirs of angels, and, all together, sing a wondrous and eternal hymn of praise to the most Holy Trinity in keeping with words of the preface, "with whom our voices, too, thou wouldst bid to be admitted."[175]<br />193. It cannot be said that modem music and singing should be entirely excluded from Catholic worship. For, if they are not profane nor unbecoming to the sacredness of the place and function, and do not spring from a desire of achieving extraordinary and unusual effects, then our churches must admit them since they can contribute in no small way to the splendor of the sacred ceremonies, can lift the mind to higher things and foster true devotion of soul.<br />194. We also exhort you, Venerable Brethren, to promote with care congregational singing, and to see to its accurate execution with all due dignity, since it easily stirs up and arouses the faith and piety of large gatherings of the faithful. Let the full harmonious singing of our people rise to heaven like the bursting of a thunderous sea[176] and let them testify by the melody of their song to the unity of their hearts and minds[177], as becomes brothers and the children of the same Father.<br />195. What We have said about music, applies to the other fine arts, especially to architecture, sculpture and painting. Recent works of art which lend themselves to the materials of modern composition, should not be universally despised and rejected through prejudice. Modern art should be given free scope in the due and reverent service of the church and the sacred rites, provided that they preserve a correct balance between styles tending neither to extreme realism nor to excessive "symbolism," and that the needs of the Christian community are taken into consideration rather than the particular taste or talent of the individual artist. Thus modern art will be able to join its voice to that wonderful choir of praise to which have contributed, in honor of the Catholic faith, the greatest artists throughout the centuries. Nevertheless, in keeping with the duty of Our office, We cannot help deploring and condemning those works of art, recently introduced by some, which seem to be a distortion and perversion of true art and which at times openly shock Christian taste, modesty and devotion, and shamefully offend the true religious sense. These must be entirely excluded and banished from our churches, like "anything else that is not in keeping with the sanctity of the place."[178]<br />196. Keeping in mind, Venerable Brethren, pontifical norms and decrees, take great care to enlighten and direct the minds and hearts of the artists to whom is given the task today of restoring or rebuilding the many churches which have been ruined or completely destroyed by war. Let them be capable and willing to draw their inspiration from religion to express what is suitable and more in keeping with the requirements of worship. Thus the human arts will shine forth with a wondrous heavenly splendor, and contribute greatly to human civilization, to the salvation of souls and the glory of God. The fine arts are really in conformity with religion when "as noblest handmaids they are at the service of divine worship."[179]<br />197. But there is something else of even greater importance, Venerable Brethren, which We commend to your apostolic zeal, in a very special manner. Whatever pertains to the external worship has assuredly its importance; however, the most pressing duty of Christians is to live the liturgical life, and increase and cherish its supernatural spirit.<br />198. Readily provide the young clerical student with facilities to understand the sacred ceremonies, to appreciate their majesty and beauty and to learn the rubrics with care, just as you do when he is trained in ascetics, in dogma and in a canon law and pastoral theology. This should not be done merely for cultural reasons and to fit the student to perform religious rites in the future, correctly and with due dignity, but especially to lead him into closest union with Christ, the Priest, so that he may become a holy minister of sanctity.<br />199. Try in every way, with the means and helps that your prudence deems best, that the clergy and people become one in mind and heart, and that the Christian people take such an active part in the liturgy that it becomes a truly sacred action of due worship tO the eternal Lord in which the priest, chiefly responsible for the souls of his parish, and the ordinary faithful are united together.<br />200. To attain this purpose, it will greatly help to select carefully good and upright young boys from all classes of citizens who will come generously and spontaneously to serve at the altar with careful zeal and exactness. Parents of higher social standing and culture should greatly esteem this office for their children. If these youths, under the watchful guidance of the priests, are properly trained and encouraged to fulfill the task committed to them punctually, reverently and constantly, then from their number will readily come fresh candidates for the priesthood. The clergy will not then complain - as, alas, sometimes happens even in Catholic places - that in the celebration of the august sacrifice they find no one to answer or serve them.<br />201. Above all, try with your constant zeal to have all the faithful attend the eucharistic sacrifice from which they may obtain abundant and salutary fruit; and carefully instruct them in all the legitimate ways we have described above so that they may devoutly participate in it. The Mass is the chief act of divine worship; it should also be the source and center of Christian piety. Never think that you have satisfied your apostolic zeal until you see your faithful approach in great numbers the celestial banquet which is a sacrament of devotion, a sign of unity and a bond of love.[180]<br />202. By means of suitable sermons and particularly by periodic conferences and lectures, by special study weeks and the like, teach the Christian people carefully about the treasures of piety contained in the sacred liturgy so that they may be able to profit more abundantly by these supernatural gifts. In this matter, those who are active in the ranks of Catholic Action will certainly be a help to you, since they are ever at the service of the hierarchy in the work of promoting the kingdom of Jesus Christ.<br />203. But in all these matters, it is essential that you watch vigilantly lest the enemy come into the field of the Lord and sow cockle among the wheat;[181] in other words, do not let your flocks be deceived by the subtle and dangerous errors of false mysticism or quietism - as you know We have already condemned these errors;[182] also do not let a certain dangerous "humanism" lead them astray, nor let there be introduced a false doctrine destroying the notion of Catholic faith, nor finally an exaggerated zeal for antiquity in matters liturgical. Watch with like diligence lest the false teaching of those be propagated who wrongly think and teach that the glorified human nature of Christ really and continually dwells in the "just" by His presence and that one and numerically the same grace, as they say, unites Christ with the members of His Mystical Body.<br />204. Never be discouraged by the difficulties that arise, and never let your pastoral zeal grow cold. "Blow the trumpet in Sion . . . call an assembly, gather together the people, sanctify the Church, assemble the ancients, gather together the little ones, and them that suck at the breasts,"[183] and use every help to get the faithful everywhere to fill the churches and crowd around the altars so that they may be restored by the graces of the sacraments and joined as living members to their divine Head, and with Him and through Him celebrate together the august sacrifice that gives due tribute of praise to the Eternal Father.<br />205. These, Venerable Brethren, are the subjects We desired to write to you about. We are moved to write that your children, who are also Ours, may more fully understand and appreciate the most precious treasures which are contained in the sacred liturgy: namely, the eucharistic sacrifice, representing and renewing the sacrifice of the cross, the sacraments which are the streams of divine grace and of divine life, and the hymn of praise, which heaven and earth daily offer to God.<br />206. We cherish the hope that these Our exhortations will not only arouse the sluggish and recalcitrant to a deeper and more correct study of the liturgy, but also instill into their daily lives its supernatural spirit according to the words of the Apostle, "extinguish not the spirit."[184]<br />207. To those whom an excessive zeal occasionally led to say and do certain things which saddened Us and which We could not approve, we repeat the warning of St. Paul, "But prove all things, hold fast that which is good."[185] Let Us paternally warn them to imitate in their thoughts and actions the Christian doctrine which is in harmony with the precepts of the immaculate Spouse of Jesus Christ, the mother of saints.<br />208. Let Us remind all that they must generously and faithfully obey their holy pastors who possess the right and duty of regulating the whole life, especially the spiritual life, of the Church. "Obey your prelates and be subject to them. For they watch as being to render an account of your souls; that they may do this with joy and not with grief."[186]<br />209. May God, whom we worship, and who is "not the God of dissension but of peace,"[187] graciously grant to us all that during our earthly exile we may with one mind and one heart participate in the sacred liturgy which is, as it were, a preparation and a token of that heavenly liturgy in which we hope one day to sing together with the most glorious Mother of God and our most loving Mother, "To Him that sitteth on the throne, and to the Lamb, benediction and honor, and glory and power for ever and ever."[188]<br />210. In this joyous hope, We most lovingly impart to each and every one of you, Venerable Brethren, and to the flocks confided to your care, as a pledge of divine gifts and as a witness of Our special love, the apostolic benediction.<br />Given at Castel Gandolfo, near Rome, on the 20th day of November in the year 1947, the 9th of Our Pontificate.<br />PIUS XII<br />________________________________________<br />1. 1 Tim. 2:5.<br />2. Cf. Heb. 4:14.<br />3. Cf. Heb. 9:14.<br />4. Cf. Mal.1:11.<br />5. Cf. Council of Trent Sess. 22, c. 1.<br />6. Cf. ibid., c. 2.<br />7. Encyclical Letter Caritate Christi, May 3, 1932.<br />8. Cf. Apostolic Letter (Motu Proprio) In cotidianis precibus, March 24, 1945.<br />9. 1 Cor. 10:17.<br />10. Saint Thomas, Summa Theologica, IIª IIª³ q. 81, art. 1.<br />11. Cf. Book of Leviticus.<br />12. Cf. Heb.10:1.<br />13. John, 1:14.<br />14. Heb.10:5-7.<br />15. Ibid. 10:10.<br />16. John, 1:9.<br />17. Heb.10:39.<br />18. Cf. 1 John, 2:1.<br />19. Cf. 1 Tim. 3:15.<br />20. Cf. Boniface IX, Ab origine mundi, October 7, 1391; Callistus III, Summus Pontifex, January 1, 1456; Pius II, Triumphans Pastor, April 22, 1459; Innocent XI, Triumphans Pastor, October 3, 1678.<br />21. Eph. 2:19-22.<br />22. Matt. 18:20.<br />23. Acts, 2:42.<br />24. Col. 3:16.<br />25. Saint Augustine, Epist. 130, ad Probam, 18.<br />26. Roman Missal, Preface for Christmas.<br />27. Giovanni Cardinal Bona, De divina psalmodia, c. 19, par. 3, 1.<br />28. Roman Missal, Secret for Thursday after the Second Sunday of Lent.<br />29. Cf. Mark, 7:6 and Isaias, 29:13.<br />30. 1 Cor.11:28.<br />31. Roman Missal, Ash Wednesday; Prayer after the imposition of ashes.<br />32. De praedestinatione sanctorum, 31.<br />33. Cf. Saint Thomas, Summa Theologica, IIª IIª³, q. 82, art. 1.<br />34. Cf. 1 Cor. 3:23.<br />35. Heb. 10:19-24.<br />36. Cf. 2 Cor. 6:1.<br />37. Cf. Code of Canon Law, can. 125, 126, 565, 571,595,1367.<br />38. Col. 3:11.<br />39. Cf. Gal. 4:19.<br />40. John, 20:21.<br />41. Luke, 10:16.<br />42. Mark, 16:15-16.<br />43. Roman Pontifical, Ordination of a priest: anointing of hands.<br />44. Enchiridion, c. 3.<br />45. De gratia Dei "Indiculus."<br />46. Saint Augustine, Epist. 130, ad Probam, 18.<br />47. Cf. Constitution Divini cultus, December 20, 1928.<br />48. Constitution Immensa, January 22, 1588.<br />49. Code of Canon Law, can. 253.<br />50. Cf. Code of Canon Law, can. 1257.<br />51. Cf. Code of Canon Law, can. 1261.<br />52. Cf. Matt. 28:20.<br />53. Cf. Pius VI, Constitution Auctorem fidei, August 28, 1794, nn. 31-34, 39, 62, 66, 69-74.<br />54. Cf. John, 21:15-17.<br />55. Acts, 20:28.<br />56. Ps.109:4.<br />57. John, 13:1.<br />58. Council of Trent, Sess. 22, c. 1.<br />59. Ibid., c. 2.<br />60. Cf. Saint Thomas, Summa Theologica, IIIª, q. 22, art. 4.<br />61. Saint John Chrysostom, In Joann. Hom., 86:4.<br />62. Rom. 6:9.<br />63. Cf. Roman Missal, Preface.<br />64. Cf. Ibid., Canon.<br />65. Mark, 14:23.<br />66. Roman Missal, Preface.<br />67. 1 John, 2:2.<br />68. Roman Missal, Canon of the Mass.<br />69. Saint Augustine, De Trinit., Book XIII, c. 19.<br />70. Heb. 5:7.<br />71. Cf. Sess. 22, c. 1.<br />72. Cf. Heb. 10:14.<br />73. Saint Augustine, Enarr. in Ps. 147, n. 16.<br />74. Gal. 2:19-20.<br />75. Encyclical Letter, Mystici Corporis, June 29, 1943.<br />76. Roman Missal, Secret of the Ninth Sunday after Pentecost.<br />77. Cf. Sess. 22, c. 2. and can. 4.<br />78. Cf. Gal. 6:14.<br />79. Mal. 1:11.<br />80. Phil. 2:5.<br />81. Gal. 2:19.<br />82. Cf. Council of Trent, Sess. 23. c. 4.<br />83. Cf. Saint Robert Bellarmine, De Missa, 2, c.4.<br />84. De Sacro Altaris Mysterio, 3:6.<br />85. De Missa, 1, c. 27.<br />86. Roman Missal, Ordinary of the Mass.<br />87. Ibid., Canon of the Mass.<br />88. Roman Missal, Canon of the Mass.<br />89. 1 Peter, 2:5.<br />90. Rom. 12:1.<br />91. Roman Missal, Canon of the Mass.<br />92. Roman Pontifical, Ordination of a priest.<br />93. Ibid., Consecration of an altar, Preface.<br />94. Cf. Council of Trent, Sess. 22, c. 5.<br />95. Gal. 2:19-20.<br />96. Cf. Serm. 272.<br />97. Cf. 1 Cor. 12:27.<br />98. Cf. Eph. 5:30.<br />99. Cf. Saint Robert Bellarmine, De Missa, 2, c. 8.<br />100. Cf. De Civitate Dei, Book 10, c. 6.<br />101. Roman Missal, Canon of the Mass.<br />102. Cf. 1 Tim. 2:5.<br />103. Encyclical Letter Certiores effecti, November 13, 1742, par. 1.<br />104. Council of Trent, Sess. 22, can. 8.<br />105. 1 Cor. 11:24.<br />106. Roman Missal, Collect for Feast of Corpus Christi.<br />107. Sess. 22, c. 6.<br />108. Encyclical Letter Certiores effecti, par. 3.<br />109. Cf. Luke, 14:23.<br />110. 1 Cor. 10:17.<br />111. Cf. Saint Ignatius Martyr, Ad Eph. 20.<br />112. Roman Missal, Canon of the Mass.<br />113. Eph. 5:20.<br />114. Roman Missal, Postcommunion for Sunday within the Octave of Ascension.<br />115. Ibid., Postcommunion for First Sunday after Pentecost.<br />116. Code of Canon Law, can. 810.<br />117. Book IV, c. 12.<br />118. Dan. 3:57.<br />119. Cf. John 16: 3.<br />120. Roman Missal, Secret for Mass of the Most Blessed Trinity.<br />121. John, 15:4.<br />122. Council of Trent, Sess. 13, can. 1.<br />123. Second Council of Constantinople, Anath, de trib. Capit., can. 9; compare Council of Ephesus, Anath. Cyrill, can 8. Cf. Council of Trent, Sess. 13, can. 6; Pius VI Constitution Auctorem fidei, n. 61.<br />124. Cf. Enarr in Ps. 98:9.<br />125. Apoc. 5:12, cp. 7:10.<br />126. Cf. Council of Trent, Sess. 13, c. 5 and can. 6.<br />127. In I ad Cor., 24:4.<br />128. Cf. 1 Peter, 1:19.<br />129. Matt. 11:28.<br />130. Cf. Roman Missal, Collect for Mass for the Dedication of a Church.<br />131. Roman Missal, Sequence Lauda Sion in Mass for Feast of Corpus Christi.<br />132. Luke, 18:1.<br />133. Heb. 13:15.<br />134. Cf. Acts, 2:1-15.<br />135. Ibid., 10:9.<br />136. Ibid., 3:1.<br />137. Ibid., 16:25.<br />138. Rom. 8:26.<br />139. Saint Augustine, Enarr. in Ps. 85, n. 1.<br />140. Saint Benedict, Regula Monachorum, c. 19.<br />141. Heb. 7:25.<br />142. Explicatio in Psalterium, Preface. Text as found in Migne, Parres Larini, 70:10. But some are of the opinion that part of this passage should not be attributed to Cassiodorus.<br />143. Saint Ambrose, Enarr in Ps. 1, n. 9.<br />144. Exod. 31:15.<br />145. Confessions, Book 9, c. 6.<br />146. Saint Augustine, De Civitate Dei, Book 8, c. 17.<br />147. Col.3:1-2.<br />148. Saint Augustine, Enarr. in Ps. 123, n. 2.<br />149. Heb. 13:8.<br />150. Saint Thomas, Summa Theologica IIIª, q. 49 and q. 62, art. 5.<br />151. Cf. Acts, 10:38.<br />152. Eph. 4:13.<br />153. Roman Missal, Collect for Third Mass of Several Martyrs outside Paschaltide.<br />154. Saint Bede the Venerable, Hom. subd. 70 for Feast of All Saints.<br />155. Roman Missal, Collect for Mass of Saint John Damascene.<br />156. Saint Bernard, Sermon 2 for Feast of All Saints.<br />157. Luke, 1:28.<br />158. "Salve Regina."<br />159. Saint Bernard, In Nativ. B.M.V., 7.<br />160. Heb. 10:22.<br />161. Ibid., 10:21.<br />162. Ibid., 6:19.<br />163. Cf. Code of Canon Law, Can. 125.<br />164. Cf. John, 14:2.<br />165. John, 3:8.<br />166. Cf. James, 1:17.<br />167. Eph. 1:4.<br />168. Cf. Apostolic Letter (Motu Proprio) Tra le sollecitudini, November 22, 1903.<br />169. Ps. 68:9; John, 2:17.<br />170. Supreme Sacred Congregation of the Holy Office, Decree of May 26, 1937.<br />171. Cf. Pius X, Apostolic Letter (Motu Proprio) Tra le sollectitudini.<br />172. Cf. Pius X, loc. cit.; Pius XI, Constitution Divini cultus, 2, 5.<br />173. Pius XI, Constitution Divini cultus, 9.<br />174. Saint Augustine, Serm. 336, n. 1.<br />175. Roman Missal, Preface.<br />176. Saint Ambrose, Hexameron, 3:5, 23.<br />177. Cf. Acts, 4:32.<br />178. Code of Canon Law, can. 1178.<br />179. Pius XI, Constitution Divini cultus.<br />180. Cf. Saint Augustine, Tract. 26 in John 13.<br />181. Cf. Matt. 13:24-25.<br />182. Encyclical letter Mystici Corporis.<br />183. Joel, 2:15-16.<br />184. I Thess. 5:19.<br />185. lbid., 5:21.<br />186. Heb. 13:17<br />187. 1 Cor.14:33.<br />188. Apoc. 5:13.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-60561185962688762652010-05-06T03:19:00.000-07:002010-05-06T03:21:03.194-07:00LITURGIDIES DOMINI<br />(TENTANG MENGUDUSKAN HARI TUHAN)<br /><br />Pendahuluan <br /> Hari Tuhan seperti hari minggu sudah disebut sejak zaman para Rasul. Perhitungan waktu mingguan hari minggu untuk mengenangkan kebangkitan Kristus (paskah Mingguan). Kebangkitan Yesus adalah peristiwa mendasar yang melandasi iman Kristiani. Dalam Kristus-lah jantung misteri waktu. Segala waktu dan zaman ada pada-Nya. Maka, tepatlah kata-kata homili pada abad IV bahwa “Hari Tuhan” itu “tuan hari-hari” Bangkit. <br /> Relevansi mendasar hari minggu secara tegas dinyatakan ulang oleh Konsili Vatikan II; “berdasarkan Tradisi para rasul yang berasal mula pada hari kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu pada hari yang tepat sekali disebut “Hari Tuhan” atau “Hari minggu”. Relevansi itu terlihat ketika menyetujui Penaggalan Liturgi Romawi Umum dan Norma-Norma universal yang mengatur panataan tahun Liturgi. <br /> Untuk menghindari kesalahpahaman dan pengertian hari minggu sebagai hari akhir pekan, hari libur dan akhir pekan dilihat semata-mata waktu untuk istirahat dan berlibur, maka Hari minggu perlu dipahami dengan baik dengan pendasaran-pendasaran, baik pada tradisi Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru. Inilah yang akan diuraikan dalam bab-bab selanjutnya. Paus Yohanes Paulus II mengatakan; jangan takut meluangkan waktu Anda untuk Kristus. Bukalah pintu lebar-lebar bagi Kristus, sebab kewajiban untuk menguduskan hari Minggu, khususnya ikut serta dalam ekaristi, sebab inilah jantung hidup Kristiani.<br /> <br />BAB I<br />HARI TUHAN: MERAYAKAN KATYA SANG PENCIPTA<br /><br />a. “Melalui Dia segala sesuatu dijadikan” (Yoh 1:3)<br />Hari minggu merupakan perayaan “penciptaan baru.” Artinya Yesus adalah kepenuhan alam ciptaan ini. Yesus telah diciptakan sebelum dunia dijadikan. Dunia ini, dengan segala harapan umat manusia, kini tercipta kembali melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Pernyataan yang jelas dapat dilihat dalam surat Kol 1:16 “karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi....segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.” Dalam konteks ini, ternyata rencana Allah juga mencakup misio kosmis Kristus atau disebut perspektif Kristosentris. Kristus merangkum seluruh kurun waktu dan pendangan Allah. Konsep penciptaan dunia, pada saat itulah lahirlah “Shabbat.” Shabbat dalam Perjanjian Lama mencapai kepenuhan yang definitive dalam Perjanjian Baru, sebab di sinilah Kristus masuk berkat kebangkitan-Nya (no. 8).<br />b. “pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi ( Kej 1:1).<br />Manusia dipanggil untuk menjadi rekan kerja Allah. Manusia bukan hanya sebagai penghuni dan penikmat alam ini, tetapi hendaklah manusia memancarkan cahaya agung Allah atas setiap unsur alam semesta (No.9-10).<br />c. “Shabbat” ; Istirahat Sang Pencipta yang menggembirakan.<br />Allah pada hari ketujuh “istirahat.” Kata istirahat bukan mau mengatakan bahwa Allah tidak aktif lagi setelah semuanya diciptakan atau tidak lagi menciptakan dunia, tetapi kata ini mau menunjukkan kepenuhan yang telah diselesaikan. Allah melihat segalanya baik sekali (bdk. Kej 1:13) dan Allah gembira melihat alam ciptaan-Nya ini. Kegembiraan bukanlah pada hal-hal yang baru, tetapi pada apa yang telah tercapai, secara istimewa manusia sebagai mahkota penciptaan. Hubungan istimewa Allah dan manusia secara konkret tampak dalam diri bangsa Israel. Allah menawarkan keselamatan kepada seluruh umat manusia yang diwakili oleh bangsa Israel sebagai bangsa terpilih. Keselamatan itu terpenuhi dalam diri Yesus. <br />Oleh karena itu, bila dihubungkan dengan perintah “shabbat” ternyata shabbat bukan hanya “istirahat Allah” seusai hari-hari penciptaan, tetapi juga keselamatan yang diberikan kepada orang Israel khususnya dalam pembebasan dari perbudakan Mesir (bdk. Ul 5:12-15). Allah yang beristirahat dan bergembira atas penciptaan-Nya adalah Allah itu sendiri yang mewahyukan kemuliaan-Nya dalam pembebasan anak-anak-Nya. Jadi, shabbat sebagai hari istirahat Allah itu, dapat dianalogikan seperti hubungan antara suami dan istri. Allah mempelai pria yang menghadapi mempelai wanita (No.11-12).<br />Bagian ini merupakan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang sebelumnya. Hari minggu adalah hari istirahat, sebab itu “diberkati” oleh Allah dan “dikuduskan” oleh-Nya. Hari minggu adalah hari Tuhan. Frasa “menguduskan” sabat hanya dapat dipahami dalam kerangka bahwa seluruh alam ciptaan harus dikembalikan kepada Allah. Waktu dan ruang adalah milik Allah. Allah bukan hanya untuk sehari, tetapi Allah segala hari umat manusia. Jadi, kata “menguduskan” dipahami dalam dinamika dialog mengenai Perjanjian antara Allah dan manusia. Dialog itu adalah dialog cinta kasih seperti cinta kasih suami-isteri dalam pernikahan.<br />d. Allah memberikan hari ketujuh dan menguduskannya (Kej 2:3)<br />Hidup manusia dari setiap waktu harus menjadi pujian dan syukur kepada sang pencipta. Oleh karena itu, hari Tuhan adalah hari di mana manusia membangun hubungan yang istimewa dengan Allah dan menamkan rasa syukur pada Allah. Selain itu, hari minggu adalah hari istirahat. Dalam kerangka ini, maka Shabat sebagai penyadaran bahwa manusia adalah rekan kerja Sang Pencipta (No.13-15). <br />e. “Menguduskan” dengan “mengenangkan”<br />Dasar Biblis hari sabat sebagai hari yang menguduskan adalah (Kej 20:8) “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat.” Allah yang memberkati dan menguduskanya. Ini dideklamasikan dalam dekalog yang berisi perintah, maka manusia pun dipanggil untuk beristirahat. Hubungan istirahat pada hari sabat dan tema “menguduskan” terletak pada karya Allah yang membebaskan bangsa israel dari perbudakan Mesir. Kata “munguduskan dan mengenangkan” dirangkum dalam satu visi teologis yakni “hari Tuhan” (No. 16-17 ).<br />f. Dari hari Sabat beralih ke hari Minggu<br />Sabat dalam Perjanjian Lama dikaitkan dengan karya penyelamatan Allah atas umat Israel. Kini shabbat mempunyai makna baru di mana dalam Kristus, shabbat diwujudkan sepenunhya. Shabbat sejati adalah pribadi Penebus kita, Tuhan Yesus Kristus, kata St. Gregorius Agung. Misteri paskah Kristus adalah perwahyuan penuh misteri asal mula dunia, puncak sejarah keselamatan dan diantisipasi pemenuhannya pada akhir zaman. Dalam misteri paskahlah kita memahami secara baru hari sabat di mana anak-anak Allah mencapai kebebasannya sebagai anak-anak Allah yang sejati. Jadi, dalam hal inilah makna perintah pada Perjanjian Lama mengenai hari Tuhan ditemukan ulang dan disempurnakan serta diwahyukan dalam kemuliaan yang bersinar dalam wajah Kristus. Sabat menjadi hari pertama sesudah sabat, dari hari ketujuh menjadi hari pertama (Dies Domini)—Dies Christi (hari Kristus) ( No.18).<br /><br />BAB II<br />HARI TUHAN: HARI TUHAN YANG BANGKIT DAN KURNIA ROH KUDUS<br /><br />a. Paskah mingguan<br /> Paus Innosencius pada awal abad V mengatakan bahwa: kita merayakan hari minggu, karena kebangkitan yang mulia Tuhan kita Yesus Kristus, dan kita rayakannya tidak hanya pada hari raya Paskah, tetapi juga setiap hari minggu. St. Basilius berbicara tentang ”hari minggu Kudus, dihormati oleh Kebangkitan Tuhan, buah-buah pertama di antara semua hari-hari lainya.” St. Agustinus menyebutkan bahwa hari minggu sebagai “sakramen paskah.” Dalam tradisi gereja Timur setiap hari minggu adalah “anastaseos hemera”—hari kebangkitan. Hari Tuhan tidak hanya berakar pada karya penciptaan, misteri istirahat Allah, tetapi juga harus dipandang dari sudut kebangkitan Kristus. Hari Tuhan adalah paskah mingguan. Kebangkitan Kristus menjadi nyata dalam pengalaman perjumpaan para murid dengan Yesus, pada saat Yesus menampakan diri-Nya kepada murid-murid-Nya dan dalam pewartaan para rasul. Kebangkitan itu pada hari pertama sesudah hari sabat” (Mrk 16:2,9; Luk 24:1; Yoh 20:1) No.19.<br />Hari pertama minggu. Hari minggu yakni hari pertama sesudah sabat ternyata membentuk irama hidup para murid, rasul, “untuk memecahkan roti” seperti di Troas. Kita Wahyu menyebut hari pertama itu adalah “hari Tuhan.” Jadi, bila umat kristen berbicara tentang “hari Tuhan” itu merujuk pada “pewartaan paskah: Yesus Kristus Tuhan.” Hidup umat kristen awali berkaitan dengan irama pelaksanaan hari minggu dan segala yang berkaitan dengan ibadat bersama tidak merupakan bagian yang dihidupi oleh orang-orang di mana injil diawartakan, penanggalan hari raya menurut kalender Yunani dan Romawi tidak bertepatan dengan hari minggu Kristus orang Kristen, maka pelaksanaan hari Tuhan tidak tetap. Alasan mengapa umat kristen berkumpul sebelum matahari terbenam? Karena didasarkan pada Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Para Bapa gereja mendasari tulisan mereka tentang misteri paskah pada Kitab Suci yang sama. Dalam konteks inilah hari Kebangkitan Kristus mempunyai nilai doktrinal dan simbolis serta mengungkapkan seluruh misteri umat Kristiani dalam konteks yang baru (No.21-22).<br />b. Perbedaan hari sabat dan hari minggu. <br />Hari minggu lebih unggul daripada hari sabat Yahudi. Keunggulan hari minggu terletak pada hal ini bahwa Umat Yahudi berkumpul di Sinagoga pada hari sabat karena diharuskan oleh hukum, sedangkan umat kristen berkumpul pada hari minggu karena Kristus. Inilah yang ditekankan dalam katekese abad-abad pertama. St. Ignatius dari Antiokia mengatakan: “ kalau mereka yang sedang hidup dalam keadaan hal-hal sebelum ini, telah mempunyai harapan yang baru, tidak lagi mematuhi hari sabat, tetapi menguduskan hari Tuhan, hari hidup kita telah nampak melalui Dia beserta wafat-Nya...misteri itu yang daripadanya telah kita terima iman kita dan kita tetap bertahan supaya dinilai sebagai murid-murid Kristus satu-satunya guru kita, lalu bagaimana kita dapat hidup tanpa Dia, mengingat bahwa nabi-nabi pun sebagai murid-Nya dalam Roh, mendambakan Dia sebagai guru? St. Agustinus menambahkan bahwa “oleh karena itu Tuhan pun telah menaruh meterai-Nya pada hari-Nya yakni hari yang ketiga sesudah sengsara-Nya, tetapi dalam lingkaran mingguan, hari kedelapan sesudah hari ketujuh, yakni seusai hari sabat dan hari pertama minggu itu.” (No. 23).<br />c. Hari penciptaan baru. <br />Hari minggu kristiani dikaitkan dengan pandangan sabat dalam Perjanjian Lama, secara khusus hubungan kebangkitan Kristus dengan penciptaan. Kebangkitan sebagai awal penciptaan baru yang terwujud dalam diri Yesus Kristus sebagai buah pertama dari segala ciptaan dan yang pertama bangkit dari antara orang mati (Kol 1:15,18). Pembaptisan yang diterima membuat kita harus mati bagi diri sendiri dan hidup bagi Allah. Dengan pembaptisan kita membuang manusia lama dan mengenakan manusia baru. Oleh karena itu, baptisan sesunggunya merupakan anugerah keselamatan karena dalam pembaptisan kita dikuburkan bersama Kristus dan mengalami kebangkitan bersama Dia pula. Dimensi pembaptisan digarisbawahi dalam hari minggu pada Paskah (No. 24-25)<br />Hari yang kedelapan: citra keabadian. Hari minggu bukan hanya disebut hari pertama, tetapi juga disebut “hari ke depan.” Suatu hari yang unik dan transenden yang bukan hanya mencakup awal mula kurun waktu, tetapi juga “zaman yang akan datang. St. Basilius mengatakan bahwa hari minggu melambangkan hari yang sungguh istimewa, yang nyata sekarang dan tanpa akhir sepanjang zaman. Oleh karena itu, hari minggu menyatakan hidup tanpa akhir dan terkandung dalamnya harapan umat kristiani. Harapan hidup eskatologis, yang sudah dimulai sekarang dan mencapai kepenuhannya pada akhir zaman. Atau oleh St. Agustinus disebut Eschaton, di mana ada damai, sabat, ketenangan, yang pertama maupun yang kedelapan (No.26).<br />d. Hari Kristus—Terang. <br />Konsep hari minggu sebagai hari Kristus Terang, bertitik tolak dari pandangan orang Romawi, di mana mereka menyembah dewa matahari. Praktik ini sangat berkembang dalam kalangan orang kafir. Konsep ini kemudian dikristenisasi sebagai “hari Sang Surya.” Sang Surya itu adalah Kristus sendiri. Untuk menghindari konsep yang keliru mengenai hari minggu, sebagaimana dijalankan oleh orang Kafir, di mana mereka berkumpul pada hari-hari yang disebut menurut matahari, St. Agustinus memberikan makna baru mengenai perayaan orang Kafir itu dan berlandaskan Injil. Hari minggu adalah hari untuk mengenangkan kebangkitan Kristus. Kristus adalah Sang Surya sejati yang cahayanya tidak pernah padam dan mati (No.27 )<br />e. Hari Karunia Roh Kudus. <br />Hari minggu juga merupakan hari pencurahan Roh Kudus atau disebut “api” roh dan berhubungan dengan terang Kristus. Dua lambang ini (api dan roh) mempunyai makna terhadap hari minggu. Pencurahan Roh Kudus secara khusus terjadi pada malam Paskah dan Pentakosta kepada para murid-Nya. Pentakosta pertama bukan hanya peristiwa didirikannya gereja, tetapi juga misteri yang terus-menerus memberikan hidup kepada gereja. Jadi, paskah Mingguan dalam arti tertentu merupakan “pentakosta mingguan” di mana umat Allah yang berkumpul menerima Roh-nya (No. 28). <br />f. Hari Iman. <br />Hari minggu adalah hari iman yang paling luhur karena pada saat itulah kita menerima kekuatan Roh Kudus. Dikatakan sebagai hari iman karena umat beriman yang merayakan ekaristi pada hari minggu bersama-sama mengucapkan syahadap iman. Syahadat menyatakan ciri pembaptisan dan paskah (No.29-30).<br /><br /><br />BAB III<br />HARI GEREJA;JEMAAT EKARISRTI; JANTUNG HARI MINGGU<br /><br />a. Kehadiran Tuhan yang Bangkit<br />Hari minggu bukan hanya kenangan akan peristiwa masa lalu, tetapi perayaan kehadiran Tuhan yang bangkit di tengah umat saat ini. Kehadiran Tuhan yang bangkit tidak cukup dikenangkan secara peribadi dalam doa-doa pribadi, tetapi mesti dihayati secara komunal, karena di sinilah akan diungkapkan jati diri sepenuhnya gereja sebagai jemaat yang dipanggil bersama oleh Tuhan yang bangkit “satu dalam Tuhan” (No.31).<br />Ekaristi bukan hanya kenyataan hidup gereja, tetapi juga santapan untuk membentuk gereja. Dimensi gerejawi yang intrinsik dinyatakan dalam ekaristi, sehingga jemaat yang berkumpul untuk merayakan ekaristi adalah jemaat ekaristi karena di sinilah umat Kristen secara istimewa mengenangkan kebangkitan Yesus (No.32-33).<br />Ekaristis hari minggu. Ekaristi hari minggu tidak berbeda dengan ekaristi hari-hari lain. Ekaristis adalah penampakan gereja dan ini dinyatakan lewat keikutsertaan umat untu mengambil bagian secara utuh dan penuh serta aktif dalam perayaan ekaristis bersama. Jadi, ekaristi hari minggu sungguh mengungkapkan dimensi gerejawi dan di sana gereja dihadirkan secara konkret (No. 34). <br />b. Hari gereja<br />Dies domini sekaligus Dies ecclesiae. Artinya gereja (jemaat) yang menghadirkan dan mengenangkan Kristus. Karya pastoral sungguh menekankan aspek jemaat perayaan hari minggu. Jemaat yang merayakan ekaristi pada hari minggu merupakan “sacramentum unitatis” (sakramen kesatuan) yang didasarkan pada kesatuan Bapa, Puetra dan Roh Kudus. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk tidak melayani perayaan ekaristi untuk kelompok-kelompok tertentu dalam tempat tertentu pula (No.35-36).<br />Umat peziarah. Gereja yang adalah umat Allah yang merayakan kebangkitan Kristus merupakan gereja yang berziarah menuju kehidupan eskatologis. Hal ini terungkap dalam ekaristi, di mana dalam ekaristis kita juga mengantisipasi perjamuan bersama Tuhan pada akhir zaman. Gereja sebagai mempelai wanita dalam arti tertentu juga mengantisipasi kehidupan eskatologis (No. 37).<br /><br />Hari harapan. Hari minggu adalah hari harapan kristiani. Dengan mengikutsertakan dalam ekaristi, kita mengantisipasi pesta zaman terkahir “pernikahan Anak Domba” (Why 19:9). Umat yang mengenangkan dan merayakan kebangkitan dan kenaikan Yesus, juga menanti dengan penuh harapan akan kedatangan kedua Yesus (No. 38).<br />Santapan Sabda. Ekaristi hari minggu merupakan santapan sabda dan roti hidup. Baik liturgi ekaristi maupun liturgi sabda sama-sama merupakan satu tindakan ibadat. Ada dua aspek yang dikatakan di sini yakni perayaan dan penerapan secara pribadi. Pada nomor-nomor ini yang dianjurkan adalah soal penerapan praktis bagaimana mempersiapkan umat dan memberikan pemahaman kepada mereka mengenai ekaristi, bagaimana membawakan dan mewartakan sabda Allah dengan baik sehingga sabda Allah sungguh menjadi santapan bagi semua orang yeng mengambil bagian dalam perayaan ekaristi (No.39-41). <br />Santapan Tubuh Kristus. Hari minggu merupakan hari bersyukur dan sambil memuliakan Dia melaui, bersama, dalam Kristus, dalam kesatuan dengan Roh Kudus. Dalam ekaristi bukan hanya santapan sabda tetapi juga santapan tubuh dan darah Kristus. Kristus dihadirkan kembali secara nyata dalam rupa roti dan anggur. Karena itu, syukur dalam ekaristi merupakan suatu gerak ”naik” ke hadapan Allah. Dalam ekaristi kita mengenangkan korban salib. Korban Kristus ini menjadi korban bagi anggota tubuh-Nya (No. 42-43)<br />c. Perjamuan Paskah dan himpunan persaudaraan<br />Ciri kejemaatan ekaristi tampil secara khas bila dipandang sebagai perjamuan Paskah, tempat Kristus sendiri menjadi santapan kita. Kristus mempercayakan korban ini kepada gereja agara melalui gereja umat berkumpul sebagai satu saudara. Persatuan dengan sesama merupakan perwujudan konkret persatuan kita dengan Kristus. Melalui ekaristi kita semakin bersatu dengan Yesus yang telah mengorbankan diri-Nya kepada kita (No. 44a).<br />Dari Misa ke “misi.” Perayaan ekaristis bermuara pada tindakan konkret yakni mewartakan Kristus kepada segala bangsa. Mewartakan Kristus adalah misi kita agar kerajaan Allah semakin disebarluaskan kepada segala bangsa. Umat Allah harus keluar dari senakel dan senakel yang baru adalah orang-orang yang kepadanya injil diberitakan (No. 45).<br />Kewajiban hari minggu. Ekaristi merupakan jantung hari minggu. Karena itu merupakan kewajiban bagi setiap uamt kristen untuk berkumpul dan merayakan ekaristi pada hari minggu (No. 46-49).<br />d. Perayaan gembira disertai nyanyian.<br />Pada point-point ini dokumen ini berbicara mengenai hal-hal praktis. Hal praktis itu antara perayaan yang disertai nyanyian yang meriah dalam perayaan. Nyanyian adalah cara yang khas untuk mengungkapkan hati yang gembira, cita rasa iman bersama dan saling cinta kasih (no 50). Selain itu, perayaan ekaristi juga melibatkan baik orang tua maupun anak-anak. Dengan kata lain, tidak ada pengecualian dalam perayaan ekaristi, sebab semua telah menerima imamat umum melalui pembaptisan “mereka ikut serta dalam persembahan ekaristi” (no 51). Pada no. 53 berbicara mengenai pelaksanaan ekaristi tanpa imam. Dianjurkan agar sedapat mungkin umat tetap menjalankan ibadat meskipun imam tidak ada dan jikalau umat yang sakit tidak dapat mengikuti perayaan ekaristis dapat menggunakan sarana seperti radio atau tv. Umat yang demikian dapat menerima tubuh dan darah Kristus. Ia tetap menjadi bagian dari saudara-saudara yang mengikuti langsung perayaan ekaristi ( no. 54).<br /><br />BAB IV<br />HARI MANUSIA; HARI MINGGU; HARI KEGEMBIRAAN, ISTIRAHAT DAN SOLIDARITAS<br /><br />A. Hari minggu sebagai hari kegembiraan penuh Kristus (no. 55-58)<br />Hari minggu merupakan hari kegembiraan penuh Tuhan yang bangkit. Tertulian mengatakan bahwa pada hari pertama dalam mingguan, hendaklah anda semua bergembira, desak “dedaskalian.” Alasan hari minggu sebagai hari gembira karena pada hari ini kita merayakan kebangkitan Yesus Kristus. Kebangkita Yesus inilah kegembiraan penuh umat manusia. Jadi, hari minggu bukan hanya hari istirahat, tetapi juga hari penuh kegembiraan dalam Kristus (no.55).<br />Meskipun bentuk-bentuk perayaan hari minggu selalu berubah-ubah, tetapi gema hari minggu yang ditandai oleh perjumpaan dengan Tuhan yang bangkit selalu ditandai dengan kegembiraan. Kegembiraan merupakan salah satu corak dari ekaristi yang disalurkan kepada gereja melalui Roh Kudus sehingga kegembiraan adalah buah dari Roh Kudus(no. 56).<br />Hari minggu sebagai hari Tuhan yang bangkit, merayakan karya penciptaan Allah dan penciptaan baru. Di sinilah kita akan menemukan nilai unggul dan ulung serta mendasar bagaimana ekaristi sebagai ungkapan kegembiraan. Kegembiraan bukah soal puas, kenikmatan dangkal, tetapi hati yang tak dapat terpenuhi dan bahkan pahit. Meskipun demikian, tidak dimaksudkan bahwa kegembiraan kristiani dan kegembiraan manusiawi bertentangan karena semuanya ini didasarkan pada kegembiraan, yang dimuliakan, citra dan perwahyuan manusia yang sempurna.<br />Paus paulus VI mengatakan bahwa “pada hakekatnya kegembiraan kristiani adalah saling berbagi dalam kegembiraan yang tak terduga, sekaligus Ilahi dan insani, terdapat dalma hati Kristus yang dimuliakan. Ekaristi sebagai perjamuan cinta kasih Allah dan manusia merupakan tanda dan sumber kegembiraan kristiani, suatu tahap dalam perjalanan menuju pesta yang kekal. Maka hari minggu adalah “waktu yang sesungguhnya untuk perayaan”, hari yang dikaruniakan oleh Allah kepada manusia. (no. 58).<br />Hari minggu merupakan pemenuhan hari sabat. Dalam Perjanjian Lama seperti peristiwa exodus, karya penciptaan mendapat pemenuhannya dalam Perjanjian Baru yang terlaksana dalam misteri Paskah Kristus. Perayaan penciptaan dalam Perjanjian Lama tidak dihapuskan, tetapi ini mendapat perspektif baru yakni Kristosentris. Kenangan pembuangan Israel mempunyai makna baru dan penuh dalam Perjanjian Baru di mana melaui sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus dimensis pembebasan yang dibawa Yesus sifatnya Universal. Jadi hari minggu merupakan pemenuhan hari sabat dalam arti tertentu merupakan perluasan sejarah keselamatan yang mencapai puncaknya dalam Yesus Kristus (no. 59).<br />Jadi, dalam konteks itulah sabat menemukan makna teologis. Makna teologis, di mana kita menaruh hormat terhadap misteri awal mula, sabda kekal Allah, karya penciptaan. Karya penciptaan dimeterai dalam pengudusan di mana Allah beristirahat, (no. 60). Dengan menciptakan manusia, dimana manusia digambarkan sebagai “citra keserupaan-Nya” shabbat menutup karya penciptaan. Hubungan itu dapat digambarkan seperti “hari Tuhan dan hari manusia”, maka sabat adalah hari yang menguduskan, hari istirahat. Hari istirahat yang ditetapkan oleh Allah untuk menghormati hari yang dibaktikan kepada Allah. Dengan menghormati hari yang dibaktikan kepada Allah, manusaia menemukan diri sepenuhnya dengan-Nya. Dengan demikian, hari Tuhan membawa materai berkat Allah yang mendalam (no. 61).<br />No. 62. Dalam Kitab Ulangan 5:12-15, di sana terungkap suatu relasi antara sabat dan pembebasan yang dilakukan oleh Allah terhadap bangsa Israel. Jadi, sabat meskipun diganti dengan hari minggu, namun tetaplah untuk menguduskan sabat.<br />Kristus datang untuk melakukan Exodus baru melalu mujiksat yang dilakukan oleh Yesus. Mukjisat yang dilakukan oleh Yesus seringkali bertentangan dengan hukum yang berlaku. Oleh karen itu, sabat mendapat pemaknaan yang baru di mana Yesus adalah “Tuhan atas hari Sabat.” Dari sinilah umat kristiani dipanggil untuk memwartakan Yesus sang pembebas sejati. Pembebasan yang dilakukan oleh Yesus, sungguh-sungguh luar bisa dengan mati di kayu salib dan darah-Nya membebaskan semua orang. Oleh karena itu, sabat mendapat makna baru yakni kebangkitan. (no.63).<br /><br />b. Hari minggu sebagai hari Hari istirahat (64-68)<br />Hari minggu adalah hari istirahat. Inilah yang sangat ditekankan dalam no 64. Manusia telah bekerja selama enam hari, maka hari ketujuh yakni hari minggu sungguh-sungguh hari istirahat, dengan membaktikan diri dalam doa bersama. <br /> Hubungan antara hari Tuhan dan hari istirahat. Keduanya tidak bertentangan. Keduanya mempunyai hubungan di mana hari istirahat itu merupakan bagian yang dilakukan oleh Allah dalam kisah penciptaan. Kerja dan istirahat adalah kodrat manusiawi manusia. Kata istirahat mempunyai makna yang sakral, sebab pada hari itu orang mengudurkan diri dengan melepaskan hal-hal yang bersifat duniawi, sebab segala sesuatu adalah karya Allah. Namun, ada bahaya di era sekarang bahwa umat lupa pada Allah dan orang sangat tergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi. (no.65)<br /> Ketidakadilan, pemerasan dan kondisi kerja para buruh teryanta ini semua dikaitkan dengan “kerja” yang dipandang telah menindas manusia. Gereja sungguh memperhatikan ini dengan menyusun hukum-hukum mengenai istirahat pada hari minggu (no.66). Di sinilah gereja menanamkan sikap solidaritas terhadap nasib sesama.<br /> Istirahat pada hari minggu menemukan pokok-pokok yang baru; dari hal-hal materil dengan nilai-nilai rohani di mana orang akan menikmati damai dengan Allah, sesama dan alam sekitar. Dengan kata lain, hari minggu harus ada keseimbangan antara kerja dan doa. Oleh karena itu, adalah kewajiban umat manusia untuk menguduskan hari minggu dengan mengambil bagian dalam perayaan ekaristi (no.67). Dengan mengambil bagian dalam perayaan ekaristi, maka istirahat pada hari minggu menjadi “kenabian” dengan meneguhkan bukan hanya bahwa Allah mutlak berada di atas segala-galanya, tetapi juga prioritas dan martabat pribadi manusia dalam sikap menghormati tuntutan-tuntutan hidup sosial dan ekonomi dan dalam arti tertentu merupakan antisipasi akan “bumi baru” dan “langit baru” (no.68).<br /> c. Hari minggu sebagai hari Hari solidaritas (no. 69-73)<br />Perayaan ekaristi ternyata menuntut agar bermuara pada karya konkret. Umat beriman dipanggil untuk mewujudkan cinta kasih Allah dalam kehidupan nyata. Jadi, hari minggu bukan hanya membebaskan manusia dari tugas-tugas untuk mewartaan cinta kasih Allah, tetapi lebih untuk mendorong mereka untuk menjalankan semua amal cinta kasih, kesalehan dan kerasulan. (no. 69).<br /> Hari minggu sebagai hari solider, memiliki dasar yang kuat dalam kehidupan para rasul perdana. Mereka bukan hanya berkumpul pada hari minggu, tetapi juga memberikan derma kepada orang miskin. (no.70). Ajaran para rasul tetap digemakan oleh bapa-bapa gereja. Bapa-bapa gereja kadang sangat kejam dan kasar menyampaikan sesuatu kepada umat, terutama bagi yang kaya. <br />Ekaristi adalah medan yang paling baik untuk mengembangkan sikap persaudaraan (no.71). Ekaristi peristiwa dan program persaudaraan yang sejati, jikalau hari minggu sebagai hari gembira, maka umat harus nyatakan itu dalam hidup konkret dan dari perayaan hari minggulah mengalir cinta kasih kepada sesama (no.72). Jikalau ini sungguh dipraktikan, maka bukan hanya ekaristi hari minggu, tetapi seluruh hari minggu menjadi sekolah agung cinta kasih, keadilan dan damai. Kehadiran Tuhan yang bangkit, sesungguhnya Dia sendiri mengusahakan solidaritas, kekuatan, inspirator (no 73). <br /><br />BAB V<br />HARI DI ANTARA HARI-HARI; HARI MINGGU, PESTA PRIMORDIAL, MEWAHYUKAN MAKNA WAKTU.<br /><br />a. Kristus Alfa dan omega waktu<br /><br /> Kristianitas waktu mempunyai relevansi yang mendasar. Dalam dimensi waktu dunia diciptakan. Di dalamnya berkembanglah sejarah keselamatan, sambil menemukan puncaknya dalam kepenuhan waktu, penjelmaan Sang Sabda Allah dan kembalinya Sang Putera dalam kemuliaan-Nya pada akhir zaman. Dalam Yesus, waktu menjadi dimensi Allah yang Dia sendiri bersifat kekal abadi. Yesus adalah pusat waktu (no. 74).<br /> Hari minggu adalah paskah mingguan, mengenangkan dan menghadirkan Kristus yang bangkit. Maka, hari minggu Kristiani bersumber pada kebangkitan Kristus, dan melampui waktu manusiawi manusia. Konsep hari minggu sebelumnya adalah hari terkahir, hari “parousia” yang sudah diantisipasi oleh kemuliaan Kristus pada peristiwa kabangkitan Kristus. Sesungguhnya akhir Zaman sudah dimulai sekarang, dan tidak lebih dari perluasan dan perkembangan apa yang terjadi hari ketika Yesus bangkit dari alam maut oleh Roh. Manusia tidak perlu menantikan waktu keselamatan lain, karena sesungguhnya dalam dunia yang sedang berlangsung ini, mereka hidip dalam zaman akhir. Jadi, menguduskan hari minggu adalah kesaksian penting dan mereka dipanggil untuk mengemban itu, sehingga setiap sejarah manusiawi akan tetap ditopang oleh harapan (no. 75)<br />b. Hari minggu sebagai hari istirahat (no. 64-68)<br /> Hari Tuhan berakar dalam tradisi Gereja yang paling kuno. Namun, kemudian perayaan hari minggu berdasarkan lingkaran Tahun Liturgi. Lingkaran tahun liturgi itu antara lain hari-hari raya tahunan Paskah Yahudi, Pentakosta. Sejak abad II, perayaan paskah tahunan dirayakan dalam paskah mingguan. Hari raya Paskah erat kaitan dengan hari raya Pentakosta di mana kita menantikan kedatangan Roh Kudus (no.76).<br /> Oleh karen itu, Konsili Vatikan II mengingatkan agar Gereja hendaknya memaparkan selama kurun waktu setahun” seluruh misteri Kristus,” dari Penjelmaan serta kelahiran-Nya hingga kenaikan-Nya, sampai Pentakosta dan sampai penantian kedatangan Tuhan yang bahagia dan penuh harapan. Sesudah Perayaan Paskah dan Pentakosta umat merayakan pesta kelahiran Tuhan (no. 77)<br /> Selian itu, dalam lingkaran tahun liturgi gereja juga memberikan penghormatan secara khusus kepada Bunda Maria yang terlibat dalam karya penyelamatan Puteranya, juga mengenangkan para kudus, martir. Paulinus dari Nola mengatakan “segala sesuatu lewat, tetapi kemuliaan para kudus tetap berlangsung dalam Kristus yang membaharui segala sesuatu, sementara Ia sendiri tetap tidak berubah.” (no.78). Oleh karena itu, hari minggu muncul sebagai pola untuk memahami dan merayakan hari-hari raya Tahun Liturgi yang begitu bernilai bagi hidup kristiani, sehingga Gereja telah memilih untuk menekankan relevansinya, misalnya kondisi sosial ekonomi, perayaan hari-hari raya yang tidak bertepatan dengan hari minggu dan sebagainya (no. 79). Bukan hanya itu, memperhatikan konteks pastoral yang khas sesuai dengan konteks. Misalnya budaya dan tradisi. Oleh karena itu, katekese liturgi penting agar umat tidak mencampuradukan antara unsur-unsur asing dengan iman kristiani (no. 80).<br /><br />PENUTUP<br /><br /> Hari minggu ternyata mempunyai kekayaan rohani yang dalam. Dari ulasan di atas itu sangat jelas. Dengan memahami konsep hari Tuhan sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, kita dengan mudah menemukan relevansi pelaksanaannya dalam kehidupan bersama. Ekaristi adalah realisasi penuh ibadat, yang sudah selayaknya oleh umat manusia dipersembahkan kepada Allah dan itu tidak dapat dibandingkan dengan pengalaman religius lainya. Oleh karena itu, dengan didasari kesadaran yang mendalam pelaksanaan menguduskan hari minggu juga memperhatikan kebudayaan terntentu, sehingga nilai Injili dapat diterima dengan baik.<br /> Hari minggu hendaknya menjadi jiwa hari-hari lain hidup kita. Origenes mengatakan “orang kristiani yang sempurna selalu berada pada hari Tuhan dan selalu merayakan hari Minggu.” Namun, komunitas “Diaspora” mengalami kesulitan dan ujian karena para murid Yesus tercerai berai. Oleh karena itu, persauadaraan yang dialami dalam perayaan hari minggu sungguh-sungguh bantuan untuk mempersatukan umat.<br /> Hari minggu menjadi kesaksian dan pewartaan. Melaui persekutuan dan kegembiraan umat memantukan daya kekuatan kepada dunia. Melalui pewartaan bahwa waktu dan saat Dia yang tampil dalam sejarah bukanlah ilusi belaka, melainkan tempat lahirnya masa depan yang selalu baru, sehingga bersama Kristus kita dapat berseru” Maranatha” datanglah yang Tuhan.<br /> Sambil mengejar tujuan, gereja ditopang oleh Roh. Roh itulah yang menghidupkan dan membangun setiap anggota dalam gereja dan memenuhi hati mereka dengan cinta kasih. Roh itu juga yang akan membaharui gereja. Akhirnya, gereja juga mengakui bahwa Maria sebagai pengantara harus diterima, karena Maria juga hadir pada hari Minggu Gereja. Misteri Kristus sendirilah yang meminta ini; sungguh, bagaimana dia yakni “Mater Dei, Bunda Allah dan “Mater Ecclesiae”, Bunda Gereja, tidak dapat hadir secara istimewa pada hari yang sekaligus “dies Domini” hari Tuhan, dan sekaligus “dies Ecclesiae (hari Gereja).fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-48278446443760616712010-05-06T03:16:00.000-07:002010-05-06T03:19:05.475-07:00FILSAFAT BUDAYAMEMAJUKAN KEBUDAYAAN LOKAL DALAM <br />SEMANGAT OTONOMI DAERAH<br /><br /><br /><br />OLEH FABIANUS SELATANG<br /><br />Abstraksi<br /><br />Pelaksanaan otonomi daerah adalah angin segar bagi masyarakat. Itu berarti segalanya ada di tangan pemerintah daerah. Otomoni daerah, saat untuk berkreasi dan meningkatkan apa yang menjadi kekayaan daerah. Salah satu kekayaan daerah adalah kebudayaan lokal, yang kerap dilupakan dan sembunyi dibalik kebijakan pemerintah negara. Maka dalam semangat otonomi daerah kebudayaan lokal diapreasikan dalam kazanah bangsa.<br /><br />1. Pengantar<br /><br />Negara dan Budaya adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Dalam konteks kehidupan bangsa indonesia, sesungguhnya keanekaragaman budaya menunjukkan bahwa indonesia satu sisi kaya akan budaya, tetapi di lain sisi dengan keanekaragaman budaya menunjukkan identitas atau jadi diri bangsa. Dengan kata lain, indonesia dikenal sebagai negara multikultural.<br /> Kebudayaan atau budaya selalu diartikan sebagai hal yang berkaitan dengan akal dan budi. Berbicara soal akal dan budi berarti kita berada dalam ranah pembicaraan mengenai manusia. Budaya tidak dapat dipisahkan dengan manusia. Alasannya, karena semua aspek dalam kehidupan manusia dapat dikatakan sebagai perwujudan dari budaya, misalnya gagasan atau pikiran manusia, aktivitas manusia, atau karya yang dihasilkan manusia. Jadi, Kebudayaan selalu dipandang sebagai sesuatu yang khas manusia (baik karena ia manusiawi, maupun karena ia memanusiawikan), sebab itu selalu dihubungkan dengan keindahan, kebaikan atau keluhuran. <br />Dalam konteks otonomi daerah di mana yang menggerakan adalah manusia artinya orang-orang yang memegang tampuk pemerintah daerah, maka pribadi-pribadi inilah yang memungkinkan budaya ini dapat memberikan identitas manusia suatu daerah. Budaya dapat memanusiawikan manusia. Artinya nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal adalah nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai yang dapat menjadi patokan hidup, pedoman, pendorong semangat, spirit untuk memajukan kebaikan bersama. Semua nilai yang disebutkan ini merupakan salah satu sisi pembanguan non-fisik suatu daerah. Sisi inilah yang menjadi perhatian penulis dalam tulisan ini, dengan memberi judul: “Membangun Budaya Lokal dalam Semangat otonomi Daerah.” <br /><br />2. Pengertian kebudayaan lokal<br /><br /> Sebelum mendefiniskan kebudayaan lokal, pertama-tama penulis mendefiniskan tentang kebudayaan atau budaya secara umum. Di bawah ini, penulis akan menguraikan beberapa pengertian mengenai kebudayaan. “Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.” Kata kunci dalam pengertian ini adalah akal dan budi. Kebudayaan yang dikonsepkan di sini hanya berada pada tataran rasio, sekaligus pada saat yang sama menyentuh eksistensi terdalam manusia. Oleh karena kebudayaan bersentuhan dengan manusia, maka kita dapat memahami bahwa peran pemerintah dalam suatu daerah dengan segala kebijakan di dalamnya memungkinkan kebudayaan lokal semakin memberikan ruang untuk selalu diapresiasikan dalam kancah hidup berbangsa dan bernegara serta dapat menjadi kekayaan daerah itu sendiri.<br /> Dengan adanya otonomi daerah, setiap daerah dapat memajukan kebudayaan daerah masing-masing. Kebudayaan lokal/daerah tidak ada dengan sendirinya dan muncul begitu saja. Kebudayaan daerah/lokal lahir melalui suatu proses yang panjang dan ia berevolusi bersama sejarah manusia. Proses evolusi budaya bersama manusia, kemudian hal itu melekat dalam diri manusia. Hal yang melekat dalam diri manusia itu, ternyata tidak hanya berfungsi sebatas menagatur tingkahlaku hidup manusia antar pemerintah dan rakyat secara struktural, pola relasinya sesama dengan sesama dan sebagainya, melainkan juga sungguh-sungguh menjadi bagian intergral yang membentuk kehidupan manusia itu sendiri sebagai manusia yang mempunyai peradaan sejarah. Jadi, fungsi kebudayaan/budaya lebih hanya sekedar struktur sosial, tetapi membangun manusia untuk semakin manusiawi.<br />Kebudayaan itu adalah pengalaman universal dari manusia, bersifat stabil, tetapi juga dianamik dan mengisi kehidupan manusia.” Ada tiga hal yang disoroti dalam pengertian budaya di atas. Pertama; Sebagai pengalaman universal, maka budaya akhirnya bukan hanya milik pribadi-pribadi, melainkan milik bersama yang “ber-sejarah.” Pada poin ini sebenarnya ada satu hal yang mau dikatakan bahwa ternyata kebudayaan melampui apa yang dikonsepkan dan dipahami oleh pribdai-pribadi. Atau dengan kata lain, di sini terlihat delokalitas konsep pribadi mengenai kebudayaan. Kedua; kebudayaan bersifat stabil. Ketika kita melihat kebudayaan yang sifatnya stabil, itu hanya mau mengatakan bahwa kebuduyaan itu tampil apa adanya. Ia (budaya) belum dipengaruhi oleh budaya dari luar. Sifat stabil juga menunjukkan adanya budaya sebagaimana adanya. Meskipun ada proses kreatif manusia terhadap budaya, tetapi proses kreatif itu tidak mempengaruhi budaya itu sendiri. Budaya itu tampil dengan keaslianya. Ketiga; kebudayaan itu sifatnya dinamik. Pada ponit ini kita dapat memahami bahwa kebudayaan itu mengalami dinamika dan evolusi seiring dengan perkembnagan zaman dan sejarah manusia. Budaya lokal sudah dipengaruhi oleh bias-bias budaya dari luar. Ia tidak tempil sebagaimana adanya di sana. Dapat dikatakan sudah ada perpaduan antara yang asli dan yang baru.<br /> Sifat stabil dan dinamik suatu kebudayaan merupakan dua sifat yang tentu berseberangan dan bertentangan. Jikalau demikian, pososi kita dalam mengembangkan kebudayaan, apakah kita masih mempertahankan sifat budaya ayang stabil ataukah sifat budaya yang dinamik? Dalam semangat otonomi daerah, sesungguhnya kedua sifat kebudayaan ini bisa didamaikan. Pemerintah daerah dapat memasarkan budaya lokal kepada dunia, kalayak ramai dengan tujuan agar budaya lokal dan kearifan budaya lokal dapat memberikan sumbangan dan warna sendiri bagi pembangunan daerah itu sendiri secara khusus, dan pembangunan nasional pada umumnya. Budaya lokal yang ada di masyarakat sesungguhnya merupakan basic dari pola pembangunan nasional, di mana pada umumnya budaya lokal atau kearifan lokal memiliki akar kuat di masyarakat baik pada sistem sosial maupun kondisi lingkungan secara umum. Jadi, kebudayaan lokal dapat menunjukkan identitas sutau kebudayaan yang lahir, berkembang dan mapan di stuatu wilayah yang batas-batasnya dalam konteks geografis dan didukung oleh suatu komunitas tertentu. <br /><br />3. Sifat kebudayaan lokal<br /><br />Dari pengertian kebudayaan di atas di mana kebudayaan merupakan pengalaman universal dari manusia, bersifat stabil, tetapi juga dinamik dan mengisi kehidupan manusia, maka penulis menyebutkan tiga sifat kebudayaa lokal yakni milik bersama, stabil/cenderung bertahan dan dinamis/cenderung berubah. Pertama, kebudayaan adalah milik bersama. Pertanyaannya sejauhmana budaya mempengaruhi milik bersama dan menjadi milik bersama.? Ketika kebudayaan/budaya menjadi milik bersama, maka budaya itu juga akan mempengaruhi relasi sosial dan sistem sosial dalam masyarakat. Melalui perilaku umum, suatu kebudayaan atau budaya yang timbul dari keseragaman perilaku yang juga mempunyai fungsi positif yakni menciptakan dan melestarikan kesamaan. Hal ini tampak kalau kelompok budaya menjadi kelompok minoritas sosial dan anggota-anggotanya mencoba untuk bersatu. <br />Kedua, sifat budaya itu cenderung bertahan dan cenderung dinamis/berubah. Sifat stabil dari kebudayann hanya dapat dipahami dalam kerangka sifat yang pertama yakni budaya adalah milik bersama dan tidak terlepas dari sifatnya yang ketiga yakni sifat dinamis. Karena dimiliki bersama, maka kebudayaan cenderung akan dipertahankan bersama (masyarakat tertutup/statis). Namun, disisi lain karena hasil kesepakatan untuk diciptakan dan dimiliki bersama, maka kebudayaan juga akan dirubah manakala terdapat kesepakatan untuk melakukannya secara bersamaan (masyarakat terbuka/dinamis). Sifat stabil dan dinamis saling berkaitan. Keberkaitan keduanya terletak pada hal ini yakni adanya kesepakatan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Jadi, dalam kenyataannya tidak ada suatu kebudayaan masyarakat dunia yang selamanya bertahan atau tutup atau selamanya terbuka atau berubah.<br />Ketiga sifat budaya di atas semuanya membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, manusia memperolehnya juga melalui suatu proses belajar entah didasarkan pada simbol, warisan dari generasi ke generasi atau melalui suatu adaptasi. Dengan kata lain, kebudayaan diartikan sebagai proses dialektis. Dari paham seperti ini, menjadi jelas bahwa kebudayaan bukan lagi merujuk hanya pada hal-hal fisik, misalanya candi, museum, tulisan kuno, bangunan-bangunan bersejarah, melainkan tekanannya pada “cara” hidup dan perilaku manusia. Artinya bagaimana manusia dan budaya dapat menjawab setiap permasalahan dan tantangan yang dihadapi kepadanya. <br />Kebudayaan sebagai proses dialektik mau mengatakan bahwa kebudayaan itu akan terus berubah dan berdialog dengan perubahan zaman dan segala tantangan yang ada di dalamnya terutama dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan objektif setiap indiviudu. Kebutuhan-kebutuhan setiap pribadi selalu berubah di masa kini dan masa yang akan datang. Pada poin ini menjadi jelas bahwa kebudyaan berfungsi inovatif yakni masyarakat dapat melahirkan karya-karya baru. Di sisnilah sifat dinamis kebudayaan menjadi jelas.<br /><br />4. Persoalan seputar kebudayaan lokal<br /><br /> Dewasa ini kecenderungan manusia ketika berbicara mengenai kebudaya lokal yakni cenderung jatuh dalam polemik antara paham tradisionalisme dan modernisme. Polemik ini sudah tidak mendapat tempat dan ruang lagi bagi kita untuk masuk dalam pembicara menganai kebudayaan. Paham seperti di atas sudah bergeser di mana jikalau kita berbicara mengenai budaya berarti kita berbicara mengenai kekinian sebuah budaya. Tekanannya pada konteks saat ini atau kekinian. <br />Konteks saat ini adalah melihat fenomena globalisasi. Perubahan dan perkembangan zaman yang disertai dengan perubahan frame berpikir manusia terhadap budaya, kerap kali dan bahkan menjadi kenyataan di mana minat terhadap budaya lokal semakin menurun. Inilah yang melanda masyarakat indonesia dewasa ini. Harus diakui bahwa ini realitas saat ini. <br />Belakangan ini kita juga telah mendengar pengklaiman budaya milik Indonesia oleh negara Malaysia. Dengan adanya relaitas seperti ini, masyarakat indonesia sadar dan baru membuka mata akan kekayaan budayanya. Apresiasi masyarakat indonesia terhadap budaya lokal masih rendah dan menjadi sadar tatkala kita berhadap dengan masalah. Selain itu, fenomena yang saat ini semakin kuat di mana orang bangga dengan budaya luar atau asing dan kemudian mengatakan bahwa itulah budaya kita, lalu menjadikan budaya asing sebagai nilai dan pegangan hidup. Padahal, dalam kenyataannya tidak semua nilai yang masuk dari luar adalah positif bahkan lebih banyak yang negatif dan bertentangan dengan norma dan nilai budaya lokal.<br />Globalisasi dan modernisasi semakin merebah dan merambah. Sebagai dampaknya harus diakui bahwa ada pergeseran nilai dan bertabrakan dengan nilai-nilai yang telah dianut oleh masyarakat. Selain itu, ada suatu indikasi yang meresahkan karena terjadi duplikasi budaya yang tidak selektif. Itulah fenomena yang dihadapi orang saat ini, yang sangat bersentuhan dengan persoalan budaya lokal.<br /><br />6. Dalam konteks otonomi daerah<br /><br />Otonomi daerah sesungguhnya membuka ruang yang lebar-lebar untuk memajukan dan meningkatkan budaya lokal. Dengan adanyan otonomi daerah, pemerintah daerah dapat mengupayakan peningkatan terhadap budaya daerah, sambil melihat kemungkinan baru untuk memperkenalkan budaya lokal kepada kalayak banyak. Kebanggaan atas budaya bukan soal menjaga keaslian budaya dan menyimpannya dengan rapi pada museum-museum, tetepai bagaimana budaya diapresiasikan dalam kenyataan konkret, sehingga menjadi jelas dan nyata salah satu sisi sifat budaya yakni bersifat dinamis. Hal ini juga tidak berarti budaya harus berubah sesuai zaman dan tuntutan-tuntutan di dalamnya, tetapi bagaimana di tengah pusaran glombang dunia yang semakin cangggih dengan alat-alat Tehknologi, budaya lokal tetap memperlihatkan kearifannya dan kekhasanya yang sungguh-sungguh dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi nusa dan bangsa. <br />Upaya konkretnya yang dilakukan tidak laian harus berangkat dari manusia, karena budaya pada intinya melekat pada manusia. Manusialah yang memungkinkan menemukan dan sesuatu yang baru. Selain itu, perlu adanya inovasi. Inovasi tehadap nilai-nilai kebudayaan yang telah dianuti bersama oleh masyarakat yang kemudian menjadi nilai-nilai kehidupan bersama. Kerapkali nilai-nilai kebudayaan itu bertabrakan dengan tuntuntan dan himpitan zaman yang semakin hari semakin tinggi. Masalah yang dihadapi manusia dewasa ini semakin kompleks. Oleh karena itu, pemerintaha daerah perlu memberikan apresiasi kepada siapa saja terutama mereka yang telah menyumbangkan daya kreatifnya kepada bangsa, misalanya para seniman, praktisi kebudayaan yang mampu mengangkat budaya lokal sebagai kazanah yang memungkinkan budaya lokal semakin dikenal. Selain itu, membuka ruang ilmiah untuk mengkaji budaya lokal dan kemudian melakukan modifikasi yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.<br /><br />7. Penutup <br /><br /> Dalam memajukan kebudayaan lokal bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah, tetapi juga masyarakat di dalamnya. Keduanya mesti membangun suatu pola kemunikasi yang intensif, sehingga dapat mengkomunikasikan kebudayaan lokal. Struktur birokasi pemerintah tidak membuat setiap orang menjadi pribadi yang pasif, tetapi melahirkan pribadi-pribadi yang aktif dan kreatif dalam mempertahankan dan mengaktualisasikan budaya lokal.<br /> Dalam budaya lokal terkandung nilai-nilai kehidupan yang membedakan satu daerah dengan daerah yang lain. Karena itu, usaha untuk meningkatkan budaya lokal, bukan bermaksud dan bertujuan agar budaya masing-masing daerah itu sama, tetapi mau menunjukkan kesatuan dalam keberagaman. Kebudayaan lokal merupakam sumber kekuatan yang mempersatukan bangsa. Kekuatan dan keunggulan budaya bangsa sesungguh merupakan manifestasi dari lahirnya dan tumbuhnya budaya-budaya lokal. Dengan adanya otonomi daerah sesungguhnya saat bagi kita untuk memupuk budaya lokal dan memberikan kebebasan setiap pribadi untuk mengembangkan daya kreatif dan inovatifnya. Oleh karena itu, keterlibatan aktif dan rasa memiliki atas budaya lokal yang dalam setiap pribadi, akan sangat membantu untuk memajukan kebudayaan daerah. <br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Buku-buku <br /><br />Josef Eilers, Franz. Berkomunikasi Antara Budaya. Ende: Nusa Indah, 1995.<br /><br />Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES, 1987.<br /><br />Lutan, Rulsi. Keniscayaan Pluralitas Budaya Daerah; Analisis Dampak system nilai budaya terhadap Eksistensi Bangsa. Bandung: Angkasa Bandung, 2001.<br /><br /><br />Data internet<br /><br />http://setiarini.ngeblogs.com/2009/11/05/peranan-budaya-lokal-memperkokoh-budaya-bangsa/ diakses Minggu, 15-11-2009.<br /><br />http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/22/04493944/departemen.kebudayaan.isu.basi.menjelang.penentuan.menteri. Diakses, Jumat, 20-11-2009.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-11594580170646532932010-05-06T03:13:00.002-07:002010-05-06T03:16:17.379-07:00ajaran Sosial GerejaKEBERPIHAKAN GEREJA KEPADA ORANG MISKIN<br /><br />1.Pengantar<br /><br />Dokumen Gereja “Centesimus Annus” adalah kesaksian nyata akan kehidupan manusia. Manusia yang mengalami keterasingan dari sesama, manusia yang “terlempar keluar” dari citranya sebagai pribadi yang secitra dengan Allah. Manusia yang menjadi korban dari sesamanya. Dengan kata lain, manusia yang melakukan dehumanisasi terhadap sesama manusia. Dalam konteks dan situasi ini, dokumen ini memperlihatkan keterlibatan dan peran Gereja. Gereja dipanggil untuk bertindak. Gereja dipanggil ke dalam dunia, dalam persoalan-persoalan kemanusiaan manusia. Atau Gereja yang sedang men-dunia. Panggilanya ini adalah panggilan Kristus sendiri untuk berpihak kepada yang miskin dan lemah.<br /><br />Alasan pemilihan Judul di atas<br /><br />Alasan pemilihah judul di atas. Berbicara mengenai kaum miskin adalah berbicara mengenai realitas konkret manusia. Arah pembicaraannya bukanlah sebuah spekulasi belaka atau yang hanya berada pada tataran rasio, tetapi kita sungguh-sungguh bersentuhan dengan dunia manusia yang real. Penulis mengambil judul ini kerena berbicara mengenai kaum miskin itu bersentuhan langsung dengan hakikat dan martabat manusia. Persoalan kemiskinan bukanlah persoalan yang baru muncul, tetapi ternyata sudah sejak awal lahir seiring dengan perkembangan dan hidup manusia. Jikalau kita menengok ke belakang pada masa hidup Yesus, persoalan kemiskinan kaum miskin sudah ada, hanya mungkin akar kemiskinan dan model kemiskinan berbeda dengan apa yang dialami dewasa ini. Yesus telah menunjukkan rasa solidaritasnya kepada orang miskin dan bahkan suluruh hidup dan karya-Nya memperlihatkan perhatian-Nya kepada orang yang lemah, terbuang, sakit dan miskin. <br />Dewasa ini, persoalan kemiskinan yang dialami oleh kaum miskin belum tuntas. Sebagian besar masyarakat indonesia masih miskin. Angka kemiskinan yang cukup besar menyedot perhatian sejumlah orang bahkan negara-negara yang maju. Jurang antara yang kaya dan miskin semakin lebar dan bahkan tak dapat dijembatani lagi. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Begitu banyak orang atas nama pribadi atau kelompok ingin memperhatikan nasib kaum miskin. Pembesar dan yang memegang roda kepemerintahan ini seakan-akan hanya melihat dengan mata sebelah atas realitas kemiskinan yang semakin melanda negara ini. Inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat tema tentang “kaum miskin.”<br />Di tengah situasi yang semakin rumit dan resah ini, Gereja semakin ditantang untuk mewujudkan Cinta Kasih Yesus. Tantangan yang dihadapi oleh Gereja juga memacu penulis untuk menguraikan tema ini. Penulis merasa terdorong untuk membahas tema ini, agar semakin menemukan suatu titik cerah bagi penulis sendiri juga Gereja pada umumnya atas nasib kaum miskin. Dokumen Centesimus Annus artikel 11 ini menyentuh persoalan-persoalan antara lain: orang miskin, pandangan mengenai manusia yang dianugerahi martabatnya oleh Allah, panggilan Kristus adalah panggilan Gereja, dasar cinta kasih keberpihakan Gereja kepada orang miskin adalah cinta kasih Kristus, faktor penyebab kemiskinan dan relevansinya dengan kehidupan dunia sekarang.<br /><br />II. Option For the Poor<br /><br />a. Siapakah orang miskin?<br /><br />Kaum miskin adalah orang yang tidak hidup dalam kelimpahan. Orang yang secara ekonomi sangat terbatas, yang hidup serba kekurangan. Dari definisi yang sederhana ini, paling tidak dapat menghantar kita untuk memahami siapa orang miskin. Apakah pandangan tentang kaum miskin dalam dokumen ini seperti yang dikemukakan di atas? Uraian mengenai orang miskin, tidak bermaksud untuk mencari sebuah definis yang komplit, sebab masing-masing orang memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai kaum miskin.<br />Berbicara mengenai kemiskian merupakan wacana yang amat kompleks. Kompleks karena banyak hal yang membuat manusia menjadi miskin, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal bisa disebabkan karena tidak berpendidikan, ekonomi lemah, kesehatan, fisik dan masih banyak lagi. Faktor eksternal bisa disebabkan oleh lingkungan yang tidak mendukung misalnya perang, banjir, kekeringan, tidak mendapat lapangan pekerjaan, penindasan dari orang-orang yang berkuasa, korban politik dan sebagainya. <br />Dalam dokumen ini sesungguhnya yang disoroti adalah faktor-faktor eksternal, misalnya peran negara di mana negara bukan hanya melindungi hak kaum kecil, melainkan juga mengekang kebebasan pribadi. Pemerasan terhadap para pekerja oleh pemilik produksi dan dampak industrialisasi. Dalam kondisi inilah Gereja dipanggil untuk berpihak kepada yang lemah dan kecil. <br /><br />b. Orang Miskin dalam Konteks Dokumen Centesimus Annus (CA)<br /><br />Dokumen Centesimus Annus merupakan peringatan 100 tahun Rerum Novarum. Sebagaimana yang disoroti dalam Rerum Novarum mengulas mengenai “masalah para pekerja,” maka Gereja memusatkan perhatiannya pada orang miskin. Orang miskin mendapat prioritas perhatian yang cukup besar dan serius dari Gereja. Gereja sangat perihatin dengan nasib para pekerja di mana terjadi tindakan kekerasan. Proses industrialisasi yang menciptakan sebuah dunia yang kerdil dan tak berperikemanusiaan. Kondisi para pekerja sangat menyedihkan karena adanya jarak yang cukup dalam dan jauh antara para pekerja dengan pengusaha. <br />Proses industrialisasi dan perkembangan tekhnologi serta ilmu pengetahuan seakan membuat manusia terlempar keluar dari kehidupan sesama. Zaman ini bukan hanya menciptakan mesin-mesin produksi yang canggih, melainkan juga mempengaruhi mentalitas manusia. Jurang pemisah antara pengusaha dan para pekerja semakin dalam. Sang pengusaha semakin makmur karena memiliki mesin produksi, sedangkan yang tidak memiliki sarana produksi semakin miskin.<br />Dalam kondisi seperti ini, Gereja dipanggil untuk mengambil bagian dalam nasib sesama yang miskin. Option for the poor adalah pilihan Gereja. Misi ini didasari oleh misi Yesus Kristus sendiri. Dasar misi ini adalah Cinta kasih Kristus. Dokumen Centesimus Annus ini memberikan kepada kita bagaiman usaha dan keterlibatan Gereja yang dibilang cukup gemilang dalam memperhatikan nasib sesama yang miskin. <br /><br />c. Pandangan Mengenai Manusia yang Dianugerahi Martabatnya oleh Allah<br /><br />Perhatian dan dedikasi Gereja terhadap sesama yang miskin, lebih dari sekedar karena mereka miskin dan hidup mereka yang sangat memperihatinkan. Dedikasi Gereja terhadap orang miskin karena Gereja mau mengangkat martabat manusia yang luhur, yang diinjak oleh sesama. Gereja mau mengangkat kembali martabat manusia sebagai citra Allah, sebagai ciptaan Allah yang paling mulia dan luhur dari segala ciptaan. <br />Berbicara mengenai martabat manusia berarti berbicara mengenai pribadi manusia yang konkter, nyata, historis dan bukan pribadi manusia yang abstrak. Dalam hal ini, Gereja berhadapan dengan setiap pribadi, karena setiap orang adalah bagian dari misteri Penebusan, dan melalui misteri Penebusan ini Kristus menyatukan diri-Nya dengan setiap orang selamanya. Oleh karena itu, Gereja tidak dapat mengabaikan kemanusiaan manusia. Pandangan ini sangat jelas diungkapkan oleh dokumen Centesimus Annus dalam artikel yang lain. Penulis mengangkat salah satu no artikel yang sangat bersentuhan dengan hal di atas misalnya Centesimus Annus artikel 53. Di sana dikatakan bahwa “pribadi manusia ini adalah langkah utama yang harus ditapaki Gereja dalam melaksanakan misinya…langkah yang telah dijejaki oleh Kristus sendiri, satu-satunya jalan menuju misteri Inkarnasi dan Penebusan.” Inilah satu-satunya prinsip yang menginspirasi Gereja dalam keberpihakannya kepada orang miskin. Dalam usaha mewujudkan martabat manusiawi, Gereja menunjukkan sikap mengutamakan cinta kasih rakyat miskin serta tak bersuara, sebab Tuhan mengidentifikasikan Diri dengan mereka secara istimewa. <br /><br />d. Option For the Poor, Pengamalan Cinta Kasih Krsitus<br /><br />Option for the poor adalah wujud pengamalan cinta kasih Kristus. Cinta kasih yang tidak pilih kasih, tidak memandang buluh, suku, agama, ras dan budaya. Cinta kasih ini diterjemahkan dalam wujud pelayaan dan kesaksian hidup. Namun, pada poin ini cinta kasih lebih mengutamakan mereka yang miskin, terlantar, menderita dan sebagainya akibat perampasan hak dan kewajibannya, dan eksploitasi. Pengamalan cinta kasih kepada orang miskin merupakan bentuk konkret Gereja meneladani dan mengikuti Kristus. Melalui keberpihakan Gereja terhadap orang miskin, Gereja telah menampilkan jati dirinya yang cemerlang dan tanda-tanda di mana injil telah diwujudkan dalam tindakan nyata. <br /><br />III. Panggilan Gereja Terhadap Orang Miskin<br /><br />a. Dasar panggilan Gereja: Yesus inspirator<br /><br />Yesus adalah inspirator bagi Gereja dalam meneruskan misinya di dunia. Misi Gereja adalah meneruskan apa yang telah diajarkan, dipraktik oleh Yesus. Yesus telah menunjukkan secara konkret keperpihakan-Nya kepada yang lemah dan miskin. Itulah misi kedatangan-Nya agar semua orang mengalami kebahagiaan dan sukacita dalam-Nya, karena di hadapan Allah semua manusia sama, tidak ada perbedaan entah miskin entah kaya, yang berpendidikan dan tidak berpendidikan, rakyat biasa dan penguasa dan sebagainya. Jadi, panggilan Gereja adalah panggilan Kristus sendiri. <br />Keperpihakan Gereja terhadap orang miskin merupakan panggilannya. Sejak awal telah memperlihatkan kepada kita bahwa Gereja terlibat dalam masalah-masalah sosial. Dokumen Centesimus Annus telah menampilkan tokoh Paus Leo XIII yang gencar memperhatikan nasib sesama yang mengalami penindasan dan kemiskinan secara khusus yang dialami oleh para buruh yang kemudian melahirkan ensiklik Rerum Novarum. Peran Gereja dalam memperhatikan nasib buruh mendapat tempat yang penting dalam sejarah Gereja. <br />Paus Leo XIII mendorong negara untuk mengupayakan kesejahteraan sesama yang miskin, memperhatikan ekonomi mereka, memberikan sumbangan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama, menjamin kelangsungan hidup sesama dengan menghormati dan melindungi hak-hak pribadi. Namun, Paus menyadari bahwa peran negara kepada sesama tidak boleh mengabaikan kebebasan pribadi. Karena itu, bukan hanya peran negaralah yang dapat memecahkan persoalan dan kesukaran sosial. Negara hanya berperan untuk melindungi hak-hak setiap orang dan bukan untuk menindas dan memperbudak mereka. Hal ini sungguh-sungguh disadari oleh Paus Leo XIII. Panggilan Gereja terhadap orang miskin telah mewarnai seluruh dinamikan dan perkembangan Gereja. <br />Yesus, bukan hanya mewartakan Kerajaan Allah melainkan juga berbuat, bertindak melalui mukjijat penyembuhan, pengusiran roh jahat, dan sebagainya. Gereja pun melakukan hal yang sama di mana Gereja bukan hanya mewartakan sabda Allah, tetapi juga bertindak dan berbuat sesuatu yang nyata dan konkret melalui pengabdian kepada sesama yang menderita, miskin, kelaparan, sakit dengan memberikan sumbangan dan memberikan pelayanan sakramen-sakramen. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh Gereja sejak munculnya dokumen ensiklik Rerum Novarum tahun 1891 sampai dengan dokumen Centesimus Annus 1991, tidak terlepas dari hidup dan karya Yesus. Bagi Yesus kemanusiaan manusia jauh lebih penting dari pada pelaksanaan hukum Taurat. Yesus mau membela kemanusiaan manusia yang seringkali diabaikan oleh manusia hanya karena hukum. <br />Keberpihakan Gereja kepada orang miskin dalam dokumen Centesimus Annus memperlihatkan perjuangan Gereja terhadap kemanusiaan. Persoalan manusiawi dan morallah yang tampak di sana. Sungguh inilah persoalan esensial yang digeluti oleh Gereja dengan melibatkan diri pada orang miskin. Bagi Gereja benda dan harta bukanlah pelaku utama dalam proses pengembangan. Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi oleh Gereja melampaui masalah ekonomi dan tekhnologi. Gereja memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah keutuhan pribadi manusia. Manusia yang secitra dengan Allah, yang telah dianugerahi segala rahmat dan martabat keilahian serta hak-hak yang tidak boleh dirampas oleh manusia lain daripadanya. <br /> <br />b. Panggilan Kristus adalah Panggilan Gereja <br /><br />Panggilan Gereja terhadap orang miskin yang dikemukan oleh dokumen Centesimus Annus menyentuh hakikat manusia yang paling dalam. Artinya keberpihakan Gereja terhadap orang miskin lebih daripada karena keadaan mereka yang miskin, tetapi Gereja melihat manusia dalam keseluruhanya dan keutuhannya sebagai manusia. Pada poin ini sesungguhnya usaha dan tindakan Gereja sudah cukup mendalam. Gereja mau mengangkat kembali kodrat manusia sebagai ciptaan Allah. Gereja mau mengembalikan keutuhan manusia sebagai pribadi, makluk yang secitra dengan gambar dan rupa Allah Sang Pencipta. Dengan kata lain, kepedulian Gereja terhadap kaum miskin jauh melampaui masalah-masalah yang sifatnya artifisial atau masalah-masalah seperti ekonomi, tekhnologi, upah dan sebagainya. <br />Panggilan Gereja terhadap orang miskin adalah juga panggilan dari dan kepada Kristus. Dasar panggilan Gereja adalah Cinta kasih Kristus sendiri. Gereja hanya meneruskan dan melanjutkan apa yang telah dibuat dan diperintahkan oleh Yesus. Gereja dipanggil untuk mengambil bagian dalam pengalaman susah, senang, dukacita dan sukacita kaum miskin. Dalam usaha untuk memajukan dan memperhatikan martabat manusiawi kaum miskin, Gereja menunjukkan sikap penuh cinta kasih. Sebab Gereja menyadari bahwa dalam diri kaum miskinlah Yesus hadir secara istimewa. Sebagaimana Yesus tidak pilih kasih dalam pelayaan, demikian juga Gereja. Prioritas Gereja adalah pelayanan. Pelayanan merupakan bentuk kesaksian nyata Gereja dan rasa solidaritas kepada kaum miskin.<br /> Dunia adalah medan di mana manusia dapat mewujudkan dirinya bagi sesama. Sebaliknya ternyata manusia juga medan dan dunia bagi Allah untuk meneruskan kerajaan Allah di dunia. Allah tidak hanya mendampingi manusia dalam perjalanan sejarah, melainkan Allah menyapa manusia dalam tanggung jawabannya atas sejarah. Pergulatan Gereja dengan segala masalah yang menimpa kaum miskin, mendesak Gereja untuk memusatkan perhatiannya pada martabat pribadi manusia yakni martabat sesama manusia Yesus Kristus dan martabat manusia yang menjadi ungkapan diri Allah. <br /><br />IV. Faktor Penyebab Kemiskinan<br /><br />Berbicara mengenai option for the poor dan segala persoalan yang melilit di dalamnya, mau tidak mau harus mencari akar penyebab semuanya itu. Dalam dokumen Centesimus Annus memperlihatkan bahwa masalah para pekerja sungguh menyentuh langsung persoalan orang miskin. Persoalan kemiskinan yang dialami orang miskin disebabkan oleh proses industrialisasi atau revolusi industri yang ada pada zaman itu.<br />Proses industrialisasi atau revolusi industri menciptakan suatu kondisi yang memprihatinkan bagi para pekerja. Kondisi yang memperihatikan itu dilukiskan dengan adanya pratik kekerasan terhadap massa. Sebagaimana yang telah saya kemukakan di atas bahwa revolusi industri sungguh bersentuhan langsung dengan para pekerja, maka munculnya proses industrialisasi membuat kondisi kaum pekerja semakin memburuk. Di sana terlihat adanya kemerosotan moral. Kemerosotan moral tampak pada pemerasan terhadap para pekerja yang membuat nasib mereka semakin tak menentu. Harus diakui bahwa dalam situasi seperti ini gambaran manusia sebagai “homo homini lupus” tercermin di sana, di mana manusia karena ketamakan akan harta dan kekayaan memperbudak para pekerja yang tidak mempunyai sarana produksi.<br />Di atas saya telah menyinggung soal moralitas yang merosot akibat proses industrialisasi. Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi menciptakan logika berpikir manusia bahwa sesama manusia tidak berarti apa-apa dan bernilai, yang bernilai hanya harta dan kekayaan. Moral para pekerja diinjak-injak. Moral para pengusaha dan pemilik sarana produksi karena diboncengi oleh perkembangan tekhnologi dan iming-iming untuk mencari kekayaan sendiri, tidak lagi memperhatikan nasib sesama dan moralnya sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan. Jadi, kemerosotan moral merupakan jalan pemerasan terhadap kaum pekerja.<br />Dampak lebih lanjut dari proses industrialisasi adalah tidak adanya penghargaan atas martabat manusia. Martabat sesama manusia sebagai pribadi atau individu yang bebas, merdeka, yang otonom, yang mempunyai hak atas kebahagiaan tidak dijunjung tinggi dan bahkan di kekang. Martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang paling mulia dan luhur dihancurkan dan dicemari oleh segelintir orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Jadi, proses industrialisasi bukan hanya memberikan gambaran akan perkembangan dunia, tetapi juga tidak adanya penghargaan atas martabat manusia. Dalam kaitan dengan persoalan martabat manusia ini, Paus Yohanes Paulus II dalam seri Dokumen Gereja no. 57 tahun 2000 mengatakan bahwa manusia yang telah diciptakan seturut citra Allah dan dikarunia martabat anugerah Allah serta hak-hak manusiawi yang tidak boleh dirampas dari padanya. <br /><br />V. Relevansi <br /><br />Sebelum masuk dalam uraian mengenai peran Gereja dan negara kepada kaum miskin dalam dunia dewasa ini, baiklah terlebih dahulu kita mencoba mendikte dan menelisik keadaan manusia dewasa ini. Dewasa ini, banyak persoalan yang melilit bangsa dan warga negara Indonesia. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan yang dialami oleh kaum miskin dan bagaimana menanggulangi kemiskinan yang ada di negara ini?<br /><br />a. Sketsa Dunia Dewasa ini<br /><br />Wacana mengenai kemiskinan dan keberpihakan kepada orang miskin, bukanlah hal yang baru. Sejak dulu sampai sekarang masalah seputar kemiskinan dan penanggulangan terhadap kemiskinan telah membuka mata semua orang. Akan tetapi, hal ini belum juga selesai. Jurang antara yang kaya dan miskin semakin dalam dan tak terjembatani lagi. Di tengah perkembangan dan perubahan dunia yang begitu cepat dan alat-alat tekhnologi yang canggih, angka kemiskinan justru tetap menjadi fenomena yang segar untuk dibicarakan. Rasa-rasanya di sini terlukis suatu paradoks kehidupan di mana satu sisi negara indonesia yang kaya akan sumber daya alam, tetapi di sisi lain realitas kemiskinan masih saja melanda dan melilit sejumlah warga. <br />Selain itu, suhu politik, korupsi, peperangan, bencana, pemerasan, kekerasan adalah faktor sosial yang melahirkan angka kemiskinan semakin besar di bumi pertiwi ini. Inilah model baru lahirnya kemiskinan, dan terciptaan situasi-situasi sosial yang semakin buruk. Para penguasa dan pemerintah yang bergerak dalam dunia berpolik, kadang mengorbankan yang miskin. Mereka hanya menyuarakan kepada semua orang untuk memperhatikan kaum miskin, sementara mereka sendiri berpangku tangan dan hanya bermain pada tataran wacana. Janji-janji palsu sekelompok orang atau secara pribadi demi memenangkan dan mendapat suatu kedudukan sosial dengan memperalat kaum miskin, janji-janji manis untuk memberikan perhatian secara khusus kepada orang miskin tenyata hanyalah sebuah utopia belaka. “Habis manis sepahnya di buang.” Mungkin inilah slogan yang tepat untuk menggambarkan betapa manusia dewasa ini dengan pengetahuannya yang luas dapat memperalat sesama. Setelah mendapat kedudukan yang baik dalam kursi kepemerintahan, lupa akan janjinya. Adalah sangat ironis sekali. Kalau dulu kaum buruh akibat revolusi industri mereka diperas, sekarang inilah bentuk pemerasan, kekerasan model baru.<br />Berhadapan dengan realitas yang demikian, ternyata masih banyak lembaga sosial yang berkecimpung dalam menangani malasah kaum miskin terutama masalah para buruh. Tujuan mereka jelas yakni ingin menyelamatkan nasib mereka yang lemah, yang tidak memiliki undang-undang perlindungan hukum yang pasti. Bagaimana dengan Gereja?<br /><br />b. Peran Gereja <br /><br />Bagaimana peran gereja dalam kondisi seperti ini? Misi penginjilan Gereja dewasa ini dapat berpijak pada instrumentum Laboris No. 51, dengan menekankan dialog segitiga; pertama dengan kaum miskin, kedua dengan penganut agama lain, ketiga dengan kebudayaan. Aspek pertama, dialog dengan orang miskin. Kenyataan membuktikan bahwa penduduk indonesia hampir sebagian besarnya kaum miskin. Oleh karena itu, perhatian kepada kaum miskin mendapat prioritas yang besar dari Gereja. Bagaimana Gereja menjalan dialog ini? Dengan meneladani model perseketuan para rasul perdana, Gereja dapat membukan ruang dialog dengan kaum miskin. Persekutuan para rasul perdana ini nyata lewat perayaan ekaristis. Persekutuan ini adalah persekutuan cinta dengan memberikan penekanan khusus pada pesan sosial Yesus. Gereja akan mulai menjalankan misi dialog dengan orang miskin jikalau Gereja secara sungguh-sungguh mendalami pesan sosial Yesus dalam Kitab Suci.<br />Yesus mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang miskin. Yesus adalah penyelamat bagi semua orang miskin. Yesus melibatkan diri dalam dialog dengan kaum miskin, orang buta, lumpuh, pengemis, sakit dan sebagainya. Oleh karena itu, Model bagi Gereja adalah Yesus sendiri. Misi cinta kasih Gereja dan seluruh pelayanannya hendaklah mengalir dari Yesus sendiri dan Sabda-Nya yang dapat memberikan daya dan kehidupan bagi yang miskin dan lemah. Sabda-Nya yang memberikan kehidupan atas nama dan demi kepentingan kaum miskin.<br />Aspek kedua adalah dialog dengan penganut agama lain. Apa kepentingan agama lain dalam membahas keberpihakan Gereja terhadap orang miskin? Dalam dunia sekular dan pluralitas agama, panggilan Gereja terhadap orang miskin seringkali mendapat cibiran dan cemoohan dari penganut agama lain. Misalanya ketika terjadi gempa, banjir, dan masalah sosial lainnya, Gereja tidak tinggal diam dan hanya berpangku tangan. Meskipun tanpa membawa bendera agama, seringkali kehadiran dan keterlibatan Gereja untuk membantu sesama yang mengalami musibah dinilai oleh orang dari agama lain sebagai bentuk kristenisasi. Dalam rangka untuk menghindari dan mengurangi kemungkinan akan adanya pandangan seperti ini, maka Gereja perlu membangun suatu ruang dialog dengan agama lain sehingga misinya untuk membantu mereka yang miskin dan yang mengalami bencana tidak dapat dihalangi oleh anggapan seperti itu. Ruang dialog dengan agama lain, pertama-tama bukanlah bermaksud untuk menyamakan konsep dan paham atau harus berdiri di atas satu paham yang sama, melainkan untuk membuka kemungkinan baru di mana setiap agama dapat mengakui dan menghargai kehadiran agama lain dalam keberagaman dan keunikannya.<br />Aspek ketiga adalah dialog dengan kebudayaan. Faktor kebudayaan sangat menentukan untuk terima tidaknya suatu pewartaan dan kehadiran Geraja. Dengan mempelajari dan memahami kebudayaan suatu daerah akan dengan mudah injil cinta kasih yang ditawarkan kepada sesama itu diterima. Yesus hadir dalam budaya tertentu dan dalam konteks budaya itulah Yesus memulai misi-Nya. Misi-Nya berangkat dari konteks manusia dengan segala struktur dan dinamika hidup di dalamnya. Oleh karena itu, keberpihakan dan keterlibatan Gereja kepada orang miskin juga harus memperhatikan budaya. <br /><br />c. Kekhasan Panggilan Gereja<br /><br />Panggilan Gereja kepada orang miskin adalah panggilan semua orang Kristen yang melalui pembaptisan telah dipersatukan dengan Yesus. Panggilan ini sesunguhnya sudah terjadi dan dimulai dari bejana baptis. Di sanalah kita telah dengan setia dan rela mau mengambil bagian dalam misi Yesus. Bejana baptis adalah medan pertama kali kita menjalankan misi Yesus. Dasarnya di sana. Melalui jawaban ‘ya’ kita untuk mengikuti Kristus sesungguhnya kita telah dengan sadar dan mau, menyatakan diri untuk terlibat dalam hidup sesama sebagaimana Yesus lakukan dan jalankan. Oleh karena itu, panggilan Gereja kepada orang miskin juga merupakan panggilan kita semua. Kita diundang untuk berladang dan bermisi dalam ladang dan wilayah misi yang sama yakni kaum miskin.<br />Dalam kaitan dengan undangan Gereja di atas, salah satu hal yang direfleksikan setelah Konsili Vatikan II adalah apakah arti dan hidup menggereja di tengah kancah kemiskinan? Pertanyaan ini sesungguhnya ingin mempertacam kekhasan panggilan Gereja kepada orang miskin yang dapat membedakan dengan lembaga-lembaga sosial, lembaga-lembaga publik lainnya yang sama-sama mempunyai keperihatinan kepada orang miskin. <br /><br />Keprihatinan Gereja, Keprihatinan Dunia<br /><br />Keprihatinan Gereja kepada kaum miskin merupakan keprihatinan seluruh dunia. Keprihatinan ini adalah sebuah undangan kepada seluruh umat manusia, secara khusus umat Allah yang mengimani Kristus sebagai Sang Juru Selamat untuk merefleksikan hakikat panggilan kita kepada kaum miskin atas masalah yang selalu melilit negara kita secara khusus kaum miskin. Gereja selalu memandang dengan penuh kasih sayang terhadap nasib kaum miskin sambil mengupayakan kegiatan berpastoral dan sosial. Kegiatan pastoral dan sosial ini bertujuan untuk memperkembangkan manusia secara utuh baik segi jasmani maupun rohani, material dan spiritual. Pada poin “material dan spiritual” inilah yang membedakan bentuk keberpihakan Gereja kepada kaum miskin dengan lembaga sosial lainnya.<br />Persoalan kaum miskin merupakan persoalan kemanusiaan, di mana mereka membutuhkan jaminan atas hak hidup layak. Oleh karenanya, Gereja Katolik melalui komisi keadilan, perdamaian, pastoral mengundang semua umat manusia untuk membuka mata terhadap realitas kemiskinan yang dialami kaum miskin.<br />Keprihatinan Gereja bukan hanya menyentuh persoalan kaum miskin. Sesungguhnya dewasa ini, bentuk keberpihakan Gereja terhadap masalah sosial sangat kompleks. Dalam kekompleksitasan masalah seperti itu, kemiskian mempunyai arti baru. Romo F. Magnis-Suseno mengatakan kemiskian dalam arti bahwa orang tidak menguasai sarana-sarana fisik secukupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, untuk mencapai tingkat kehidupan yang masih dapat dinilai manusiawi. Kemiskinan yang dialami oleh kaum miskin sesungguhnya bukanlah kesalahan kaum miskin, tetapi akibat kondisi-kondisi objektif kehidupan mereka. Artinya kemiskinan bukanlah akibat kehendak mereka sendiri misalnya malas, suka judi. Namun, sebagian besar akibat ketidakadilan struktural. Ketidakadilan struktural maksudnya kemiskinan disebabkan karena strukturalisasi politik, ekonomi, idiologi dan sebagainya di mana hanya sebagai kecil orang saja yang hanya menikmati sarana-sarana produksi dan dalam pengambilan keputusan terhadap hidup bermasyarakat. Inilah yang dialami oleh kaum miskin dewasa ini.<br /> <br />c. Peran Negara<br /><br /> Negara memiliki peran yang sangat besar dalam menangani masalah kemiskinan yang dialami oleh kaum miskin. Negara yang dimaksud adalah aparat pemerintah. Pemerintah negara berkewajiban untuk melindungi hak-hak hidup setiap orang secara khusus hak untuk mendapatkan hidup bahagia bagi yang miskin. <br /> Langkah dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sangat diharapkan oleh mereka yang ekonominya lemah. Oleh karena itu, pemerintah perlu menerapkan prinsip keadilan. Prinsip keadilan agar dapat menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap pribadi. Prinsip keadilan artinya memberikan apa yang menjadi hak dan kewajiban dengan tidak memandang buluh, suku, ras, agama dalam melihat setiap pribadi.<br /> Namun, seperti yang dikemukan dalam dokumen ini, bahwa dengan memberikan wewenang kepada negara untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial, itu bukan berarti negaralah yang mengatur segalanya, melainkan ada batas di mana negara harus memperhatikan kebebasan dan hak-hak pribadi manusia. Maka, peran pemerintah juga harus memperhitungan dimensi personal manusia.<br /><br />VI. Penutup<br /><br />Dengan bertitik tolak dari persoalan dan realitas di atas, sesungguhnya ini merupakan undangan Gereja kepada kita semua agar bersama-sama merajut harapan dan menatap hari depan sesama yang miskin. Sebagaimana Gereja adalah tanda dan harapan kehadiran Allah yang berziarah dalam sejarah manusia, hadir dan bergumul dalam persoalan-persoalan kemanusiaan di tengah dunia, maka kita semua juga menjadi tanda dan harapan bagi mereka yang menderita, sakit, lapar dan membutuhkan bantuan. Keberpihakan, keprihatinan dan kepedulian Gereja kian hari kian mendobrak kedalaman nurani dan budi setiap insan. Melalui dokumen Centesimus Annus artikel No. 11, Gereja mau mengajak kepada semua orang beriman untuk tidak hanya berpangku tangan dan hanya bermain pada wacana mengenai persoalan kemiskinan dan keberpihakan kepada semua orang terutama mereka yang miskin, menderita, terasing dan menjadi korban ketidakadilan. Dengan peduli kepada mereka yang terpinggirkan dari kehidupan modern saat ini, Gereja mengundang seluruh umat beriman untuk mengambil bagian dalam upaya mengangkat martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang sempurna, yakni manusia sebagai citra Allah, gambar dan wajah Allah yang penuh dengan kemuliaan di dunia ini. <br />Keprihatianan Gereja terhadap kaum miskin yang diperlihatkan oleh dokumen Centesimus Annus pada zamannya, kini masih sangat kontekstual dan relevan dengan segala kompleksitas persoalan yang melanda umat manusia dewasa ini. Keanekaragaman persoalan yang ada menunjukkan tanda-tanda di mana wajah Allah mulai dirusakan akibat praktik ketidakadilan, pemerasan, strukturalisasi politik, ekonomi dan idiologi. Jadi, dengan berpihak kepada kaum miskin Gereja mau mengembalikan dan memulihkan kembali wajah Allah yang rusak akibat keserakahan manusia.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Banawiratma, J. B., (ed.). Kemiskinan dan Pembebasan, Yogyakarta: Kanisius, 1987.<br /><br />Hardawiryana, R., (terj.). Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999.<br /><br />Kieser, Bernhard. Moral Sosial; keterlibatan Umat dalam Hidup bermasyarakat,<br /> Yogjakarta: Kanisius, 1987.<br /><br />Kirchberger, Georg dan John M. Prior (ed.). Yesus Kristus Penyelamat; misi cinta dan<br /> pelayanan-Nya di Asia, Ende: Arnoldus, 1999.<br /><br />Paulus II, Yohanes. Church in Asia (Gereja di Asia) diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, Jakarta: Dokumen dan Penerangan KWI, 2000.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-7854515438246490312010-05-06T03:13:00.001-07:002010-05-06T03:13:38.456-07:00ajaran Sosial GerejaSocial Chatolics and Rerum Novarum<br /><br />1. what do you find in the legacy of the “fribourg union”. That is revalant for taday’s debates about social justice?<br />Dalam konteks keadilan sosial dewasa ini, berbicara mengenai “The Fribourg Union” dipandang masih ada kaitanya. Keterkaitan itu, dapat dilihat dalam beberapa aspek yang akan diuraikan di bawah ini.<br />Pertama, latar belakang berdirinya. Ada dua faktor utama yang melatarbelakangi lahirnya gerakan ini. Dua faktor itu antara lain individualisme dan kemiskian. Kedua faktor ini muncul karena adanya ketidakadilan sosial dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, adalah penting dan relevan untuk saat ini kita membahas gerakan ini karena persoalan seputar individualisme dan kemiskinan merupakan persoalan yang sepanjang hidup manusia.<br />Kedua, Peran serta pihak yang terlibat dalam gerakan ini. “Fribourg Union” merupakan gerakan yang anggota-anggotanya terdiri atas para teolog, para pemimpin politik, dan kaum aristokrat. Elaborasi serta kerjasama mereka merupakan sumbangan yang paling besar untuk meretas persoalan sebagaimana yang dikemukan pada point pertama di atas. Selain itu, ternyata kaum awam dan klerus terungkap di dalamnya sehingga kerjasama sangat ditonjolkan di sana. Kerjasama perlu dan harus diterapkan dalam kehidupan dewasa ini. Dengan adanya kerjasama maka hampir pasti akan melahirkan visi dan misi bersama, sehingga dari sana akan tercuat ke permukaan logika berpikir yang dapat melahirkan suatu nilai demi kepentingan bersama dan bukan kepentingan perorangan. Kepentingan bersama adalah tujuan dari kerjasama dan dengan demikian akan tercipta suatu kesatuan batin dan hati demi menyelesaikan segala persoalan yang ada. <br />Ketiga, Aktivitas mereka. Gerakan ini tidak berhenti pada usaha untuk bekerja sama dan penyemaan persepsi dengan mempresentasikan dan mendiskusikan persoalan, tetapi lebih dari itu bagaimana mereka berperan dalam kanca dunia internasional. Dewasa ini kerap kita menemukan bahwa gerakan sosial kadang hanya berhenti pada diskusi, tetapi tanpa aksi lebih lanjut. Maka, “roh” gerakan ini penting untuk menjadi “roh” gerakan sosial dewasa ini. <br />Keempat, Iinti persoalan. Persoalan sosial dan ekonomi juga menjadi persoalan sentral dewasa ini. Dari sini mengalir persoalan-persoalan lain yang merambah ke persoalan moral dan kemanusiaan. <br /><br />2. How do you evaluate the central themes of the “social catholicism” of the nineteenth century?<br />Tema-tema sentral “Social Chatolics” tidak terlepas dari situasi, konteks dan zaman. Tema-tema dalam Social Chatolics berusaha untuk menjawabi apa yang menjadi kecenderungan zaman. Apa-apa saja tema-tema sentral Social Chatolics? Kami melihat bahwa tema-tema sentral antara lain; “charity is nit enough, the just wage, state intervesion, private property, corporatively organized society. Tema-tema sesungguhnya merupakan suatu upaya dan model evaluasi, juga mencakup hasil evaluasi atas konteks persoalan saat itu dan tema-tema ini sungguh-sungguh memperlihatkan suatu usaha nyata untuk menjawabi persoalan dan masalah. Kekompleksitas persoalan yang dihadapi, rasa-rasanya tidak cukup puas dengan kegiatan karitatif. Karena ada indikasi bahwa orang katolik dalam menghadapi persoalan-persoalan sosial hanya aktif dalam kegiatan dan karya karitatif. <br />Dalam persoalan mengenai gaji. “Social Chatolics” mempunyai peranan penting di sana, di mana ia berusaha menciptakan iklim baru atas nasib buruh. Jikalau sebelumnya hanya menampilkan model Sistem ekonomi liberal, kini telah mengalami perubahan. Nah, kita mencoba menenggok persosalan dewasa ini. Dewasa ini, kaum buruh telah menghirup udara kebabasan. Mereka dapat menentukan nasib sendiri dan tidak lagi diatur oleh majikan. Akan tetapi, pernyataan ini tidak mengindikasikan bahwa persoalan antara buruh dan majikan tidak muncul kembali. Terlepas dari apa yang diuraikan di atas, bahwa kenyataannya masalah tentang perburuah sudah semakin kompleks dan dalam kadar yang kompleks pula. <br />Tentang campur tangan negara dan penghargaan terhadap hak milik pribadi. Negara memiliki peranan penting terhadap hak milik pribadi. Namun, negara hanya berperan dalam mengatur dan menjaga keseimbangan dalam praktik ekonomi. Dalam konteks ini “social chstolics” mempunyai andil yang besar untuk mengubah sistem serta menyerukan agar segalanya tidak diatur oleh negara. Hak milik pribadi tetap dihargai, juga dalam hal kebebasan pribadi agar negara tetap memperhatikannya. <br />Selain yang ditelah dikemukakan di atas, kami berpikir bahwa “Corporatively organized society” penting untuk diterapkan. Ada suatu nilai yang berharga yang dapat diberikan bagi pelaksanaan sistem ekonomi sekarang. Dewasa ini, banyak organisasi yang didirikan di kalangan masyarakat. Kerjasama antar Organisasi-organisasi sebagai suatu organisme sangatlah penting. Sebab dalam hal inilah akan tercipta iklim saling melengkapi, karena sama-sama memperjuangkan hak dan nasib manusia. <br /><br />3. What values are ecident in the “corporate” model of economic relations?<br />Relasi ekonomi “corporative” mengandung beberapa hal yaitu:<br />- mempromosikan jiwa kesatuan dalam setiap anggota<br />- melindungi kehormatan akan profesionalitas<br />- meningkatkan kebutuhan material<br />- menganugerahkan penghargaan kepada mereka yang sukses<br />- membeli bahan mentah<br />- mendirikan mesin uap dan mesin listrik di tempat kerja<br />- mendirikan toko untuk memasarkan hasil produksi<br /><br />Semua hal di atas sungguh menyentuh dengan realitas dan kita dapat menemukan dua hal yakni kebebasan dan kerjasama. Antara karyawan dan majikan harus ada kerjasama. Bukan hanya keduabelah pihak, tetapi juga semua orang yang terlibat di dalamnya. Dengan adanya kebebasan dan kerjasama sesungguhnya di sana akan ada penghargaan terhadap apa yang disebut sebagai spesialisasi dan profesiaonalisasi. Oleh karena itulah prinsip “kekeluargaan” sangat penting.<br /><br />4. Why was this vision adoped by business and labor?<br />Visi ini tidak diadopsi oleh kaum bisnis dan pekerja karena sistem ekonomi “bebas” mengarah pada praktik individualisme dan keegoisan pribadi. Hal ini didukung oleh kekuatan-kekuatan filsafat rasional yang mengabaikan peran Allah dalam kehidupan manusia. Selain itu, pengaruh protestanisme begitu kuat, yang mencabut akar-akar otoritas nilai tradisional dan menerapkan prinsip individualisme berdasarkan kebebasan yang tidak terkontrol. Kemudian, adanya filsafat-filsafat politik seperti teori perjanjian masyarakat yang merusak kesatuan abad pertengahan. Semuanya itu berdampak pada hilangnya kesatuan organis. <br /><br />5. The right of private property was hotly debated in the late nineteenth century. Evaluate the various position, takes on question, by the socialist the “socia catholics” and Pope Leo XIII<br />Kami menilai Gereja terkesan lamban dalam menanggapi pengaruh sosialisme. Gereja kurang cepat menanggapi persoalan yang melingkupinya. Jikalau mau melihat ke belakang, “Social Chatolics” sudah menanggapinya dan menampilkan perspektifnya dalam menaggapi sosialisme. Akan tetapi, Gereja tetap berada dalam kemapanan. Gereja hanya bermegah dalam menara gading, kurang mendunia<br />Paus Leo XIII dianggap sebagai tokoh pemberani yang menaggapi pengaruh sosialisme dan menerima perspektif ”Social Chatolics” sekaligus. Langkah yang diambil, baik oleh “Social Chatolics” maupun Paus Leo XIII merupakan suatu langkah aktual bagaimana iman itu dikonfrontasikan dengan persoalan dunia. Dengan demikian, iman Kristiani betul-betul mendarat dan menyapa dunia. Terobosan ini kami anggap istimewe karena terobosan itu merombak segala perspektif tradisional yang memandang Gereja hanya berperan di dalam gedung dan sangat eksklusif. Rerum Novarum merupakan suatu bukti keterlibatan awal Gereja dalam meneruskan aksi “Social Chatolics’ dan menanggapi persoalan dunia. <br /><br />6. How does the legacy of Rerum Novarum continue to influnce roman Catholic through adn action?<br />Rerum Novarum menjadi tonggak sejarah dan titik berangkat bagaimana Gereja betul-betul menyadari diri sebagai kaum yang hidup di dunia. Gereja merasa terpanggil untuk terlibat dalam persoalan dunia. Cara berpikit Gereja akan dirinya sendiri serentak berubah bukan lagi sebagai pihak yang hanya mengurusi hal-hal liturgis dan menempatkan diri sebagai pihak yang dari jauh memandang dunia, tetapi Gereja menyadari diri sebagai bagian dari dunia yang turut merasakan kepedihan dunia.<br />Perubahan cara berpikir ini mengharuskan Gereja untuk bertindak. Gereja berangkat dari Rerum Novarum untuk aktif terlibat dalam menanggapi masalah-masalah sosial. Persoalan yang dialami kaum buruh akibat badai industrialisasi merupakan persoalan awal yang menggelitik Paus Leo XIII untuk segera bersuara. Dan selanjutnya, cetusan ini menjadi referensi bagaimana Gereja tidak henti-hentinya bersuara. Kini Gereja berada pihak tertindas dan mengaktualisasikan warta keselamatan Kristus secara konkrit kepada mereka yang menderita. Peranserta Gereja bukan lagi berkotbah tetapi menyerukan keadilan, perdamaian, dan kebenaran. Dengan demikian, Gereja betul-betul bertindak dalam dunia dan mentadari diri sebagai bagian dari dunia. Warta Yesus betul-betul mendarat walau masih harus terus diperjuangkan.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-70353342150222008612010-05-06T03:11:00.000-07:002010-05-06T03:12:56.898-07:00ajaran Sosial GerejaGEREJA; KETERLIBATANNYA DALAM MASALAH SOSIAL<br />(Fabianus Selatang NIM; 07.09042.000004)<br /><br /> Gereja sejak awal mula juga ditandai oleh latar belakang yang beragam. Orang-orang Yahudi “asli” menjadi Kristen, orang bukan Yahudi yang menganut agama Yahudi yang menjadi Kristen dan orang-orang kafir yang menjadi Kristen merupakan cikal bakal gereja yang mula-mula bersifat ragam. Jelas bahwa gereja tidak tertutup/isolasi diri, tetapi ia terbuka pada siapa saja dan di mana saja. Berbicara mengenai gereja tentu bukan gereja yang abstrak, tetapi gereja yang nyata mendunia. Gereja merupakan; umat yang berhimpun dan percaya pada Tuhan, juga gereja yang mengacu pada bangunan. Jikalau demikian, gereja yang ada di tengah umat dan mendunia, mesti melibatkan dirinya dalam hidup manusia. <br /> Gereja tidak terlepas dari kehidupan sosial kemasyarakatan. Maka pandangan bahwa gereja adalah “tanda dan sarana perdamaian yang dengan cara berbeda, berbeda dalam nilai tetapi semuanya bersama-sama memperoleh prakarsa belaskasihan ilahi untuk diberikan kepada umat manusia.” Kehadiran gereja dalam kehidupan sosial merupakan “tanda dan sarana,” untuk mewartakan kasih Kristus kepada dunia. Gereja dipanggil untuk terlibat dalam masalah sosial. Keterlibatan gereja dalam masalah sosial tidak lahir secara spontanitas atau lahir dari dirinya sendiri, melainkan gereja ingin meneruskan pesan pewartaan Kristus. Pesan pewartaan Krsitus yang nyata dalam sikap, tutur kata, tindakan, perbuatan-Nya yang tidak pernah eklusif dalam berelasi. Ia merangkum semua orang; yang sakit, lumpuh, miskin dan sebagainya. Keterlibatan gereja dalam masalah sosial, juga mengambil dasar pada pola, sikap dan tindakan Yesus dalam mewartakan nilai-nilai Injili. Yesus telah menunjukkan secara jelas bagaimana Ia menanggapi masalah sosial. Tujuannya jelas yakni ingin mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai citra Allah. Misi gereja dan segala bentuk keterlibatannya dalam masalah sosial juga melanjutkan misi Yesus sendiri yakni menyelamatkan umat manusia. Dengan demikian, gereja sesungguhnya menunjukkan identitasnya dan sifatnya yang universal. Keterlibatan gereja dalam masalah sosial merupakan perwujudan dirinya, tanda dan sarana Kristus untuk mengejawantahkan nilai-nilai kemanusian. <br /> Gereja muncul karena penyerahan diri-Nya kepada manusia. Jikalau demikian, gereja dituntut juga untuk menyerahkan diri dan terlibat dalam masalah sosial. Keperpihakan gereja dalam masalah sosial tentu mempunyai dasar yang jelas. Misalnya, kita melihat dan membaca dalam Kis 6:1-2; bagaimana janda-janda yang berlatarbelakang bukan Yahudi diterlantarkan. Namun, gereja memberikan jalan keluar dengan dipilihnya para diakon (Kis 6:2-7). Dalam kaitan dengan film “the new rules of the world” di sana banyak masalah sosial yang ditemukan, misalnya kemiskinan, jam kerja tenaga kerja yang banyak namun tidak sesuai dengan upah yang diterima, pengangguran, pendidikan yang dimiliki oleh tenaga kerja, masalah perarturan, organisasi serikat buruh lemah dalam menangani para pekerja, gaji para pekerja, dan kediktatoran pemimpin perusahaan. Film ini menunjukkan fakta sosial yang sesungguhnya terjadi sekarang ini. Dari masalah yang muncul saya dapat mengatakan bahwa di sana lahir dan muncul bentuk kemerosotan moralitas. Kemerosotan moralitas tampak dalam pemerasan para pekerja yang tidak terlindungi undang-undang dan asosiasi.<br />Ketamakan manusia dan proses produksi secara keseluruhan melahirkan suatu situasi di mana segelintir orang kaya memperpudak massa pekerja yang tidak memiliki sarana produksi. Nah, dalam Rerum Novarum (RN) dengan tegas mengecam pemecahan sosialis yang mengingkari hak milik pribadi. Kaum Sosialis berpendapat, penghapusan milik pribadi individu dan pengalihannya kepada kepemilikan Negara, sebagai pemecahan atas masalah kaum buruh. Rerum Novarum sungguh membela hak-hak para kaum buruh untuk memiliki barang melalui kerja keras mereka. Inilah hak kodrati manusia, pria maupun wanita. Meniadakan hak ini berarti memperkosa hak-hak para pemilik yang sah. <br />Mengapa gereja terlibat dalam masalah sosial? Pertama-tama harus diakui bahwa Yesus peduli dengan masalah-masalah yang terjadi di sekitar-Nya, masalah yang konkret yang dialami oleh manusia setiap hari. Dalam Mat 25:44 Yesus bersabda: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini kamu telah melakukannya untuk Aku", Amanat Yesus yang terungkap dalam kitab Matius tersebut menunjukkan bahwa Yesus sungguh-sungguh ingin memperjuangkan dan melindungi nilai yang lebih tinggi yakni nilai kemanusiaan. Bagi Yesus setiap manusia memiliki martabat yang luhur dan harus dihargai. Selama hidup-Nya, Yesus sangat menaruh perhatian pada persoalan ini, juga pada kesulitan den penderitaan setiap orang. Contoh lain, dapat kita lihat dalam perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik hati. Dalam perumpamaan itu sesungguhnya Yesus ingin mengajarkan dan mengajakan kepada semua orang untuk membuka diri dan bersedia membutuhkan sesama. Karena itu, amanat dan pesan Yesus "Pergilah dan berbuatlah demikian" (Luk.10:37), kiranya menjadi tolok ukur dan gambaran bagi gereja dalam meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Yesus sendiri. <br /><br />Bagaimana gereja terlibat dalam masalah sosial? Pertama, Keberpihakan Gereja pada orang miskin dan tersingkir. Seperti Yesus yang rnengambil rupa "hamba" dalam pelayanan-Nya di tengah umat manusia (Flp.2:6-7) dan rela "menjadi miskin" (2Kor.8:9), demikian juga diharapkan Gereja mampu dan berani menjadi pelayan, menjadi miskin dalam menunaikan misi penyelamatan yang sudah dimulai oleh Kristus di tengah dunia. Bahkan Konsili Vatikan II menegaskan : "Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula "(GS 1). Gereja menyadari bahwa pelayanannya untuk kaum miskin, yang tertindas, kaum buruh, dan sebagainya, tidak cukup hanya melalui tindakan karitatif saja melainkan juga melalui tindakan yang lebih struktural. <br />Untuk menciptakan kondisi yang adil, perlu adanya upaya membongkar struktur-struktur dalam masyarakat yang menyebabkan ketidakadilan tersebut. Gereja diutus untuk membawa pembebasan kepada umat manusia melalui perjuangannya dalam merombak struktur yang tidak adil dan menindas, menjadi struktur yang menghargai semua martabat pribadi manusia tanpa terkecuali. Nah, persis pada point ini “menghargai semua martabat pribadi” yang diperjuangkan oleh gereja Katolik. Point ini juga yang diperjuangkan oleh Yesus sendiri. Jadi, misi gereja dalam keterlibatanya dalam masalah sosial mengambil tempat yang penting pada point penghargaan martabat semua orang, tanpa memandang suku, agama, ras dan budaya. <br />Kedua, Gereja merupakan representasi dari suara “pembebasan”. Realitas yang saya temukan dari film di atas, menantang dan sekaligus ingin membongkar tatanan gereja dari situasi kemampanan. Memang realitas yang disebutkan di atas, ada titik kebenarannya dalam konteks gereja indonesia. Gereja katolik jangan sampai hilang visi profetis dan praksis sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Karena jikalau itu ada, Gereja dapat dikatakan sebagai dan bahkan ”menara gading” atau ”menara babel” yang hanya menjadi media jemaat untuk ”bersua” dengan Tuhan pada hari/tanggal yang diatur, namun tidak bisa berrelasi dengan alam realitas yang penuh ketidakadilan dan ketidakbenaran. <br />Pewartaan Injil yang ”autentik” yang dieksponarasikan perbuatan Yesus, menuntut gereja (dalam konteks luas: umat kristiani) untuk ikut ambil bagian dalam perjuangan merombak struktur ketidakadilan dan ketidakberpihakan yang dialami oleh masyarakat miskin, terlantar, lemah baik secara ekonomi maupun pendidikan. Sikap dan tindakan gereja mesti dilandaskan pada spirit iman, dan sikap persaudaraan bagi sesama manusia. Di manakah letak gereja sebagai representasi suara ”pembebasan?”. Gereja sebagai representasi suara “pembebasan” artinya gereja hendaknya menjadi fasilitator penyebar-luasan nilai-nilai keadilan kepada jemaat dan komunitas masyarakat sipil. ”Gereja” bagaimanapun dalam konteks relasi masyarakat vis a vis negara, adalah masuk dalam struktur civil society, yang bisa berperan menjadi kekuatan kritis terhadap politik kekuasaan (negara) yang merugikan masyarakat. Gereja harus lebih aktif dalam program-program pengembangan kemandirian dan kritisisme masyarakat sipil. Suara ”pembebasan” yang hendaknya dikatarsiskan dan dikampanyekan oleh gereja secara luas dan intensif di ruang publik maupun di ruang ritual peribadatan adalah nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, hak asasi manusia, pluralitas dan kejujuran.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-26660171632861717312010-05-06T03:10:00.000-07:002010-05-06T03:11:19.892-07:00ajaran Sosial GerejaRESENSI BUKU<br /><br /><br />Judul : Gereja Diaspora<br />Pengarang : Rm. Y. B. Mangunwijawa, Pr<br />Halaman : 230 halaman<br />Penerbit : Kanisius Yogyakarta, 1999<br /><br />(Oleh Fabianus Selatang)<br />(07.09042.000004)<br /><br /><br /><br /> Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi ternyata bukan hanya membawa dampak positif bagi manusia, tetapi juga dampak negatif. Dampak positifnya sangat besar. Di mana-mana manusia menggunakan tekhnologi. Sistem kerja yang menggunakan tenaga manusia, diganti dengan mesin-mesin produksi. Dalam konteks Gereja Diaspora, proses industrialisasi ternyata menghantam kemapanan hidup manusia dalam suatu tempat yang serba terbatas dan sempit. Proses industrialasasi merupakan salah dampak dari perkembangan tekhnologi. <br /> Proses industrialisasi menawarkan banyak peluang dan kemudahan kepada manusia. Rm. Mangun merefleksikan bahwa adanya industrialisasi, melahirkan transmigrasi, urbanisasi dan transmigrasi besar-besaran. Orang desa berbondong-bondong ke kota untuk mencari pekerjaan. Inilah yang menyebabkan manusia terpencar-pencar sesuai dengan tempat kerjanya. Keadaan yang demikian itulah yang kemudian disebut sebagai Diaspora. <br /> Diaspora adalah benih-benih yang serba tersebar, terpencar-pencar, tidak kompak dalam suatu tempat, tidak terisolasi dan terkosentrasi dalam suatu wilayah yang tertutup. Inilah dampak industrialisasi yang menimpa umat Katolik Indonesia ketika Belanda pergi dan Jepang menguasai Indonesia (hlm. 27). Bertolak dari konteks ini, Rm. Mangun mencetuskan gagasan Gereja Diaspora sebagai kearifan bagi pembaharuan dan pertumbuhan Gereja di Indonesia. Gagasan Gereja Diaspora Rm. Mangun sesungguhnya hendak menyuarakan kembali amanat Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II merombak cara padang Gereja sebelum Konsili Vatikan II, di mana ada perbedaa antara “kaum berjubah dan kaum awam”. <br />Eklesiologi Rm. Mangun. Gereja di Indonesia lahir dan terbentuk dari proses sejarah. Proses sejarah masa lalu di mana proses penyebaran Gereja terlaksana bersamaan dengan penaklukan bangsa-bangsa yang dianggap tidak beradab. Misalanya pada paruh kedua abad XV ekspansi bangsa Spanyol, Belanda, Portugis untuk menemukan daerah-daerah baru merupakan babak baru rangkaian penyebaran Gereja. Kenyataan sejarah inilah yang menempatkan Gereja di Indonesia sebagai bahagian dari ekspansi Barat dalam semangat imperialisme. Masa sejarah panjang ini bagi Rm. Mangun selain dilambangkan oleh salib dan pedang, persekutuan agama dengan penguasa juga dilambangkan dalam istilah “Persekutuan Yesus dengan Pontius Pilatus dan Herodes”. Rm. Mangun, tanpa harus menutup-nutupi fakta sejarah bahwa seluruh sejarah perutusan suci tersebut, agama (Gereja) diperalat demi kepentingan-kepentingan keserakahan uang dan emas. Gereja dijadikan topeng motifasi yang mencelakakan ratusan juta rakyat kecil. <br />Paket kolonialisasi dan penyebaran Gereja seperti yang diungkapkan Rm. Mangun, dengan strategi 3M (aliansi militerisme, Merchant, dan Missionaris) merupakan tritunggal imperialisme dan kolonialisme yang menimbulkan trauma sosial bagi masyarakat di luar komunitas Gereja. Akibat lain semangat kolonialisme disadari atau tidak, Gereja di Indonesia masih sulit melepaskan diri dari mentalitas seperti induk di Barat. Rm. Mangun menyebutnya sebagai sikap mental gereja “jaya wijaya”. Mentalitas peradaban superior teridentifikasi dalam sekelompok manusia yang mengikatkan diri dalam gereja. Gereja yang merasa diri paling hebat.<br />Rm. Mangun memilih bekerja di luar struktur Gereja. Pilihan hidup seperti ini merupakan salah satu bentuk ekspresi penghayatan hidup yang didasarkan hati nurani. K.H. Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa Rm. Mangun tampil secara utuh sebagai seorang yang menentang feodalisme, termasuk di dalamnya feodalisme Gereja. Lebih lanjut dikatakan: “Maka adalah menarik dalam diri Rm. Mangun bahwa moralitas digumpalkan dalam bentuk tindakan nyata yang sebetulnya sederhana.”<br /><br />Gagasan Gereja Diaspora<br />Gereja sebagai Paguyupan umat Allah. Dengan melihat konteks kediasporaan umat Katolik di atas, maka Rm. Mangun mengusung konsep paguyupan umat Allah. Konsep paguyupan umat Allah ini, memiliki fondasi dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Hakikat keberadaan Gereja sebagai persekutuan umat Allah digambarkan seperti suatu perjalanan.<br />Gereja sebagai paguyupan umat Allah yang digagas oleh Rm. Mangun sangat tepat dan kontekstual dengan melihat kenyataan dalam umat Katolik di Indonesia. Akan tetapi, konsep umat Allah tidak dapat disamakan dengan aspek perjalanan seperti perjalanan umat Israel dalam Perjanjian Lama, tetapi sungguh menyetuh makna universal. Artinya, Gereja sebagai paguyupan umat Allah selalu berada dalam kesadaraan sebagai persekutuan bersama dengan seluruh umat manusia.<br />Gereja jaringan atau Gereja simpul-simpul. Gereja model ini berpijak pada realitas heterogen, amburadul dalam situasi sosiologis dan politis minoritas, tidak beranggotakan orang orang yang berdasarkan daerah, tetapi pada lapangan kerja (hlm. 72). Realitas heterogen inilah yang membedakan dengan Gereja Teritorial. Meskipun umat terpencar-pencar sesuai lapangan kerjanya, tetapi komunikasi dengan sesama tetap terjalin dengan baik. Komunikasi lintas wilayah, tempat dan daerah yang berbeda inilah yang oleh Rm. Mangun akhirnya membentuk suatu sistem jaringan atau Gereja simpul-simpul. Meskipun mereka terpencar, mereka tetap tunduk dan taat pada otoritas Gereja setempat di mana mereka tingggal.<br />Gereja teritorial. Gereja teritorial yang sepenuhnya melambangkan dan mengaktualisasikan cita-cita Kristus. Pelayanan dalam dinamika kota industri, bisnis, struktur jaringan lintas teritorial meceraikan seluruh kehidupan. Fenomena yang terjadi di mana situasi ipoleksosbudhankamling serta perkembangan tekhnologi informasi yang canggih membuat umat jauh dari paroki, lingkungan dan keuskupan dan membuat umat menjadi diaspora pangkat dua. Dalam kerangka pewartaan, maka perlulah adanya penyesuaian dan keseimbangan anatara perbuatan dan tata keadaan ( lex agendi lex essendi). Di sini juga perlu kelihaian gembala bukan hanya Imam dan Uskup, tetapi dalam konteks struktur Diaspora adalah siapa saja yang beriman kristiani. Panggilan untuk mewartakan Kristus di dasarkan pada pembaptisan. Dari pembaptisan semua orang dipanggil untuk menjalankan fungsi pemersatu, peneguh, iman dan cinta kasih.<br />Organisme dan Organisasi. Gereja bukan sebagai organisasi yang hanya menekankan pada peraturan, hukum, tata pelaksanaan, birokrasi, hubungan hierarki dengan yang dipimpin, melainkan suatu organisme. Gambaran Gereja sebagai suatu organisme, dilukiskan seperti kesatuan tubuh, yang masing-masing bagian anggota tubuh melakukan fungsinya, tetapi tetap terarah pada satu tujuan. Betapa dalamnya makna gambara Gereja sebagai suatu organisme yang dikedepankan oleh Rm. Mangun ini. Gambaran ini tidak terlepas dari konteks di mana banyak umat katolik yang terpencar-pencar dan jauh dari yang lain (hlm 86).<br /><br /> Pada bagian akhir dari bukunya ini, Rm. Mangun hendak mengajak pembaca untuk merefleksikan kembali koteks Gereja Diaspora di Indonesia dengan perkembangan sejarah sekaligus tantangan masa depan Gereja Indonesia. Perkembangan sejarah yang maksud di sini merujuk pada konteks di mana pada awal abad ke-3 Gereja berbasis biara-biara. Gereja tidak lain dari para biarawan/biarawati, misionaris yang mewartakan Injil Yesus Kristus. Biara adalah pusat. Dengan demikian, makna Gereja disempitkan pada lokus dan orang terntentu. Gejala lain adalah ketidakterpisahan antara Gereja dan Negara. Rm. Mangun memberikan istilah Gereja Negara. Negara ikut campur tangan dengan urusan Gereja. Ataupun sebaliknya. <br />Maka, tidak mengherankan jikalau kedatangan misionaris ke Indonesia membawa tiga strategi sekaligus yang disebut dengan istilah 3M (aliansi militerisme, Merchant, dan Missionaris).<br /> Oleh karena itu, Rm. Mangun mengajak pembaca untuk membuka mata akan keotentikan nilai pewartaan kita. Ia mengajak pembaca untuk menemukan kembali penaggilan kita semula dan asli yakni mewartakan Kabar Gembira Yesus Kristus. Dalam konteks hidup bangsa Indonesia, impian untuk mewujudkan cita-cita Yesus mengenai kesatuan “ Ut Omnes Unum Sint” agar semuanya menjadi satu (Yoh 17:11) menjadi inspirasi dalam mewujudkan Gereja yang universal (unitas). Gereja Indonesia yang berada dalam konteks yang beragam dan bersentuhan dengan proses globalisasi tidak untuk mencita-citakan penyeragaman. Dalam arti tertentu, Gereja Diaspora akan berpijak pada kebudayaan lokal dalam cakrawala global.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-37427032766312827562010-05-06T03:06:00.000-07:002010-05-06T03:08:05.881-07:00teologi pastoral kaum mudaKAUM MUDA : TEKS <br />Sebuah upaya pastoral dalam membina kaum muda<br />(Pendekatan Pastoral Dari bawah)<br />By fabianus Selatang, Smm<br />1. Pengantar<br />KAUM MUDA: TEKS. Judul ini kesannya sangat sederhana dan mungkin membingungkan. Penulis mengusung tema ini berdasarkan kenyataan model pastoral kaum muda katolik dewasa ini juga merupakan kristalisasi diskusi selama perkuliahan Teologi pastoral selama ini. Penulis mengangakat tema sebagai sebuah upaya pastoral dalam membina kaum muda katolik. Metode pendekatan adalah dari bawah. Pendekatan dari bawah yang kami maksudkan adalah penulis berangkat dari kaum muda itu sendiri, penulis pertama-tama melihat kaum muda sebagai “teks”, sebagai subjek dan bukan sebagai obyek kajian. Artinya membiarkan “teks” itu sendiri (kaum muda) yang berbicara. <br />Dewasa ini, sesuatu yang tak dapat dipungkiri bahwa seringkali kita mendengar pembicaraan mengenai kaum muda selalu berangkat dari sudut padang atau perspektif mereka. Kaum muda dijadikan sebagai objek kajian. Kaum muda sebagai sasaran penelitian. Dampaknya, seringkali orang melihat segala ketimpangan dan kekurangan yang terjadi dalam diri kaum muda, seolah-olah itu adalah kesalahan dan kelamahan kaum muda dan langsung dialamatkan kepada mereka. Dengan kata lain, metode pendekatanya adalah pendekatan dari atas. Pendekatan yang demikian cenderung bersifat subjektif.<br />Pendekatannya bersifat subjektif. Artinya pembina berusaha mencocok-cocokan apa yang ada dalam pikirannya dengan realitas yang dialami oleh kaum muda. Penulis tidak hendak mengatakan bahwa pendekatan ini jelek dan tidak baik, tetapi penulis mencoba melakukan sebuah terobosan baru. Terobosana itu adalah dengan melakukan pendekatan dari bawah, dari kenyataan kaum muda.<br />Dalam uraian selanjutnya, penulis akan menguraikan beberapa metode yang dapat memberikan pendasaran dan masukan bagi pendampinagan kaum muda. Namun, sebelum masuk pada metode pendekatan ini, penulis akan menguraikan latar belakang permasalah, kaum muda adalah teks, sebuah upaya baru, metode dan pendekatan dan akhirnya penutup.<br />2. Latar belakang masalah<br /> Dewasa ini, banyak orang mempunyai keprihatinan akan peran kaum muda katolik dalam Gereja. Keprihatinan mereka oleh karena banyak kaum muda yang kurang terlibat dalam kegiatan mengggereja. Banyak kaum muda katolik yang mencoba menghindar dari kegiatan-kegiatan menggereja. Tak jarang kita juga menjumpai hal yang sangat fenomenal dalam masyarakat di mana banyak kaum muda Katolik yang pindah agama.?<br /> Dalam menyikapi fenomena seperti itu, seringkali sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang pribadi atau sudut pandang mereka yang berkecimpung dalam karya pastoral kaum muda. Kita berbicara mengenai kaum muda beradasarkan apa yang tampak secara lahiriah, apa yang ada dalam benak, dan apa yang terkonsep dalam pikiran kita. Apa akibatnya? Kita tidak dapat mengatakan apa-apa mengenai realitas yang dialami oleh kaum muda. Dengan demikian, konsep, rancangan dan argumentasi kita tidak menjawab dan menyentuh sama sekali apa yang dialami oleh kaum muda. <br /> Fenomena lainnya di mana model pembinaan kaum muda dewasa ini lebih bersifat kolektif. Artinya tidak ada perbedaan satu dengan yang lain baik dari segi usia maupun pendidikan, karena batasan usia kaum muda juga mengalami kekaburan. Tida ada teori yang pasti. Ketidakjelasan batasan usia ataupun pendidikan merupakan internal kelemahan karya pastoral kaum muda dan akhirnya membuat kaum muda itu sendiri bingung. Implikasinya sangat jelas terhadap pembinaan kaum muda. Arah dan tujuan yang hendak mau dibawa atas kaum muda menjadi kabur. Hampir pasti metode yang pakai dan diterapkan kepada semua kaum muda sama. Tidak ada perbedaan. Dengan kata lain, Formasi Dasar dalam rangka pembinaan kaum muda belum terlalu kuat dan dalam <br /> Kecenderungan umum dalam rangka pembinaan kaum muda tercermin dalam ungkapan klise ”agar kaum muda dikemudian hari mampu bertanggung jawab atas keberlangsunagn Gereja.” Pernyataan ini seolah-olah kaum muda dalam ke-pemuda-annya belum menunjukan dirinya sebagai bagian dari Gereja dan bertanggung jawab terhadap Gereja. Dengan adanya ungkapan seperti ini, secara tidak langsung memvonis kaum muda bahwa mereka tidak ada artinya apa-apa terhadap Gereja dan tidak memberikan sumbangan yang bernilai bagi keberlangsungan hidup Gereja.<br /> Kenyataan lain bahwa pembinaan kaum muda katolik masih ditangani oleh para frater, bruder, suster dan pastor. Ini sangat berpangaruh terhadap model pembinaan kaum muda. Implikasinya sangat jelas, di mana kegiatannya lebih fokus pada kegiatan rohani semata misalnya ibadat, retret, rekoleksi, camping, piknik dan sebagainya, sedangkan kegiatan yang memasyarakatkan kaum muda kurang mendapat perhatian yang serius. Kegiatan-kegiatan yang bersifat rohani bukan berarti tidak baik, tetapi tidak ada keseimbangan antara yang rohani dan profan (kegiatan kemasyarakatan). Sasaran kegiatan rohani ini agar mereka semakin dekat dengan gereja, kembali kepangkuan Gereja atau mereka berkumpul asal kumpul karena senang dengan teman-teman. Akhirnya mereka tidak melihat manfaat dan arah kegiatan bagi hidup mereka. Apa yang melatarbelakangi semuanya itu? <br /><br />3. Kaum Muda: Teks<br /> Uraian mengenai mengenai “kaum muda: teks” mungkin sebuah upaya baru dalam pendekatan pastoral terhadap kaum muda katolik. Yang baru bukan mau mengatakan bahwa model pendekatan pastoral terhadap kaum muda sebelumnya atau sebagaimana yang diungkapkan dalam latar belakang masalah di atas tidak sesuai dengan zamannya lagi atau model pendekatan lama. Yang baru maksudnya lebih pada sebuah trobosan dalam rangka membina kaum muda katolik secara utuh. Dikatakan sebagai sebuah trobosan baru, karena selama ini hal ini mungkin luput dari perhatian para agen pastoral terutama mereka yang secara khusus menangani kaum muda katolik.<br /><br />Siapakah kaum muda? Pertanyaan ini tidak bermaksud untuk memberikan definisi secara definitif terhadap kaum muda apalagi definisi kaum muda berdasarkan usia. Penulis tidak membatasi kaum muda berdasarkan usia, sebab banyak teori yang dapat mengklasifikasi kaum muda. Namun, penulis melihat kaum muda sebagai “teks”. <br /><br />“Teks” ini mempunyai kompleksitas nilai yang hendak ia perjuangkan dan permasalahan yang dihadapinya. Oleh karena itu, seorang pembina atau agen pastoral harus sungguh-sungguh mengetahui dan mengenal “teks” itu secara mendalam. Mengetahui dan mengenal bukan hanya sebatas hal-hal lahiriah, melainkan lebih pada bagian integral dari dirinya. Mengenal dia apa adanya. Dia yang tidak berdasarkan konsep dalam diri para pembina. Dia yang tidak direduksi oleh segala pengetahuan yang sudah terkonsep dan tersusun rapi dalam pikiran para pembina. Dia yang tidak tereklusif oleh konsep, tetapi dia yang selalu terbuka terhadap kemungkinan. Dia adalah medan yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan. Kemungkinan-kemungkinan itu antara lain; idealisme yang tergolong masih murni, daya juang yang bebas dari perhitungan untung rugi, optimisme dan kegairah hidup, dinamisme dan kreativitas dan sebagainya. Dengan kata lain, dia yang hadir dan tampil sebagaimana adanya. Jadi, mengetahui dan mengenal berarti para pembina mesti berenang dalam lautan dunianya, dalam dirinya, hidupnya, kompleksitas potensi yang ada dalam diri kaum muda.<br />Oleh karena kaum muda masih memiliki segala kemungkinan, maka yang sangat perlu diperhatikan adalah para pembina kaum muda katolik harus berpikir objektif dan bukan berpikir subjektif. Berpikir subjektif terkesan di sana ada unsur pemaksaan, di mana segalanya mesti sesuai dengan keinginan atau perasaan subjek yang empunya pikiran. Subjek yang dimaksud tidak lain adalah mereka yang membina dan menangani kaum muda katolik. Sebaliknya, berpikir objektif tidak lain adalah berpikir positif. Dengan berpikir secara objektif siapapun yang menangani kaum muda akan mampu memberikan nilai yang tepat kepada seseorang menurut adanya atau sesuai kebenaran yang ada dalam diri orang atau kaum muda tersebut. Di sana subjek yang menangani kaum muda berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan pola pikir dan kondisi subjek yang sebanarnya. Penulis merasa bahwa hal ini masih kurang diperhatikan dalam kerangka membina kaum muda katolik.<br /><br />4. Sebuah upaya baru<br />Dengan melihat sekian persoalan yang terungkap dalam latar belakang masalah di atasa maka, pada bagian ini penulis memaparkan beberapa solusi yang terungkap dalam metode dan pendekatan kaum muda yang ditawarkan oleh penulis. Namun, untuk sampai pada motede dan pendekatan yang diupayakan baiklah kita menelisik persoalan itu dan mencari kemungkinan lain untuk dapat menjawab segala persoalan yang tengah terjadi dengan kaum muda katolik dewasa ini.<br />Di atas telah dikatakan bahwa pembinaan kaum muda masih berfokus pada hal-hal rohani yang diberikan oleh kaum berjubah. Pernyataan ini tidak dapat disangkal kerena memang demikianlah kenyataannya. Oleh karena itu, untuk sampai pada hal ini, maka penulis menelisik situasi pastoral. <br />Tinjauan mengenai situasi pastoral kaum muda dalam Gereja tidak terlepas dari tiga komponen yang terlibat aktif atau seabagai agen pastoral. Ketiga komponen itu adalah klerus (hierarki), kaum religius (biarawan/i) dan kaum awam. Sebagaimana yang sudah disingaliri bahwa pola pastoral masih lebih menitik beratkam pada kaum religius daripada umat Allah. Tidak mengherankan karena kaum religius dipersiapkan secara khusus menjadi agen pastoral. Ke sanalah mereka dipanggil. Persoalannya ketika pola ini berjalan, terasa dan sangat tampak bahwa segalanya harus diatur dari atas. Semua harus berjalan sesuai pola dan menerapkan secara metah kepada kaum muda.<br /> Kenyataan ini sangat kental dan terasa terhadap arah dan warna pembinaan kaum muda katolik. Oleh karena terlalu menekankan struktur hierarki, maka peran kaum awam kurang mendapat tempat dalam karya pastoral Gereja. Kaum awam hanya sekadar pambantu para biarawan/biarawati dalam kegiatan pastoral. Partisipasi dan keterlibatan kaum awam lebih bersifat sebagai pembantu. Hal yang lebih menyedihkan juga di mana kaum muda tidak diberikan kesempatan untuk memimpin terhadap kaum muda lainnya. Suara-suara mereka kadang tidak didengarkan, bahkan tidak diberi kesempatan dan kepercayaan untuk memegang suatu tanggung jawab tertentu kendati pun ada, hal itu tidak menunjukan bahwa mereka sangat diperlukan. Kaum muda pada umumnya masih dianggap tidak mampu. Dengan kata lain, wajah pastoral Gereja katolik adalah wajah lama dan karenanya banyak kaum muda di tempatkan di pinggiran, tidak melibatkan dirinya secara utuh dan penuh.<br /><br />Kurang terlibatnya kaum muda dalam hidup menggereja, pindah agama yang terjadi di kalangan kaum muda, bisa jadi orang muda tidak berminat lagi atau tidak simpatik dengan cara pendampingan terhadap kaum muda. Selain itu, mungkin juga karena tidak adanya klasifikasi yang jelas dalam soal pembinan kaum muda. Metode pendekatannya yang mungkin perlu dibenahi. Di bawah ini, penulis menawarkan beberapa metode dan pendekatan:<br /><br />1. Pendekatan Pribadi<br /> Pendekatan pribadi dipakai karena pribadi manusia adalah khas. Khas dalam arti seorang berbeda dan unik dari orang lain. Oleh karena itu, pendampingan dan pembinaan kaum muda harus juga ditemui dan dibina dalam kekhasan itu sebagai diri yang unik, sehingga pribadi (kaum muda) tersebut berkembang sepenuhnya. <br /> Pendekatan pribadi bertujuan untuk menyapa mereka sebagaimana adanya. Menyapa atas kebutuhan, keinginan, harapan, persoalan, kecenderungannya, psikologinya dan sebagainya. Dalam kaitan dengan uraian menganai kaum muda: teks, itu berarti seorang pendamping perlu melihat, membaca, mengerti “teks” itu sebagaimana adanya dan mengambil langkah selanjutnya. Melihat berarti melihat apa adanya “teks” itu, tanpa dipengaruhi oleh berbagai hal lain, cara pandang, konsep, dan sebagainya. Membaca artinya pembina mesti mengetahui keadaan, situasi, latar belakang keluarga, pendidikan, usia “teks” tanpa harus menginterpretasikan “teks”. Mengerti artinya pembina mesti sungguh-sungguh memahami kebutuhan dari “teks” itu sendiri.<br /> Ketiga point di atas, penting sebagai bahan dasar yang dapat diolah oleh pembina dalam mendampingi kaum muda. Pembina tidak dengan serta merta mendikte kaum muda, tanpa harus terlebih dahulu melihat, membaca dan mengerti “teks”. Pendekatan pribadi akan membawa manfaat. <br /><br /> 2. Pendekatan Kelompok<br /> Pendekatan ini merupakan pembinaan pribadi dalam kelompok maupun kelompok sebagai suatu kesatuan yang dinamis. Pendekatan kelompok yang dimaksud mencakup kelompok kecil dan besar. <br /> Pertama kelompok kecil. Dalam kelompok kecil seperti ini, pembinaan kaum muda akan terasa sangat efektif, karena dalam kelompok kecil ini seorang pembina akan mengetahui dengan pasti segala potensi yang ada dalam diri kaum muda. <br /> Kedua, kelompok besar. Dalam kelompok ini, akan membantu setiap pribadi untuk mengenal lingkungan kaum muda dan mengenal satu dengan yang lain. Pengenalan lingkungan ini, bermanfaat untuk saling meneguhkan satu dengan yang lain. <br /><br />METODE<br />Metode-metode yang digunakan dalam pembinaan umumnya adalah metode androgogi dengan ciri-ciri eksperiensial dan dialogis partisipatif. <br /><br />1. Eksperiensial<br /> Ciri yang pertama ini hendak mengajak kaum muda untuk menggumuli pengalaman-pengalaman hidup/iman untuk menemukan sendiri arti dan makna baru bagi perkembangannya. Pergumulan dengan pengalaman pribadi kaum muda membantu mereka untuk bertumbuh dan berkembang sebagai pribdai yang dewasa. Mereka perlu menggali pengalaman, agar dari sana akan terlihat dengan jelas motivasi, kerinduan dan harapan ketika mereka bergabung dengan teman-teman lainya.<br /> Mengapa hal ini penting? Karena dengan mengetahui pengalaman entah yang menyenangkan atau yang menyedihkan, kaum muda dibantu untuk menerima pengalaman itu dan menjadikan pengalaman itu sebagai sesuatu yang berarti baginya serta membantu pembina untuk mengarahkan kaum muda sesuai yang mereka dambakan. <br /><br />2. Dialogis partisipatif<br /> Dialogis partisipatif artinya kaum muda itu sendiri sebagai subjek, aktor utama dalam proses pembinaan. Kaum muda bukan sebagai objek kajian semata. Kaum muda mesti terlibat dan aktif untuk mengungkapkan dirinya. Jakalau demikian, maka posisi pambina yang membinan kaum muda bukanlah sebagai pribadi yang bertindak seolah-olah antara bawahan dan atasan. Dalam rangka membangun sebuah lingkungan pembinanaan yang sesuai dengan yang diharapkan, maka ada beberapa point yang mesti ditelisik mengenai agen pastoral atau pembina;<br /><br />a. Pembina sebagai pelayan <br /> Pembinanaan kaum muda sebagai kegiatan pastoral Gereja pada hakikatnya mesti dipahami sebagai pelayanan; suatu keprihatinan aktif yang menyata dalam tindakan yang membebaskan dan menyembuhkan, memekarkan potensi dan pertumbuhan kaum muda dalam menjawab kebutuhan mereka serta memampukan mereka menggumuli pengalaman dan membimbing mereka menuju tujuan hidupnya.<br /> Karya pelayanan pastoral kaum muda dituntut suatu sikap tertentu dari siapa pun yang mau terjun dalam medan pastoral kaum muda. Sikap-sikap itu antara lain sikap sebagai abdi, pelayan yang selalu siap melayani kebutuhan kaum muda dengan menempatkan kaum muda sebagai “teks”, pusat, subjek bina dan bukan sebagai objek yang hanya diperalat untuk kepentingan pembina.<br /><br /> b. Pembinan sebagai pendamping <br /> Baik dalam pendekatan pribadi maupun kelompok, hendaknya selalu diingat bahwa seorang pembina adalah pendamping. Pada poin yang kedua ini, subjek bina atau kaum muda itu sendiri yang akhirnya menentukan dan memilih. Pembina hanya sekedar pendamping. Oleh karena itu, ia hanya bertindak mengarahkan dan menuntun kaum muda. Ia tidak boleh menggiring kaum muda sesuai dengan kemauannya dan arah yang ia inginkan. Pembina tidak memilih dan menentukan serta memutuskan sesuatu, melainkan hanya membantu kaum muda untuk menentukan sikapnya. <br /><br /><br /><br />5. Penutup<br />Pertanyaan di atas; apa yang melatarbelakangi semuanya itu? Jawaban yang kita temukan antara lain: mungkin karena cara pendekatan terhadap kaum muda belum memadai. Gereja memang telah menyediakan wadah untuk membina dan membentuk kaum muda, tetapi seringkali hal itu berbenturan dengan kurangnya tenaga yang sungguh membaktikan dirinya dalam karya pastoral kaum muda.<br />Selain itu, kaderisasi agen pastoral terutama bagi kaum awam masih belum mendapat prioritas yang intensif. Karya pastoral yang hanya diembankan oleh kaum berjubah, kadang dan bahkan tidak menyapa apa-apa persoalan yang dialami kaum muda. Mungkin kerena masih terlalu menekakan pola dan struktur hierarki yang ketat.<br />Kaum awam, sebagaimana yang diungkapkan di atas hanya sebatas sebagai tokoh pembantu para biarawan atau biarawati. Padahal mereka setiap hari ada, hidup dan mengalami secara nyata keberadaan hidup dalam bermasyarakat, mengetahui dengan pasti apa yang terjadi dalam hidup bermasyarakat, sesungguhnya dapat membantu dalam memberikan pendampingan terhadap kaum muda secara baik. Sayang sekali, peran awam belum mendapat apresiasi positit dalam Gereja dalam rangka membina kaum muda. <br /> Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang canggih dewasa ini, bukan sesuatu yang mustahil telah menggiring, membawa, dan menghantam eksistensi kaum muda. Tawaran dunia profan lebih menggiurkan daripada hal-hal rohani. Kaum muda seakan-akan didorong dan dipacu untuk saling bersaing dengan sesamanya untuk meninkmati setiap perubahan dan perkembangan tekhnologi. Hiburan-hiburan yang ditawarkan dunia jauh lebih menarik ketimbang yang ditawarkan oleh Gereja. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, model pendekatan karya pastoral kaum muda semakin ditantang dan diuji.<br />Akhirnya faktor internal kaum muda tidak kurang menjadi penghalang bagi mereka untuk terlibat dan mengambil bagian secara untuh dalam hidup menggereja. Faktor internal itu antara lain; tidak ada kemauan, individualisme yang sangat tinggi, ekslusivisme di mana kaum muda hanya bergaul dan berkumpul hanya dengan teman-temannya sendiri, orang lama, orang yang disenanginya. Ini semua dapat disebut sebagai latar belakang yang membuat mereka mengalami hal-hal seperti yang terungkap dalam latar belakang masalah di atas.<br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />BUKU-BUKU<br />Mukese, John Dami. Menjadi Manusia Kaya Makna. Jakarta: Obor, 2006.<br /><br />Spektrum. Dokumentasi Dan Informasi KWI. No.2 & 3 Tahun XXXIII, 2005.<br /><br />Tangdilintin, Philips. Menjajaki Arah dan Bentuk Kaderisasi Pembina Kaum Muda. Seri Pastoral No. 53, Yogyakarta: Pusat Pastoral, 1981.<br /><br />DATA INTERNET<br /><br />http://www.mail-archive.com/santothomas_kelapa2@yahoogroups.com/msg00216.html, Akses Rabu, 21-4-2010.<br /><br />http://books.google.co.id/books?id=RupZ8_wh5VEC&pg=PA9&lpg=PA9&dq=metode+androgogi&source=bl&ots=UMbN-ISIgq&sig=NUgyUKIseg1Botc-Gk2EkNm7wcQ&hl=id&ei=e7rRS96JB8yyrAfDh9SHDg&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=12&ved=0CCYQ6AEwCw#v=onepage&q=metode%20androgogi&f=false, Akses Jumaat, 23-4-2010. <br /><br />http://akudanomk.wordpress.com/2008/04/29/pendekatan-dan-metode-pembinaan-kaum-muda/, Akses Jumaat, 23-4-2010.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-61390188187850582702010-05-06T03:03:00.000-07:002010-05-06T03:05:59.465-07:00elaborasi etika; kritik atas penegakan hukum tragedi trisaktiKRITIK ATAS PENEGAKAN HUKUM <br />TRAGEDI TRISAKTI<br /><br />I. Pengantar<br /><br />Sejarah perjalanan bangsa Indonesia hingga saat ini, monorehkan luka yang amat dalam. Banyak fenomena sejarah masa lalu bangsa yang suram, hitam dan bahkan diwarnai aksi berdarah. Sejarah masa lalu yang kelam dan berdarah itu, melukiskan suatu tindakan yang tak berprikemanusiaan. Pertanyaannya ada apa dengan masa lalu bangsa Indonesia?<br />Sebagaiman yang kita ketahui bahwa pada tahun 1997, Indonesia mengalami kejatuhan perekonomian. Bersamaan dengan dipilihnya kembali Soeharto pada tahun 1998 menjadi presiden, bangsa Indonesia dilanda krisis ekonomi. Dipilihnya kembali Soeharto menjadi presiden dengan harapan agar dapat menyelamatkan bangsa dan negara serta agar dapat keluar dari krisis ekonomi. Akan tetapi, banyak rakyat Indonesia yang menolak Soeharto menjadi presiden. Bentuk penolakan rakyat terhadap Soeharto, seakan terwakili oleh gerakan demonstrasi mahasiswa-mahasiswi diberbagai perguruan tinggi. Mereka menentang Soeharto menjadi Presiden dan menuntut perbaikan ekonomi yang berada diambang kehancuran.<br />Pertanyaannya ada apa dengan masa lalu bangsa Indonesia? Kasus Trisakti menjadi jawabannya. Tragedi Trisakti menjadi salah satu ikon yang melukiskan sebagian dari sejarah masa lalu bangsa Indonesia yang kelam. Pada tanggal 12 Mei 1998, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh civitas akademika Trisakti, menuai malapetaka. Aksi perlawanan yang terjadi antara mahasiswa dengan pihak aparat keamanan menewaskan empat mahasiswa Trisakti dan puluhan lainnya luka-luka. <br />Kematian keempat mahasiswa Trisakti jelas merupakan bentuk pelanggaran HAM. Pantas jikalau masalah ini diajukan ke meja pengadilan untuk ditindaklanjuti. Akan tetapi, persoalan yang sekian lama ini belum mencapai titik akhir penyelesaian. Persoalan ini seakan terkubur bersama dengan waktu dan para penegak hukum belum menunjukkan jalan kelur yang pasti dan jelas. Inilah bukti bahwa kinerja para penegak hukum sangat memprihatinkan. <br />Sejauh ini, proses penyelesaian kasus ini masih jauh dari rasa keadilan, mengingat hasil rapat Komisi III DPR RI periode 1999-2004 lalu hanya menelurkan keputusan bahwa kasus Trisakti bukan sebuah pelanggaran HAM berat, dan tidak perlu diselesaikan di pengadilan HAM Ad Hoc. Apalagi pemerintahan SBY dan DPR tidak sungguh-sungguh dalam upaya penegakan hukum dalam menuntaskan masalah pelanggaran HAM di Tanah Air ini. Pemerintah dan para penegak hukum sampai saat ini tidak serius mengusut pelaku pelanggaran HAM, dan ini bukti proses reformasi gagal,<br /> Pertanyaan yang patut dilontarkan ialah masih relevankah kita berbicara mengenai penegak hukum sementara di sisi lain ditemukan banyak kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan? Sistem pengadilan yang bagaimana yang dapat diterapkan di Indonesia? <br />Berdasarkan persoalan yang dikemukakan di atas, penulis melihat adanya suatu dilematis dalam penegakan hukum. Di mana letak dilematisnya? Satu sisi ada pengakuan terhadap hukum, tetapi di sisi lain lemahnya penegak hukum. Atas dasar itulah, penulis ingin mengkritik penegakan hukum di Indonesia. Dalam uraian ini, penulis akan menguraikan Hukum dan HAM, Birokrasi Hukum, Kriteria Validitas Hukum, demoralisasi para penegak hukum dan nilai Moral profesi penegak hukum. Semuanya dilihat dari perspektif etika hukum. <br /><br />II. Analisis Persoalan<br /><br /> Hukum dan Hak Asasi Manusia. Apa itu hukum? Hans Kelsen mendasarkan pengertian hukum dalam arti formalnya yakni sebagai “peraturan yang berlaku secara yuridis.” Peraturan yang dibuat untuk mengatur segala tingkah laku manusia. oleh karenanya, segala perbuatan manusia yang melanggar nilai-nilai yang telah digariskan dalam peraturan, dalam hal ini Undang-undang, maka undang-undang itu sendiri yang menghukum manusia berdasarkan perbuatannya.<br /><br /> Negara Indonesia memiliki sejumlah perangkat aturan yang telah diamandemenkan dalam undang-undang. Undang-undang itu baik adanya, karena dengan adanya undang-undang, Negara mempunyai pegangan yang jelas dalam menilai, menindak dan menghukum setiap perbuatan manusia yang bertentangan atau melanggar segala yang ditetapkan dalam undang-undang. <br /><br />Namun, perjalanan bangsa Indonesia sama sekali tidak menunjukkan sebagai sebuah Negara yang sunggguh-sungguh menegakan hukum dan menjalankan hukum. Hal ini menjadi nyata dalam penanganan kasus Trisakti. Penyelesaian masalah ini berbenturan dengan sejumlah aturan undang-undang hak asasi manusia. Ketua Satusan Tugas HAM Kejaksaan Agung B.R. Pangaribuan menyatakan jaksa kesulitan memproses kasus ini karena pasal-pasal pada Undang-Undang HAM bertolak belakang satu sama lain. <br /><br />Fenomena perjalanan proses hukum dan keadilan di Indonesia memang sungguh memprihatinkan. Keprihatinan ini dapat kita lihat dari pernyataan berikut bahwa:<br /> <br />“Proses penyelesaian kasus ini masih jauh dari rasa keadilan, mengingat hasil rapat Komisi III DPR RI periode 1999-2004 lalu hanya menelurkan keputusan bahwa kasus Trisakti bukan sebuah pelanggaran HAM berat, dan tidak perlu diselesaikan di pengadilan HAM Ad Hoc . Namun, menurut komnas HAM sebelumnya bahwa insiden Trisakti jelas-jelas menunjukkan tindakan pelanggaran HAM. Akan tetapi, "Kasus ini kan sengaja dibikin macet, dengan tidak disebut sebagai pelanggaran HAM berat dan tidak bisa dibawa ke sidang paripurna," kata Dadan Umar. <br /><br />Pernyataan di atas sungguh-sungguh mencerminkan sebuah perjalanan hukum yang mandek. Debat prosedural dan politis yang tidak berkesudahan merupakan penyebab utama mandeknya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Kejaksaan Agung. Potret perjalanan hukum di Indonesia belum sungguh-sungguh dinikmati oleh masyarakat. Berbagai aturan yang telah dibuat malahan membuat proses penyelesaian kasus HAM semakin rumit. Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim berpendapat, kondisi penegakan HAM ini menggambarkan bahwa perlindungan pemerintah pada hak-hak warga negara masih sangat kecil. Buruknya kinerja pemerintah dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM, lebih disebabkan tidak adanya kemauan politik dari pemerintah. <br /><br /> Hukum. Selain pengertian hukum yang ditelah diungkapkan di atas, di sini saya juga mengambil konsep hukum secara tradisional. Secara tradisional hukum adalah Undang-undang. Implikasi konsep hukum secara tradisional ini berarti apa saja yang bertentangan dengan hukum harus berhadapan dengan undang-undang. Undang-undang yang mengatur dan menjadi pedoman hidup manusia. Karena yang membuat undang-undang adalah manusia dan menjalankan undang-undang adalah manusia pula, maka tak dapat dipungkiri bahwa dalam praktiknya hukum sering dipermainkan. Tragedi Trisakti di atas melukiskan hal demikian. <br /><br />Kasus Trisakti jelas tergolong kasus pelanggaran HAM. Tragedi Trisakti 12 Mei 1998, merupakan salah satu ikon sejarah masa lalu bangsa Indonesia yang tak dapat dilupakan. Prihal korbannya empat mahasiswa Trisakti menggambarkan sebuah catatan sejarah yang telah menorehkan nilan dan arti HAM yang dijunjung tinggi oleh bangsa dan Negara Indonesia. Oleh karena itu, pantas kalau masalah ini dibawa ke meja hijau untuk ditindaklanjuti.<br /><br />Dari sumber yang saya peroleh, dikatakan bahwa kasus Trisakti ini belum mencapai titik akhir penyelesaian. Hal ini terungkap dengan jelas di mana DPR menolak membahas kasus pelanggaran hak asasi manusia Trisakti. Penolakan ini telah diputuskan dalam Rapat Badan Musyawarah dan dengan terus terang menolak pembahasan kasus tersebut. Sikap penolakan ini mengindikasikan suatu kemandekan perjalanan hukum di Indonesia. Selain itu, hak asasi manusia di mana manusia mempunyai hak untuk bersuara dan menuntut keadilan seakan tidak didengarkan. Dalam rangka itu maka, saya akan menilisik mengenai HAM.<br /><br /> Hak Asasi Manusia. Setiap orang mempunyai haknya sendiri. Sifatnya pribadi. Hak pribadinya antara lain; hak untuk kelangsungan hidup, hak unuk berekspresi, hak untuk mendapat hidup layak, hak untuk dihormati, hak untuk dilindungi dan seabagainya. Dengan kata lain Hak asasi manusia adalah hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai manusia sebab berkaitan dengan realitas hidup manusia. Oleh karena hak manusia bersifat pribadi, maka tak heran dalam perwujudan hak pribadi ini kerap kali dibarengi dengan kebebasan. Hak pribadi dan kebebasan akhirnya berjalan bersama. <br /><br />Ketika manusia ingin mewujudkan nilai dirinya, maka pada saat yang sama manusia itu sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah pribadi yang otonom dan bebas. Akan tetapi, karena manusia salah menggunakan kebebasan, maka nilai hak dan perwujudan dirinya mengalami kemerosatan. Dan ketika hak yang bersifat pribadi berhadapan dengan hukum, maka hukum dan kekuasaan dapat menggalahkan hak pribadi. Siapakah yang membuat hukum dan berkuasa? Mereka tidak lain orang yang mempunyai kekuasaan. <br />Hak selalu berkaitan dengan realitas hidup manusia, maka hak pribadi itu sesungguhnya bersentuhan langsung dengan pribadi-priadi yang juga memiliki hak yang sama. Hak pribadi manusia akhirnya berhadapan dengan segala macam persoalan. Dalam kenyataannya kadang hak hidup pribadi dipertaruhkan dengan penguasa yang menegak hukum. Akan tetapi, seakan hak pribadi bisu ketika berhadap dengan hukum. Gambaran tragedi Triksakti di atas melukiskan dengan jelas hal ini. <br /> <br />Usaha untuk menghormati hak asasi manusia karena manusia mempunyai nilai dasar hidup yang jauh melampaui isi dan seperangkat aturan yang terkandung dalam tubuh hukum itu sendiri. Mengapa hak hidup merupakan nilai yang paling mendasar? Karena hak asasi manusia menyentuh poin “martabat manusia”. Dengan menyebut manusia menurut martabatnya artinya manusia merupakan makhluk yang istimewa yang tidak dapat dibandingkannya, apalagi dengan hukum. Akan tetapi, hukum berfungsi untuk mengontrol tingkah laku manusia. Hukum tidak melawan pemerintah, melainkan untuk mengatur hidup bersama. Apa yang dilawan ialah kesewenang-wenangan individual dalam mengartikulasi hukum itu. <br /><br />III. Kritik Atas Penegakan Hukum Tragedi Trisakti dari Perspektif Etika Hukum.<br /><br />a. Birokrasi Hukum yang Mandek<br /><br />Birokrasi hukum dalam menangani berbagai kasus yang terjadi di Indonesia terlalu berbelit-belit. Salah satu contoh yang amat jelas adalah penanganan masalah Trisakti. Ketua Satusan Tugas HAM Kejaksaan Agung B.R. Pangaribuan menyatakan jaksa kesulitan memproses kasus ini karena pasal-pasal pada Undang-Undang HAM bertolak belakang satu sama lain. "Kalau sudah disidik, mau dibawa ke mana berkas itu? Pengadilannya saja tidak ada," katanya. Lebih lanjut dia mengatakan, agar kasus ini bisa diadili DPR harus mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc kepada presiden. <br /><br /> Mandeknya perjalanan pelakasanaan hukum, membuat masyarakat resah akan keberadaan Negara Indonesia. Satu persoalan belum selesai, muncul lagi persoalan lain. Akhirnya Negara ini hanya numpuk dengan utang persoalan yang belum diselesaikan. Sistem birokrasi hukum yang rumit, tak mengherankan lahirlah praktik mafia peradilan dalam tubuh para penegak hukum. Adanya praktik mafia peradilan maka, berbagai persoalan yang melilit bangsa dan Negara Indonesia menjadi komoditi yang diperjualbelikan antara para penegak hukum dengan pihak yang mengadu. Itu berarti proses hukum merupakan lahan bagi para penegak hukum untuk meraih keuntungan. Dampaknya sangat dirasakan oleh kaum kecil dan sederhana yang secara ekonomis tidak mampu membiayai untuk membawa sebuah persoalan ke pengadilan.<br /> <br />b. Kriteria Validitas (keberlakuan) Hukum<br /><br />1. Kriteria keberlakuan hukum jikalau hukum yang diberlakukan bersifat kontraris terhadap konsep kebaikan, maka hukum tersebut dipandang kontraris pula terhadap realisasi diri manusia sebagai manusia. Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa hukum pertama-tama harus membawa kebaikan bagi masyarakat. Jika terjadi praktik mafia hukum dan sikap diskriminatif terhadap hukum dengan sendirinya itu tidak dapat dikatakan sebagai hukum. Karena kriteria hukum itu adalah demi kebaikan semua orang (masyarakat) dan kebaikan itu tidak lain berujung pada kebahagian maka, pandangan kaum utilitaris mendapat tempat dalam ranah penegakan hukum. <br /><br /> Dua tokoh yang menjadi rujukan mengenai utilitarianisme adalah John Stuart Mill dan Bentham. Menurut John Stuart Mill, utilitarianisme mengajarkan bahwa kebahagiaan itu diinginkan dan satu-satunya hal yang diinginkan sebagai tujuan hanyalah kebahagiaan; semua hal lainnya diinginkan sebagai sarana menuju tujuan itu. Dalam kaitan dengan demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa Trisakti, sungguh sebuah upaya untuk meningkatkan kebahagiaan dan agar keluar dari krisis ekonomi. Kebahagiaan itu adalah kebahagiaan dan kebaikan untuk semua. Kebahagiaan yang mereka perjuangkan adalah sebuah cerminan atau gambaran bahwa ternyata kebahagiaan itu diinginkan, diperjuangkan dan kebahagiaan itu adalah tujuan universal manusia. Jadi, perbuatan mereka dengan sendirinya tidak bertentangan dengan hukum, karena hukum ada demi kebaikan manusia. <br /><br /> Lalu bagaimana dengan sikap pihak aparat keamanan yang menembak sehingga menewaskan empat mahasiswa Trisakti? Bagaimana penilaian secara hukum? Apakah pernyataan pada nomor satu di atas masih berlaku bagi pelaku penembakan keempat mahasiswa Trisakti? Jelas bahwa tujuan baik tidak bisa ditempuh melalui cara yang buruk. Untuk menjawab persoalan di atas, Benthem dan Mill mengkategorikan teori klasik utilitarianisme dalam tiga pernyataan : Pertama, tindakan dinilai benar atau salah hanya demi akibatnya. Kedua, dalam mengukur akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting hanyalah kebahagiaan atau ketidakbahagiaan yang dihasilkan. Ketiga, kesejahteraan setiap orang dianggap sama pentingnya. Bagaimana menjelaskan ketiga hal di atas? <br /><br /> Argumentasi yang pertama bahwa tindakan dinilai benar atau salah hanya demi akibatnya. Penembakan terhadap keempat mahasiswa Trisakti jelas salah. Akibat yang ditimbulkan mengakibatkan korban jiwa. Akibat sebuah perbuatan itu, buruk dari dirinya sendiri. Jikalau tolak ukur dari perbuatan adalah akibatnya, maka akibat perbuatan itu jelas tidak membawa kebahagiaan seperti pernyataan pada poin kedua. Yang jelas korban nyawa yang disebabkan oleh penembakan para aparat keamanan dari sendirinya mendatangkan ketidakbahagiaan. Jadi, tujuan baik tidak dapat membenarkan cara yang kurang baik. <br /><br /> Argumen yang ketiga bahwa kesejahteraan setiap orang dianggap sama pentingnya. Di sini menimbulkan permasalah. Aspek yang menimbulkan permasalah dari konsep di atas adalah pengandaian bahwa setiap tindakan individu harus dinilai dan dievaluasi dengan merujuk pada prinsip utilitas. Contohnya jikalau seseorag tergoda untuk berbohong, maka menurut teori ini, untuk menilai baik buruknya perbuatan kebohongann ini diukur dari akibat yang ditimbulkan oleh tindakan berbohong. Jikalau kita kembali pada persoalan di atas, maka akan timbul sebuah dilematis dalam menegakan hukum. <br /><br />Aksi penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan yang mengorbankan empat mahasiswa Trisakti, jelas salah secara hukum. Akan tetapi, kematian empat mahasiswa di atas, bukanlah tujuan dari perbuatan, melainkan akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan atau perbuatan. Di sinilah letak kedilematisan, terutama dalam menegakan hukum terhadap pelaku yang melanggar HAM. Lalu bagaimana penegakan hukum terhadap persoalan Trisakti di atas. Apakah kita menilai berdasarkan perbuatannya atau akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu sendiri? Perangkat aturan mana yang paling baik menurut sudut pandang Utilitarianisme?<br /> <br />Menurut penganut utilitarianisme ada dua cara di mana praktik penghukuman terhadap para pelanggar HAM menguntungkan masyarakat;<br />a. Hukumun bagi para pelanggar HAM itu mendorong mencegah kejahatan. Jikalau para pelenggat HAM masih terus dibiarkan dan tidak dihukum, maka akan menciptakan ruang di mana orang akan melakukan hal yang sama. Dengan demikian, pelanggaran HAM seakan dilegitimasikan. Peligitimasian terhadap para pelanggara HAM, mencederai sistem peradilan yang ada. Proses hukum akhirnya, tidak dapat mengambil keputusan yang tegas terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran HAM. Dan hal ini, sudah tampak jelas di mana para penegak keadilan dan hukum mengulur-ulur penyelesaian sekian kasus pelanggaran HAM berat di Negara ini, secara khusus masalah Trisakti.<br />b. Suatau sistem penghukuman yang direncanakan dengan baik kiranya bisa mempunyai efek untuk merehabilitas si pelaku. Gagasan yang dikemukan oleh penganut utilitarianisme, menurut saya sangat baik. Namun, sayang dalam praktik hukum yang terjadi di Indonesia, hal ini masih banyak diboncengi dengan politik. Bahkan pihak penegak hukum menurut Sugandi dalam Koran suara karya mendeligitimasi penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM dengan mengusulkannya melalui mekanisme pidana biasa. Di sisi lain, DPR juga mempolitisir kasus-kasus ini dan menjadikannya sebagai komoditas politik. <br /><br />Di sisi lain, presiden tidak mengambil langkah aktif untuk membuka kedok keserakahan masa lalu bangsa. Semunya ini mengimplikasikan bahwa perjalan proses hukum atas masalah HAM di Indonesia mengalami stagnan. Proses penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM khususnya masalah Trisakti seakan menjadi bola mainan politik para penegak hukum dan keadilan. Masalah ini dilemparkan ke sana kemarin dan akhirnya tidak ada titik cerah penyelesaian, sehingga membingungkan masyarakat dan akhirnya meragukan kinerja para penegak hukum.<br /><br />2. Kriteria kedua yakni jikalau hukum yang berlaku bersifat kontraris terhadap kebaikan umum, maka hukum tersebut pada dasarnya telah kehilangan nilai normatif dan daya ikatnya. Dengan kata lain, hukum harus menjunjung tinggi nilai normatif. Yang dimaksud dengan nilai normatif adalah nilai yang mengatur, yang menjadi patokan dan kaidah yang sifatnya pasti dan tidak berubah. Dalam konteks penegakan hukum, para penegak hukum harus memegang prinsip atau kriteria yang kedua ini sebagai sebuah aturan, patokan atau ukuran yang harus dipergunakan dan dipegang teguh oleh para penegak hukum dalam penghayatan profesi mereka sebagai penegak hukum dan keadilan. Nilai-nilai ini, kemudian menjadi alat untuk menilai kinerja para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dan menjadi kriteria moral dalam menegakan hukum.<br /><br />c. Demoralisasi Para Penegak Hukum<br />Kasus penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti dan mandeknya penanganan kasus ini dalam proses penegakan hukum, apa yang bisa kita cermati dari kejadian di atas? <br />Pertama, dengan kejadian ini, kita melihat institusi penegak hukum terus saja memiliki tingkah laku yang memperburuk krisis kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Masyarakat semakin pesimistis dengan institusi penegak hukum yang ada di indonesia. Sikap pesimistis masyarakat ini merupakan dampak lebih lanjut dari demoralisasi para penegak hukum. Para penegak hukum yang seharusnya mematuhi hukum justru terjebak pada perbuatan tercela dengan mempermainkan dan memperjualbelikan hukum. <br />Kedua, krisis moral (demoralisasi) secara fenomenal di lingkungan penegak hukum ini telah menghambat upaya penegakan hukum yang sedang dibangun, serta melumpuhkan semua proses penegakan hukum. Moral yang dimaksudkan di sini adalah soal baik-buruknya tindakan yang dilakukan oleh para penegak hukum. Jadi, krisis moral mencakup pengertian kelakuan, tingkah laku, atau tabiat aparat hukum dalam menjalankan tugasnya. Tugas tersebut terkait dengan kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis, dan pemberian sanksi<br />Ketiga, lemahnya kontrol moral antar komunitas hakim secara individual. Banyak hakim yang lebih bersikap mencari penyelamatan diri sendiri, tetapi tidak mencerminkan perilaku transformatif di lingkungan kerja. Selain itu juga, masih lemahnya kontrol pejabat struktural dan fungsional. Itu mengindikasikan telah terjadi krisis keteladanan di jajaran pengadilan secara keseluruhan.<br />Demoralisasi para penegak hukum juga bersentuhan dengan kesadaran individu. Sejauhmana induvidu itu menyadari akan eksistensi, tugasnya dan keputusan yang hendak diambil. Demoralisasi merupakan cerminan dan gambaran dari kurang adanya kesadaraan para penegak hukum. Kesadaran ini tentu berkaitan dengan profesi mereka sebagai penegak hukum dan keadilan. Berbicara mengenai kesadaran individu itu berarti berbicara mengenai inti dirinya dan segala yang ia lakukan. Jadi, demoralisasi para penegak hukum ternyata bukan hanya membawa dampak negative bagi masyarakat, melainkan juga dalam lingkungan para penegak hukum itu sendiri.<br />d. Nilai Moral Profesi Penegak hukum <br /><br /> Nilai moral profesi penegak hukum dapat dilihat dari sejauh mana ia (penegak hukum) bertanggung jawab atas tugas yang diembankannya. Tanggung jawabnya tentu berkaitan dengan profesi yang dimilikinya. Profesi menuntut penegak hukum untuk bertanggung jawab atas profesinya. Dengan kata lain, setiap penegak hukum dalam kedudukan dan fungsinya masing-masing dituntut untuk bertindak dengan tekat dan semangat yang sesuai dengan cita-cita dan tuntutan profesinya. Oleh karena itu, tanggung jawab itu sendiri mencerminkan moral atas profesi penegak hukum. Sebuah tuntuntan para penegak hukum agar mereka mesti memiliki moral yang kuat.<br /> <br /> Kata kunci dalam memahami nilai moral profesi yang dimaksudkan di sini adalah orang harus memiliki tekad, sadar akan kewajibannya dan mempunyai idealisme. Pertanyaan yang patut dilontarkan di sini adalah apakah para penegak hukum dalam kasus Trisakti mempunyai nilai moral profesi? Sekilas kita dapat membaca dari kinerja kerja para penegak hukum sungguh memprihatinkan. Yang saya maksudkan dengan penegak hukum bukan hanya jaksa agung, tetapi juga presiden dan DPR. Para penegak hukum seolah tidak memiliki tekad dan idealisme dalam menegakan hukum sehingga kasus ini sampe berlarut-larut. Alasan yang dapat kita temukan mengapa persoalan ini belum diselesaikan adalah terganjal rekomendasi dari DPR kepada jaksa agung. Bahkan dari hasil sidang DPR dikatakan bahwa kasus ini bukanlah kasus pelanggaran HAM berat.<br /><br /> Reformasi gagal. Dalam masa kepemimpian Presiden Susilo Bambang Yudoyono, kasus ini masih terkatung-katung. Alasanya, karena presiden masih memfokuskan perhatiannya pada pemberantasan korupsi dan berbagai kasus lainnya dan seakan kasus pelanggaran HAM khususnya terkait kasus Trisakti dianaktirikan. Pemerintah belum serius menangani kasus ini. Dapat dikatakan bahwa inilah bukti kegagalan reformasi. Dengan demikian, kita bisa mengatakan baik presiden, DPR maupun kejaksaan Agung belum menunjukan nilai moral profesi. <br /><br /> Meskipun dalam penanganan kasus lainnya, misalah masalah pemberantasan korupsi para penegak hukum telah menunjukkan tekad untuk sungguh-sungguh menegakan hukum, tetapi itu tidak mengatakan bahwa perjalanan hukum dan penegakan hukum di Indonesia telah bekerja dengan maksimal. Upaya penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM, seringkali masih diboncengi dan diiming-imingi oleh uang. Yang ber-uang bisa membeli segala tuntutan dari penegak hukum. Indikasi lain, para penegak hukum bukan melihat kasus yang dipersoalkan, melainkan melihat orangnya, siapa dia, apa statusnya dan sebagainya. Jadi, perjalanan penegakan hukum oleh para penegak hukum masih diwarnai dengan sikap diskriminasi. Pada poin ini, secara tidak langsung para penegak hukum mencederai sistem dan tata penegakan hukum. Dengan mencederai sitem dan tata penegakan hukum, maka dengan sendirinya para penegak hukum mengkianati dan mencoreng nama baik bangsa dan negara Indonesia.<br /><br /><br /><br />IV. Temuan<br /><br />Setelah kita menganalisis kasus dan melakukan kritik atas penegak hukum kasus Trisakti, maka pada bagian ini kita akan menelisik beberapa hal: <br />“Heuristika ketakutan” bagi masyarakat. Heuristika ketakutan ini ingin menggambarkan katakutan masyarakat akan masa depan. Tentu saja kepentingan yang hendak mau dikatakan dari sini adalah ketakutan masyarakat akan masa depan bangsa dan negara dalam kaitan dengan para penegak hukum. Etika masa depan, itu berarti kita harus memikirkan akibat dari apa yang sedang dialami dan terjadi dewasa ini dalam diri tubuh para penegak hukum. Gambaran perjalanan dalam penanganan kasus Trisakti, mengajak kita untuk melihat ke depan. Apa yang terjadi di masa yang akan datang tidak lain dari gambaran atau fakta yang terjadi dewasa ini.<br /><br />Ketakutan yang dimaksudkan di sini tidak bernada negatif, tetapi bernada positif dalam arti bahwa masyarakat diajak untuk berpikir jernih dan melihat fenomena penegakan hukum dewasa ini sebagai bahan pembelajaran untuk masa yang akan datang. Apa yang perlu dipikirkan? Tidak lain adalah sosok seorang penegak hukum yang memiliki tekad, kesadaran diri yang penuh akan profesinya dan idealisme untuk membawa bangsa dan negara ini ke arah yang lebih baik. <br />Upaya penegakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM mesti sungguh-sungguh diperketat. Hanya dengan itulah, kita bisa membaca dan melihat kinerja para penegak hukum. Mengapa para pelanggar HAM perlu diberikan hukuman? Salah satu teori yang hendak mau dikemukakan di sini adalah teori retribusi. Teori ini tidak terlepas dari konsep “The rule of law” . Salah satu aspek rule of law di dalam transitional justice adalah retribusi. Di sini, retribusi dapatlah diartikan sebagai penghukuman terhadap para pelaku kejahatan masa lalu, bukan karena pelanggarannya terhadap hukum, tetapi semata-mata karena tindak kejahatan yang telah dilakukannya. <br /><br />Saya yakin pihak aparat keamanan melakukan semua ini dengan sadar dan didasarkan atas rasional berpikir yang jelas. Itu berarti ketika ia melakukan ini maka pada saat yang sama ia “meminta” sebuah penghukuman atas dirinya. Ia meminta hukum untuk menghukum dirinya. Oleh karena itu, siapapun dia entah pejabat tinggi atau bawahan mesti dihukum. Mereka dengan jelas melakukan tindakan yang melanggar HAM. Mengapa mereka harus dihukum? Karena jikalau tidak dihukum ada kemungkiann di mana orang akan melakukan hal yang sama dan akhirnya membentuk sebuah lingkaran atau rangkai setan yang dapat mencorengkan jati diri bangsa sebagai bangsa yang demokrasi dan bisa jadi akan menolak pemenuhan permintaan dari mereka yang mengalami korban jiwa. Jadi, kritik atas penegak hukum tidak terlepas juga dari sejauhmana penegak hukum menerapkan prinsip-prinsip hukum yang dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat.<br /> <br />Daftar Pustaka<br />Buku-buku<br /><br />Bertens, K., Perspektif etika; esai-esai tentang masalah aktua., Yogyakarta: Kanisius, 2005.<br /><br />Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. Yogtakarta: Kanisius, 1990.<br /><br />Leenhouwers, P., (K. J. Veeger, penterj.) Manusia Dalam Lingkungannya. Jakarta: Gramedia, 1988.<br /><br />Rachels, James. Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2008.<br /><br />Sumaryono, E., Etika dan Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas. Yogyakarta: Kanisius, 2006.<br /><br />___________ Etika Profesi Hukum; Norma-norma bagi penegak Hukum. Yogkarta: Kanisius, 2009.<br /><br /><br />Internet<br /><br />http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/3/Dilema_Antara_Keadilan_dan_Perdamaian_Refleksi_Filsafat_Politik_atas_Transitional_Justice, diakses Selasa, 27-4-2010.<br /><br />http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=Ag5VAAEECAwD, akses Jumat 30-4-2010. <br /><br />http://www1.surya.co.id/v2/?p=9208, Akses Jumaat 30-4-2010.<br /><br />http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=216510, akses Jumaat, 30-4-2010<br /><br />http://komisiyudisial.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=693%3APENYELESAIAN+KASUS+HAM%3A+Tergantung+Niat+Jaksa+Agung&catid=1%3ABerita+Terakhir&Itemid=295&lang=en, akses, Jumat 30-4-2010.<br /><br />http://www.jpnn.com/?mib=berita.detail&id=17804, akses Jumat, 30-4-2010.<br /><br /> Sumber lain<br /><br />Toto Suparto, “Heuristika Ketakutan” bagi pemilih, dalam Kompas, Selasa 7 April 2009.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-90189381440792176622010-05-06T02:58:00.001-07:002010-05-06T03:02:17.392-07:00elaborasi etikafabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-59460165047867443942009-09-15T08:43:00.000-07:002009-09-15T08:44:11.743-07:00ibdat panggilan montfortanMULUT YANG DIPENUHI SABDA INJIL<br />(Ratio no. 14)<br /><br /><br />SUSUNAN <br />1. Lagu BB1 <br />2. Tanda salib<br />Hadirlah di tengah kami ya Tuhan,,,,,,maka ,,,,,,,<br />Semoga rahmat dan damai cinta kasih Yesus Kristus selalu beserta kita....amin. <br />3. Pengantar<br />Konfrater yang terkasih dalam Kristus,,,,<br />Selamat sore dan selamat bertemu kembali pada ibadat panggilan tahunan kita. Tema ibadat penggilan kita sore ini; MULUT DIPENUHI SABDA INJIL. Apa yang mau dikatakan dari tema ini untuk kita sekarang? Dalam bacaan yang diambil dari surat Paulus kepada Jemaat di Rm; 10:8-15, kita akan menemukan jawaban atas apa yang Montfort maksudkan tentang tema ini. Di sana dikatakan bahwa “jikalau kamu mengakui dengan mulutmu bahwa Yesus adalah Tuhan dan percaya dengan hati bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamat,.....dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.” Jadi, mulut yang dipenuhi sabda injil adalah mulut yang pertama-tama harus “mengakui” atau ada “pengakuan iman”, dan “percaya dengan hati” sehingga kita dengan penuh keberanian dapat mewartakan injil Yesus Kristus kepada sesama. <br />Konfrater yang terkasih,,,,marilah kita mohon dalam ibadat panggilan ini, agar kita dimampukan untuk mewartakan kerajaan Allah di mana saja kita hidup dan berada serta mohon agar Tuhan memanggil sebanyak mungkin orang untuk membaktikan diri pada-Mu melalui panggilan menjadi biarawan/wati, kususnya menjadi imam dan bruder Montfortan. <br /><br />4. Doa pembuka<br />Marilah berdoa....<br />Allah yang Maha kasih, Putera-Mu Yesus Kristus Kau utus ke dunia ini sebagai wujud nyata dari cinta-Mu kepada kami. Ia hidup bersama kami dan selama hidup-Nya telah mewartakan injil serta menyebarkan kerajaan Allah. Melalui para murid dan orang yang Engkau panggil untuk mengambil bagian dalam tugas yang sama, Engkau ingin agar sabda-Mu dan kerajaan-Mu yang telah Engkau bangun tetap mekar dan bertumbuh. Berikanlah kami keberanian agar dapat keluar dari diri kami dan karuniakanlah kami perkataan yang benar agar kami dapat mewartakan injil rahasia kepada sesama kami. Doa ini kami sampaikan kepada-Mu melalui Yesus Kristus putera-Mu yang hidup dan berkuasa dalam persatuan dengan roh kudus, Allah kini dan sepanjang masa. Amin. <br /><br />5. Bacaan, Rm; 10:8-15<br /><br />Tetapi apakah katanya? Ini: "Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu." Itulah firman iman, yang kami beritakan. Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan. Karena Kitab Suci berkata: "Barangsiapa yang percaya kepada Dia, tidak akan dipermalukan." Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya. Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan. Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? Seperti ada tertulis: "Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!" <br />6. Lagu<br />7. Renungan<br />Konfrater yang terkasih dalam Kristus,,,,<br />Pada awalnya saya bingung, dan sok ketika menerima tema ibadat ini dari seksi rohani. Apa yang saya mau bicarakan mengenai tema ini MULUT DIPENUHI SABDA INJIL (Ratio no 14). <br /><br />Para konfrater yang terkasih,,,<br />Sebagai murid Kristus, kita semua dipanggil dalam tugas perutusan Kristus dan mengambil bagian secara penuh dalam menyebarluaskan/mewartakan kerajaan Allah di dunia ini. Mewartakan adalah kata yang mungkin dapat menghantar kita pada permenungan mengenai tema ibadat sore ini. Orang yang mewartakan adalah orang yang hampir pasti mulutnya sudah dipenuhi sabda injil. Maka, orang yang dipenuhi sabda injil dituntut suatau tindakan konkret untuk mewartakan injil. Untuk sampai pada hal ini, maka dari bacaan yang telah kita dengar tadi, kita mencoba melihat ada dua hal penting seorang pewarta; pertama, mengaku dengan mulut, kedua, percaya dengan hati. <br />Pertama, mengaku dengan mulut. Unsur pengakuan, penting dan mendasar bagi siapa saja yang mengambil bagian dalam tugas perutusan Kristus. Pertanyaannya, mengapa harus ada pengakuan? Kita tidak mungkin menjelaskan kepada orang lain mengenai seseorang, sementara kita sendiri tidak mengetahui apa-apa tentang orang yang kita sharingkan. Tentu saja kata mengakui tidak ada hubungan dengan pengakuan dosa, tetapi berkaitan dengan iman. Iman bahwa yesus adalah Tuhan. Kedua, percaya dengan hati. <br />Oleh karena itu, kita hanya mungkin dapat berseru kalau kita percaya dan kita hanya mungkin dapat percaya kalau kita mendengarkan tentang Dia, orang akan mendengarkan tentang Dia jikalau kita memberitakan, dan kita hanya mungkin dapat memberitakan-Nya jikalau kita diutus, sehingga orang dapat mengatakan : “"Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!" <br />Para konfrater yang terkasih,,,,,<br />Bagaimana St. Montfort sendiri berbicara mengenai frasa ini. Ada dua hal yang digarisbawahi oleh Montfort; pertama, anak-anak Maria akan dipanggil menjadi api yang menyala dan kedua, anak-anak Maria dipanggil menjadi rasul-rasul yang sejati akhir zaman. Aktor utama yang memungkinkan anak-anak Maria menjadi api yang menyala dan rasul-rasul yang sejati akhir zaman adalah Roh Kudus. Roh Kuduslah yang memampukan mereka (anak maria.,,,,), yang oleh Montfort berkata: “ dengan sabda injil bagaikan obor yang terang benderang di mulut, bertumbuh hari demi hari dalam kemampuan untuk mewartakan injil dari kelimpahan hati.” Roh Kudus jugalah yang menaruh dalam hati kita kerinduan untuk mewartakan injil melalui perkataan dan teladan hidup.<br /><br />Konfrater....<br />Menjadi anak-anak Maria dan rasul-rasul sejati akir zaman menuntut suatu sikap keterbukaan hati pada dorongan roh kudus. Visi-misi komunitas kita amat memabantu kita untuk melihat sejauhmana kita sungguh-sungguh memberikan diri dan terbuka pada kehadiran roh kudus dalam tugas, rutinitas, pekerjaan kita. Nah, kalau kita menggunakan bahasa Montfort mengenai tema ini “ mulut dipenuhi sabda injil”, frasa ini menunjuk pada “ pribadi-pribadi yang seperti dan harus menjadi api yang selalu menyala, orang yang selalu siap menjadi pelayan. Pelayan yang bagaimana yang diinginkan oleh Montfort? Tidak lain adalah pelayan yang menyalakan api kasih ilahi di mana saja dan kapan saja. Untuk sampai pada hal ini, St. Montfort mengatakan; “Allah sendiri yang memberikan kefasihan lidah serta kekuatan untuk mewartakan kabar gembira.” Karena itu, kita sama seperti Montfort mengemban misi Allah yang sama dan bersama Montfort kita mendengungkan kembali kata-katanya ini : pergilah ke mana saja sesuai dengan panggilan roh kudus, dengan tujuan yang murni demi kemuliaan Allah dan keselamtan jiwa-jiwa (bdk. BS 58). Oleh karena itu, baiklah kita hari demi hari mengucapkan dan menjadi jiwa hidup kita apa yang diakatakan oleh St. Paulus: hidupku sama sekali tidak berharga kecuali aku memakainya untuk mengerjakan pekerjaan yang ditugaskan Tuhan Yesus kepadaku, yaitu pekerjaan untuk memberitakan kabar baik kepada orang lain tentang kebaikan dan kasih Allah yang ajaib (bdk. Kis 20:24).<br />Bagaimana kita mewujudnyatakan hal ini? Dalam inspirasi Montfortan, Montfort memberikan arah yang jelas bagi kita, dalam menyalurkan karunia Bapa kepada orang lain dengan cara; mendekatkan diri sebagai sesama pada orang-orang yang kepadanya kita mewartakan injil, turut merasakan hidup, penderitaan dan harapan sesamanya itu, menerima seperti Kristus dan di dalam Kristus. Mungkin dalam hal inilah kita dapat menterjemahkan frasa ini. Sehingga orang dapat mengatakan : "Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!" <br />8. Doa Montfortan (DM 12, 17, 22 )<br /><br />DM 12<br /> LIBEROS: Pelayan pelayan sejati Perawan murni!<br />Seperti halnya Santo Dominikus, dengan sabda Injil yang terang benderang di mulut, serta rosario di tangan, mereka memberi peringatan tanda bahaya bagaikan anjing anjing jaga, mereka menyala bagaikan api dan menyinari kegelapan dunia bagaikan sang surya.<br />Melalui ibadat sejati kepada Maria, di mana mana mereka menginjak kepala ular neraka. Yang dimaksud, ialah suatu ibadat batin yang tidak munafik; suatu ibadat lahiriah yang tidak sembrono; suatu ibadat cerah yang tak terpengaruh oleh sikap tak acuh; suatu ibadat yang tekun dan tenang, yang tidak terombang ambing oleh arus perasaan; dan akhirnya suatu ibadat yang suci kepada Maria, yang tidak didasarkan pada perhitungan perhitungan yang terlampau berani.<br />Dengan begitu kutuk Mu terhadap setan akan terpenuhi secara sempurna: "Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; dia akan meremukkan kepalamu" (Kej 3:15).<br /><br />DM 17<br />Bilamanakah akan datang banjir api cinta kasih murni itu yang akan Kau nyalakan di seluruh bumi: Yang begitu lembut namun juga tak tertahankan, sehingga segala bangsa akan dinyalakan olehnya dan bertobat: Orang Turki, pemuja berhala, malahan juga orang Yahudi? <br />"Tidak ada orang yang terlindung dari panas sinarnya" (Mzm 19:7). Biarlah api itu menyala! (bdk. Lk 12:49). Biarlah api Ilahi yang dibawa Yesus ke bumi itu menyala nyala sebelum Engkau menyulutkan api kemurkaan Mu yang menghanguskan seluruh dunia. <br />"Apabila Engkau mengirim Roh Mu, mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi" (Mzm 104:30).<br />Utuslah Roh api murni itu ke bumi, untuk membangkitkan imam imam dengan semangat yang berapi api. Maka melalui tugas pelayanan mereka Engkau dapat membaharui muka bumi dan mengusahakan pembaharuan Gereja Mu.<br /><br />DM 22<br />Pengikut pengikut para rasul ini akan menyampaikan pewartaan dengan sangat giat dan rajin, dan dengan daya menghimbau yang sedemikian rupa, sehingga di mana pun ia berkotbah, mereka dapat mengharukan hati dan semangat para pendengarnya. Engkau memberikan kata kata Mu, malahan mulut Mu dan kebijaksanaan Mu sendiri, yang tidak dapat dibantah oleh lawan mana pun (Lk 21:15).<br /><br />9. Hening (instrumen)<br />10. Doa umat<br />11. Doa mohon panggilan<br /><br />Ya Yesus, gembala ilahi. Engkau sendiri telah memanggil para rasul dan menjadikan mereka nelayan pemukat manusia. Panggillah sekarang juga pemuda-pemudi kami untuk mengikuti Dikau dan mengabdi kepadaMu. Berilah agar sekalian orang yang telah Engkau panggil, mengenal kehendakMu ini, dan menjadikannya kehendak mereka sendiri. Berdoa jugalah untuk kami, supaya Allah membuka pintu untuk pemberitaan kami, sehingga kami dapat berbicara tentang rahasia Kristus, yang karenanya aku dipenjarakan. (Kol 4:3). <br />Bukalah pandangan mereka terhadap seluruh dunia, bukalah telinga mereka terhadap begitu banyak permintaan mendesak mohon terang kebenaran dan kehangatan cinta sejati. Hendaklah mereka dalam kesetiaannya dalam panggilannya, bekerja sama membangun tubuhMu yang mistik itu dan dengan demikian meneruskan pengutusanmu. Jadikanlah mereka garam dan terang dunia. Berilah ya Tuhan, agar banyak pula pemuda-pemudi kami mengikuti panggilan cintaMu. Bangkitkanlah di dalam hati mereka keinginan, untuk hidup semata-mata menurut semangat injil dan menyerahkan diri bagi pengabdian kepada gereja. Berikanlah mereka kerelaan hati yang besar terhadap semua orang yang memerlukan pertolongan dan pengalaman cintakasih mereka. <br />Bersama St. Paulus kami ingin melantunkan kembali kata-katanya: “Dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus, juga untuk aku, supaya kepadaku, jika aku membuka mulutku, dikaruniakan perkataan yang benar, agar dengan keberanian aku memberitakan rahasia Injil, yang kulayani sebagai utusan yang dipenjarakan. Berdoalah supaya dengan keberanian aku menyatakannya, sebagaimana seharusnya aku berbicara.” (Ef 6:18-20) "Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu." Itulah firman iman, yang kami beritakan. (Roma 10:8). Demi Kristus tuhan kami. Amin.<br /> <br />11. Kidung Maria<br />12. Bapa kami<br />13.Doa penutup + berkat<br /><br />Marilah berdoa.........<br />Bapa yang Mahamurah, Kami selalu bersyukur atas rahmat panggilan yang telah dan sedang mekar dalam diri kami. Namun, kami tidak cukup hanya bersyukur, tetapi kami selalu memohon berkat dan bimbingan-Mu agar kami dari hari ke hari selalu membaktikan diri kepada-Mu, seperti Maria kami selalu memelihara dalam hati kami rasa hormat dan sikap menyembah kepada Dia yang berkuasa melakukan “hal-hal yang besar”, sebab kuduslah nama-Nya!(bdk. Luk. 1,49). Doa ini kami sampaikan dengan perantaraan Kristus Tuhan dan pengantar kami, kini dan sepanjang masa. Amin <br />14. Lagu Montfortan/ANGGELUS.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-42043424616551927912009-09-15T08:19:00.000-07:002009-09-15T08:22:13.809-07:00fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-22735505554586115902009-06-13T22:17:00.000-07:002009-06-13T22:18:10.889-07:00ibdat kreatifMinggu, 31 Agust’ 08<br /><br /><br />Tema bulan kitab suci: Menjadi Saksi Kristus Dalam Komunitas Basis<br />SABDA ALLAH YANG MEMURNIKAN HATI<br /><br />1. Perarakan kitab suci<br />2. Lagu (Koor)<br />3. Tanda salib. <br />Rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah Bapa dan persekutuan Roh kudus, selalu beserta kita.<br />4. Pengantar<br /> Konfrater sekalian yang terkasih dalam Yesus Kristus. Setelah sekian lama kita bergumul dengan pekerjaan dan segudang pengalaman pada masa liburan yang barusan kita lewati, sore ini kita kembali berkumpul untuk menghaturkan syukur kepada Tuhan atas rahmat-Nya, dalam ibadat kreatif dengan tema: SABDA ALLAH YANG MEMURNIKAN HATI. Menarik sekali untuk direnungkan tema ibadat kali ini, karena bertepatan dengan pembukaan Bulan Kitab Suci. Sabda Allah itu sendiri adalah sabda keselamatan. Oleh karena itu, Ia menuntun kita keluar dari kegelapan lewat sabda-Nya: "Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup." Lebih dari itu, tema ini merupakan suatu undangan bagi kita untuk sejenak kembali ke sumber hidup kita yakni Yesus Kristus, sabda Allah yang menjelma menjadi manusia. Undangan ini akan dipertegaskan dalam injil Yohanes yang akan kita dengarkan, di mana Yesus bersabda: "Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Kita semua yang bukan hanya letih secara fisik, tetapi juga secara rohani mesti datang menimba air sumber hidup yakni Yesus Kristus lewat sabda-Nya dalam kitab suci.<br /> Konfrater sekalian yang terkasih..........<br />Sadar akan kelemahan dan kekurangan, marilah kita diawal ibadat ini mengakui dan memohon pengampuan dari Allah sembari memohon kekuatan dan rahmat dari pada-Nya.....<br /><br />5. Pernyataan tobat<br /> Tuhan kasihanilah kami....<br /> Kristus kasihanilah kami....<br /> Tuhan kasihanilah kami.....<br />6. Doa pembuka<br />Marilah berdoa:<br />Allah yang mahakuasa, sabda-Mu adalah pelita yang menerangi langkah kami. Kami bersyukur kepada-Mu, karena Yesus Kristus putra-Mu menjadi manusia. Dialah sabda Allah yang selalu berbicara dan menuntun hati kami, agar selalu dekat dengan-Nya. Kami mohon agar Engkau tetap mencurahkan rahmat dan kemampuan kepada kami, sehingga kami mampu membaca dan menghayati setiap sabda-Mu dalam hidup ini, serta berani untuk membagikan dan mensharingkannya kepada satu sama lain. Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami, yang hidup dan berkuasa dalam persatuan dengan Roh Kudus, Allah kini dan sepanjang masa. Amin. <br /> <br />7. Bacaan injil (Yoh. 7: 37-39; 8: 12-19)<br />T: Dan pada hari terakhir, yaitu pada puncak perayaan itu, Yesus berdiri dan berseru:.....<br />Y: "Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup." Maka Yesus berkata pula kepada orang banyak, kata-Nya: "Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup." <br /><br />T: Kata orang-orang Farisi kepada-Nya:<br />F: "Engkau bersaksi tentang diri-Mu, kesaksian-Mu tidak benar." <br />T: Jawab Yesus kepada mereka, kata-Nya:...<br />Y: "Biarpun Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri, namun kesaksian-Ku itu benar, sebab Aku tahu, dari mana Aku datang dan ke mana Aku pergi. Tetapi kamu tidak tahu, dari mana Aku datang dan ke mana Aku pergi. Kamu menghakimi menurut ukuran manusia, Aku tidak menghakimi seorang pun, dan jikalau Aku menghakimi, maka penghakiman-Ku itu benar, sebab Aku tidak seorang diri, tetapi Aku bersama dengan Dia yang mengutus Aku. Dan dalam kitab Tauratmu ada tertulis, bahwa kesaksian dua orang adalah sah; Akulah yang bersaksi tentang diri-Ku sendiri, dan juga Bapa, yang mengutus Aku, bersaksi tentang Aku."<br />T: Maka kata mereka kepada-Nya: .........<br />F: "Di manakah Bapa-Mu?" <br />T: Jawab Yesus: ...............<br />Y: "Baik Aku, maupun Bapa-Ku tidak kamu kenal. Jikalau sekiranya kamu mengenal Aku, kamu mengenal juga Bapa-Ku." Demikianlah sabda Tuhan.<br />8. Puisi + instrument (Wawan)<br />9. Renungan<br />10. Lagu (koor)<br />11. Doa permohonan<br />P: Marilah kita berdoa kepada Allah Bapa kita, dasar dan tujuan terakhir iman kepercayaan kita: <br />- Bagi umat katolik di seluruh dunia<br /> Allah yang mahakuasa, Engkau telah mengumpulkan umat-Mu menjadi satu kawanan dengan satu gembala yakni Yesus Kristus. Kami mohon, semoga umat katolik di seluruh dunia dapat memanfaatkan bulan kitab suci sebagai bulan penuh rahmat untuk semakin mendekatkan diri dengan Engkau lewat sabda-Mu dalam kitab suci. Berikanlah mereka rahmat agar mampu mengkomunikasikan hati dan diri mereka dengan Engkau di tengah-tengah kesibukan. Kami mohon..........<br />- Bagi orang yang belum sungguh mengimani Yesus.<br /> Allah yang maha kasih, Engkau sendiri yang memilih para murid untuk mewartakan dan menjadi saksi sabda-Mu di tengah-tengah sesama manusia dan menginginkan agar sebanyak mungkin mengikuti Engkau. Semoga setiap pewartaan, dan kesaksian hidup umat-Mu, menggugah dan meneguhkan iman mereka yang masih ragu-ragu mengimani Engkau sebagai putera Allah yang menjelma menjadi manusia. Kiranya bulan kitab suci yang penuh rahmat ini, membangkitkan semangat mereka untuk setiap kali selalu mencari Engkau lewat sabda-Mu dalam kitab suci. Kami mohon............<br />- Bagi biarawan/i,<br /> Bapa yang maha cinta, Engkau telah memanggil para biarawan/i untuk mengikuti dan menjadi pelayan sabda-Mu secara khas dalam hidup membiara. Semoga seluruh hidup dan karya pelayanan mereka, selalu didasarkan dan dijiwai oleh sabda-Mu, sehingga kaum biarawan/i mampu mengkomunikasikan kehadiran-Mu dalam kehidupan bersama dan kiranya mereka dapat memanfaatkan bulan kitab suci agar semakin masuk dalam suatu perjumpaan yang mendalam secara personal dengan Engkau. Kami mohon..........<br />- Bagi kita semua yang sedang dalam perjalanan.. <br /> Allah yang maha rahim, kami yakin dan percaya bahwa Engkau mengetahui pergumulan hidup yang sedang kami hadapi. Dalam segala kesibukan dan segudang pengetahuan yang kami peroleh, kiranya kami masih memberikan ruang dalam hidup ini untuk merenungkan sabda-Mu. Bantulah kami untuk setiap kali dan terus-menerus haus akan sabda-Mu, sehingga kami selalu datang kepada-Mu untuk menimba air kehidupan dan terang yang menuntun kami keluar dari kegelapan. Kami mohon..............<br />P: Allah Bapa sumber iman dan kepercayaan kami, sabda-Mu adalah benar dan hidup. Sabda-Mu lebih tajam dari pada pedang bermata dua. Kepada-Mu kami tunduk dan taat. Demi Kristus, Tuhan dan pengantara kami. Amin. <br /><br />Atas petunjuk penyelamat kita dan menurut ajaran Ilahi, maka beranilah kita bernyanyi....................<br />12. Bapa kami<br />13. Doa penutup<br /> Marilah berdoa...<br />Allah Bapa di dalam surga, kami menyadari bahwa kami masih haus akan sabda-Mu dan dunia hati masih membutuhkan terang-Mu. Temanilah kami dalam seluruh pencarian ini, agar hati kami tetap selalu memberikan ruang akan kehadiran-Mu, sehingga dari dalam hati ini pun terpancarlah keutamaan-keutamaan-Mu dan kami sanggup mewujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami yang hidup dalam persatuan dengan Roh Kudus Allah kini dan sepanjang masa. Amin. <br />14. Berkat<br />15. Lagu (Koor)<br />16. Angelusfabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-17496011112258495702009-06-13T22:15:00.001-07:002009-06-13T22:15:48.498-07:00sosiologi paperKOMUNIKASI ANTARBUDAYA <br />DALAM KOMUNITAS SMM-MALANG<br /><br /><br /> Abstraksi<br /><br />Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu. Komunikasi antarbudaya, dalam konteks kehidupan anggota dalam komunitas SMM, merujuk pada bentuk sosialisasi nilai, norma budaya dari individu ke individu yang lain secara horizontal. <br /><br />1. Pendahuluan<br /><br />Salah satu fenomena sosial yang penting adalah kebudayaan. Dikatakan penting karena kebudayaan senantiasa dimengerti dalam konteks kehidupan manusia dan dalam relasinya dengan orang lain. Masyarakatlah yang membentuk kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan membentuk individu dalam masyarakat. Tanpa kebudayaan tentu tidak adanya kelompok masyarakat, karena tidak ada sarana yang mampu mengatur pola interaksi anggota masyarakat itu sendiri. Atau dengan kata lain, kebudayaan tidak bisa diandaikan tanpa adanya masyarakat yang membentuk kebudayaan tersebut dans ebaliknya. Bisa dibayangkan bagaimana suatu kelompok masyarakat yang tidak memiliki sarana pengatur yang memungkinkan adanya relasi dan interaksi antaranggota masyarakat. Tentu saja tidak akan terjalin suatu komunikasi yang baik di dalamnya. Oleh karena itu, kebudayaan dapat dikatakan sebagai jiwa yang menghidupkan suatu masyarakat<br />Kebudayaan memiliki peran yang amat penting demi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat. Kebudayaan memiliki peran karena dalam kebudayaan itu terkandung nilai, norma dan lain-lain. Inilah yang menjadi sebab kebudayaan mesti dihidupkan terus-menerus. Maksudnya adalah bahwa unsur-unsur kebudayaan, baik material maupun non material perlu diwariskan dan diteruskan agar dapat menyesuaikan dengan konteks zaman suatu masyarakat. Selain itu juga, proses pengkomunikasian ini penting sebagai jembatan yang dapat menghubungkan segala perbedaan, baik yang timbul dari individu maupun dari budaya itu sendiri. <br />Edward T. Hall dalam bukunya yang berjudul The Silent Language (1959) mengatakan bahwa kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan. Pernyataan ini mau menegaskan bahwa kebudayaan tidak mungkin terbangun tanpa adanya komunikasi. Kebudayaan selalu mengandaikan adanya komunikasi. Komunikasi merupakan bagian dari kebudayaan karena kebudayaan selalu dikaitkan dengan konteks relasi antarsesama baik dalam suatu masyarakat sosial, keluarga maupun kelompok atau komunitas. <br />Dalam tulisan ini, penulis hendak mengulas komunikasi antarbudaya dalam komunitas Serikat Maria Montfortan-Malang. Bagaimana komunikasi antarbudaya terjadi, dan sejauh mana komunikasi tesebut sungguh-sungguh menjadi sarana yang memungkinkan nilai-nilai budaya diterima sehingga pada akhirnya mampu menciptakan suatu relasi sosial antaranggota dalam komunitas SMM.<br /><br />2. Pembatasan Masalah<br />Kami membatasi pembahasan mengenai tema ini dalam tiga bagian, yakni pengertian komunikasi, pemahaman komunikasi antarbudaya dan peran komunikasi antarbudaya dalam komunitas SMM.<br /><br />3. Metode Pembahasan<br /> Dalam menyusun makalah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan. Berdasarkan gagasan-gagasan yang bisa diperoleh dari berbagai sumber, terutama gagasan dari para ahli, penulis merefleksikan tema komunikasi antarbudaya secara khusus dalam konteks kehidupan para anggota komunitas dalam komunitas SMM. Selain itu juga, tulisan ini didasarkan pula pada pengalaman konkret yang dialami penulis sebagai anggota komunitas. Berdasarkan pergulatan pengalaman konkret yang dialami tersebutlah penulis mendasarkan tulisan dalam makalah ini.<br /><br />4. Komunikasi Antarbudaya Dalam Komunitas SMM <br /><br />4.1 Pengertian Komunikasi<br /><br />Komunikasi merupakan dasar semua interaksi sosial. Sebagai dasar interakasi sosial, maka dalam kehidupan bersama atau kelompok, komunikasi tak dapat dilepaspisahkan. Di bawah ini ada beberapa pengertian komunikasi antara lain; <br />Pertama; Menurut Saundra Hybels dan Richard L. Weafer II, komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan. Proses ini meliputi informasi yang disampaikan baik secara lisan, tulisan, bahasa tubuh, gaya penamapilan dan lain-lain. <br />Kedua; menurut Billie J. Walhstrom, komunikasi adalah pernyataan diri yang efektif, pertukaran pesan-pesan yang tertulis, pesan-pesan dalam percakapan, pengalihan informasi dari seseorang kepada orang lain, pertukaran makna antarpribadi dengan system simbolik. <br /><br />4.2 Pemahaman Komunikasi Antarbudaya<br />Pertama; menurut Samovar dan Porter (1972) komunikasi antarbudaya:<br /><br />Terjadi manakalah bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai (intercultural communication obtains whenever the parties to a communications act to bring with them different experiential backgrounds that reflect a long-standing deposit of group experience, knowledge, and values).” <br /><br />Kedua; menurut Stewart (1974) <br /><br />Komunikasi antara budaya yang mana terjadi di bawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat istiadat dan kebiasaan (interculture communications which accurs under conditions of cultural difference-language, cunstoms, and habits). : <br /><br />Ketiga; menurutYoung Yung Kim, 1984<br />Komunikasi antarbudaya menunjuk pada suatu fenomena komunikasi di mana para pesertanya memiliki latar belakang budaya yang berbeda terlibat dalam suatu kontak antara satu dengan lainnya, baik secara langsung atau tidak langsung. <br />Keempat; menurut Sitaram, 1970. Komunikasi antar budaya adalah seni untuk memahami dan dipahami oleh khalayak yang memiliki kebudayaan lain. <br />Batasan-batasan di atas, mau menegaskan bahwa perbedaan kebudayaan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dan menentukan berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya. Dalam pembahasan ini, kami tidak bermaksud mengabaikan perbedaan dan persamaan karakteristik kebudayaan dari setiap orang. Namun, kami membatasi dan menitikberatkan pada proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.<br /><br />4.3. Peran Komunikasi Antarbudaya Dalam Komunitas SMM<br /><br />Kehidupan bersama dalam komunitas Seminari Montfort ditandai oleh aneka perbedaan. Dalam konteks ini, perbedaan yang dimaksud lebih pada perbedaan kebudayaan yang membentuk kepribadian individu setiap anggota. Latar belakang yan berbeda yang membentuk kehidupan setiap indivudu tersebut tidak jarang dapat menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan konflik. Di sini peran komunikasi menjadi penting untuk menyampaikan nilai-nili budaya tersebut kepada setiap individu yang tentu memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Dalam makalah ini, ada beberapa unsur kebudayaan yang penting yang coba ditelisik karena selalu menjadi pergumulan setiap hari . <br /><br />a) Bahasa<br />Bahasa mempunyai peran yang sangat penting karena bahasa menyajikan pengalaman, menyalurkan kepercayaan, nilai dan norma. Selain itu juga, dikatakan penting karena orang tak mungkin dapat berkomunikasi dengan baik kalau ia tidak mempunyai bahasa. <br /> Dalam komunitas SMM, setiap anggota komunitas mempunyai latar balakang bahasa yang berbeda. Ada yang menggunakan Bahasa Jawa, Kalimantan dan Flores. Bagaimana komunaksi antaranggota dapat dibangun tatkala di satu pihak anggota komunitas di hadapkan dengan keberagaman bahasa tersebut yang tentunya membentuk pola pikir yang beragam tersebut? Pentingnya komunikasi budaya terungkap dalam konteks ini. Maksudnya adalah bagaimana kebudayaan tersebut diperkenalkan dan selanjutnya dibagikan satu terhadap yag lain, sehingga nilai-nilai kebudayaan tersebut membentuk suatu nilai baru dalam kehidupan berkomunitas. <br />Bertolak dari pengalaman konkret, perbedaan bahasa yang melatarbelakangi kehidupan setiap individu akhirnya dapat saling diterima sebagai konsekuensi dari komuniksi sosial yang dibangun di dalamnya. Anggota komunitas tidak lagi menggunakan bahasa daerahnya masing-masing sebagai sarana komunikasi, tetapi menggunakan bahasa yang diterima bersama yakni Bahasa Indonesia. Komunikasi inilah yang telah memungkinkan adanya suatu relasi timbak balik yang baik antaranggota dalam komunitas.<br /><br /><br />b) Sikap, perilaku dan Pembawaan diri, <br />Setiap orang dan daerah mempunyai budaya yang berbeda-beda. Budaya itu turut membentuk sikap, perilaku dan pembawaan diri seseorang. Dengan kata lain, budaya amat mempengaruhi seluruh eksisitensi seseorang. Tatkala seseorang hidup dalam lingkungan tertentu, maka seluruh dirinya juga dipengaruhi oleh lingkungan tersebut. Maka tak jarang, orang kerap memandang budaya yang dimiliki dalam suatu tempat tertentu, yang telah mendarah daging dalam dirinya, sebagai sesuatu yang baik, unik, khas daripada budaya yang lain. Dampaknya ia tidak bisa keluar dari frame berpikir demikian dan akhirnya ia membentengi diri dalam pergaulan. Akibat lebih lanjutnya dapat dirasakan dalam pembawaan diri, sikap dan perilakunya.<br />Ketika seseorang keluar dari lingkungan hidup yang sebelumnya, ia akan terbentur dengan budaya lain. Dampaknya orang membentengi diri dalam pergaulan dengan sesama. Orang tidak lagi melihat segala perbedaan sebagai sesuatu yang indah dan kaya dalam kehidupan bersama, tetapi membuat pengkotak-kotakan dalam pergaulan. Komunitas merupakan tempat untuk meresosialisasikan kembali budaya bagi setiap anggotanya dan merupakan wadah yang dapat menyatukan segala perbedaan. Komunikasi mempunyai peran yang penting untuk mengambil jalan tengah terhadap segala perbedaan. Dengan adanya komunikasi antarbudaya, dapat mengurangi frekuensi pertentangan dan konflik satu dengan yang lain.<br />Komunikasi antarbudaya merupakan usaha untuk meminimalisir konflik yang terjadi dalam komunitas. Selain itu, komunikasi antar budaya itu membantu kita untuk saling menghargai budaya orang lain apa adanya, menerima budaya orang lain sebagai bagian yang turut membentuk prilaku saya sebagai anggota komunitas. Konflik yang terjadi hendaknya dipandang sebagi katalisator untuk memperbesar pemahaman dan pengertian kita terhadap budaya, dan pada akhirnya membawa pada sebuah kerjasama yang efektif.<br /><br />c) Nilai <br />Nilai adalah hal yang dianggap penting. Dianggap penting karena karena dilihat sebagai sesuatu yang luhur dan oleh karenanya ia dikejar. Setiap orang mempunyai nilai yang berbeda-beda. Maksudnya adalah setiap kebudayaan memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat menilai sesuatu dan memberi arti terhadap apa yang dianggap penting tersebut. Komunikasi antarbudaya yang efektif sangat ditentukan oleh pemahaman anggota akan nilai yang dikejar. Setiap anggota komunitas adalah pelaku dari komunikasi itu sendiri. Pemahaman ini berkaitan dengan makna dan terutama dalam meletakan nilai kebudayaan yang siap diterima. Nilai merupakan unsur yang sangat penting dalam membimbing setiap orang dalam menilai dan melihat apakah sesuatu itu boleh atau tidak dilakukan. Nilai memang merupakan sesuatu yang abstrak. Setiap orang menganut nilai-nilai tertentu yang mendorongnya untuk bersikap terhadap suatu peristiwa dalam hidupnya. Tentu nilai yang ditonjolkan di dalamnya itu adalah kekhasan budaya (nilai-nilai yang mendasar) setiap anggota. Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya yang ada menjadi titik berangkat bagi seluruh anggota komunitas untuk menciptakan kesamaan persepsi meskipun hidup dalam keberagaman yang ada. Keberagaman yang ada dipadukan di dalam satu pandangan dengan menonjolkan nilai kekeluargaan, persaudaraan, dan kebersamaan. Nilai pada taraf ini membawa setiap anggotanya untuk menampilkan diri dalam bingkai nilai yang khas.<br /> <br />d) Norma<br />Nilai dan norma berbeda. Nilai hanya bergumul pada poin baik<br />buruk sesuatu sedangkan norma merupakan standar perilaku. Jadi, dalam kehidupan komunitas norma yang dipertukarkan adalah nilai-nilai budaya yang kemudian menjadi unsur yang khas dari suatu komunitas. Di sinilah terjadi pertukaran sosial. Misalnya komunitas menetapkan norma/aturan agar setiap anggota komunitas tidak boleh merokok dalam komunitas. Namun, dalam kenyataannya bahwa ada anggota yang masih merokok. Jadi dapat disimpulkan bahwa kebiasan buruk itu merupakan pelanggaran terhadap norma. Contoh ini mau menegaskan bahwa tidak merokok dalam komunitas merupakan suatu norma yang ideal. Maka, dalam pandangan sosiologis hal itu merupakan gagasan kebudayaan yang seharusnya ada dalam setiap anggota komunitas. Itu berarti, jikalau ada yang melanggar maka akan menadapat sanksi.<br /><br /><br />5. Refleksi <br /><br />Penulis menyadari bahwa komunikasi sangat penting dalam kehidupan bersama yang memiliki latar belakang yang berbeda. Komunikasi memang bukanlah perkara yang mudah. Dalam membangun suatu komunikasi yang baik, efektif dan tepat sasar tidaklah cukup dengan berbekalkan pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang dalam tidak menjamin terciptanya komunikasi yang baik. Komunikasi sangat membutuhkan keterlibatan segala aspek. <br />Dalam perjalanan hidup berkomunitas, perbedaan pandangan, sikap, cara menaggapai reaksi terhadap orang lain, seringkali hal itu tidak dapat dikomunikasikan secara tepat, maka tak heran konflik pun terjadi. Harus diakui bahwa konfllik merupakan bagian dari seluruh proses komunikasi. Konflik tidak hanya membawa kehancuran terhadap hidup berkomunitas, tetapi juga dapat memberikan kontribusi bagi hidup bersama. Kami mengakui bahwa konflik terjadi justru ketika terjadi komunikasi antara yang satu dengan yang lain.<br />Komunikasi antarbudaya merupakan jalan yang dapat menyatukan segala perbedaan. Ini tidak bermakud bahwa dengan adanya komunikasi segala perbedaan harus disamakan. Komunikasi yang dimengerti ialah komunikasi yang sungguh mengakomodasikan segala perbedaan sehingga tidak terkesan memiliki jurang pemisah satu dengan yang lain. Oleh karena itu, keterbukaan setiap pribadi sangat menentukan penyatuan segala perbedaan.<br />Komunikasi memainkan peran yang sangat besar dalam hidup berkomunitas. Komunikasi dapat membuka cara pikir kami dalam menghadapi dan menanggapi sesuatu yang baru. Komunikasi memberikan pemahaman yang baru akan realitas yang melingkupi diri kami sebagai anggota komunitas. Dengan membangun komunikasi antarbudaya dapat menambah wawasan, pengertian yang menyeluruh tentang sesuatu yang baru. <br />Komunitas SMM merupakan komunitas majemuk. Komunitas majemuk karena di dalamnya terdiri dari orang-orang yang mempunyai latar belakang yang berbeda baik budaya, bahasa, nilai, maupun cara berpikir. Latar balakang yang berbeda-beda ini disatukan dalam semangat hidup, visi-misi dan tujuan hidup yang sama. Dengan demikian, komunikasi antarbudaya mempunyai keterarahan yang jelas.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br />Budiyanto, Antonius Sad. Dikta perkuliahan Sosiologi semester II. STFT Widya Sasana-Malang, 2006. <br />Josef Eilers, Frans. Berkomunikasi Antara Budaya. Ende: Nusa Indah, 1993.<br />Liliweri, Alo. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LkiS, 2003.<br />Lunandi, A.G. Komunikasi Mengena. Yokyakarta: Kanisius, 1987.<br /> Mulyana, Deddy, dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1989.<br /><br />DATA INTERNET<br /><br /> http://www.uny.ac.id/akademik/sharefile/files/1412200795304_MULTIKULTURALISME_DAN_KOMUNIKASI_ANTAR_BUDAYA.rtf, akses Jumat, 24-10-2008.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-31922298933683888862009-06-13T21:56:00.000-07:002009-06-13T21:57:20.514-07:00aborsi moral fundamentalABORSI <br /><br />Masalah aborsi merupakan masalah modern yang paling serius dan kompleks. Pengguguran/aborsi tidak dapat dibenarkan dari segi moral hidup, yang menuntut kita untuk menghormati hidup manusia sejak dalam kandungan ibunya. Pengguguran yang sengaja jelas ditolak.<br />Pergaulan bebas hampir pasti selalu membawa dampak <br />buruk. Nah kalau saya menganalisis, akibat pergaulan bebas inilah yang menimpa Bunga Lestari yang berujung pada persoalan yang mengenaskan. Saya mengakui bahwa cinta yang dibangun oleh Bunga Lestari, cinta yang didasarkan pada sebuah kesadaran. Ia pasti tahu artinya sebuah cinta dan apa arti kehadirannya bagi orang yang ia cintai atau kehadiran orang yang mencintai dirinya. Karena cinta membuat ia <br />tak sadar lagi akan dirinya. Dengan cinta pula membawa ia terjerumus dalam ranah persoalan yang tak bisa dipadang sebelah mata. Buah dari cintalah ternyata akhirnya ia hamil. Pada titik ini, kesadaran akan cintanya pada orang yang ia cintai menjadi nyata dan jelas. Hamil diluar nikah, bukanlah persoalan yang gampang. Kondisi inilah yang membuat masa depannya menjadi suram. Pada saat yang bersamaan, disposisi dilematis menggerogoti dirinya. Dilematis karena ia berhadapan dengan sebuah tawaran hidup baru, di mana ia mendapat tawaran menjadi beasiswa ke Amerika. Betapa tidak, tawaran ini sungguh membahagiakan dan menggembirakan. Satu sisi, ia tidak ingin agar kesempatan ini terlewatkan begitu saja. Namun, di lain sisi ia berhadapan dengan sebuah kenyataan bahwa ia hamil. Kehamilan inilah yang akhirnya menghambat ia untuk menempuh tawaran baru ini. Apa yang ia lakukan dalam posisi dilematis ini?<br /><br /> Sebuah langkah awal baginya dengan mensharingkannya kepada pacarnya. Akan tetapi, tragedi yang mengenaskan menimpa pacarnya sehinggga persoalanya semakin menumpuk. Langkah yang ditempuhnya tenyata gagal untuk memecahkan persoalan yang tengah ia hadapi. Bagi saya usahanya ini patut dipuji. Alasanya ia tidak ingin menyelesaikan sendiri persoalan yang melilitnya. Keterlibatan pacarnya tentu sangat dibutuhkannya. Meskipun niatnya tidak terwujud, lantas nyawa pacarnya lekas direnggut maut, tetapi bagi saya tindakan dan segala daya-upayanya adalah awal penyelesaian sebuah persoalan. Ia mengetahui dan sadar bahwa tindakan pengguguran atas bayi dalam kandungannya dilarang oleh gereja dan termasuk dosa berat. <br /> Langkah kedua yang ia tempuh adalah memberitahukan kepada orang tuanya dengan membawa segudang harapan agar persoalannya dapat diselesaikan. Di sini terjadi kerja sama. Lantas karena orang tuanya sebagai tokoh paroki dan merasa sayang kalau kesempatan beasiswa bagi Bunga Lestari berlalu begitu saja, orang tuanya mengajurkan agar melakukan tindakan pengguguran/aborsi. Kerjasama ini menghantar Bunga Lestari pada tindakan pengguguran/aborsi. Saya berpikir tindakan yang diambil oleh Bunga Lestari bertentangan dengan hati nuraninya. Ia menyangkal suara hati nurani. Ia melakukan tindakan pengguguran/aborsi hanya karena anjuran orang tuanya. <br /><br /> Tindakan pengguguran/aborsi ada berbagai faktor. Misalnya pengguguran/aborsi karena bayi dalam kandungan seorang perempuan menderita kanker. Atau karena kondisi seorang ibu yang sedang mengandung mengalami penderita yang sangat berat. Maka, jalan keluar yang ditempuh ialah mengorbankan bayi atau ibunya. Akan tetapi, dalam kasus ini motif pengguguran/aborsi yang hendak dilakukan oleh Bunga Lestari jelas berbeda dengan kedua kasus yang telah dikemukakan di atas. Saya mengangkat kedua kasus di atas hanya ingin mempertajam penilaian akan kasus yang dialami oleh Bunga Lestari. Tindakan pengguguran/aborsi yang dilakukan Bunga Lestari jelas ditentang oleh gereja Katolik. Gereja Katolik dalam arti ketat sangat mengahargai manusia sebagai keutuhan. Manusia sebagai keutuhan dalam arti segala apa saja yang menyertai dan terkandung dalam pribadi manusia. Maka tidak dapat dibenarkan untuk mengakhiri hidup manusia entah embrio yang berumur seminggu, maupun manusia dalam arti yang bisa diinderai.<br /><br />Bagaimana menilai tindakan yang dilakukan oleh Bunga Lestari dalam kasus ini? Kerjasama yang dibangun antara orang tua dan Bunga Lestari adalah kerjasama dalam hal buruk . Sikap yang diambil oleh Bunga Lestari dengan orang tuanya merupakan suatu bentuk kerjasama. Namun, kerjasama di sini jelas kerjasama dalam hal buruk. Kerjasama ini merupakan bagian dari bentuk kerjasama sebagaimana yang terungkap dalam moral Katolik. Sungguh tidak dapat dipikirkan dan dibayangkan orang tua seperti itu. Orang tua ternyata tidak selamanya bijaksana dalam memecahkan persoalan. Namun, bukan ini yang menjadi perhatiannya. Perhatian tetap pada tindakan yang diambil oelh Bunga Lestari. Kehadiran orang tuanya membawa persoalan baru dalam diri Bunga Lestari. Tujuan keterlibatan orang tuanya Bunga Lesatari yakni ingin memecahkan persoalan yang tengah ia hadapi. Harapannya jelas tidak tercapai. Ia berada pada sebuah keputusan yang sebenarnya bertentangan dengan suara hati nuraninya. Ia sadar bahwa tindakan oborsi/pengguguran itu berdosa dan melanggar moral Katolik. Orang tua Bunga Lestari jelas dengan tahu dan mau menganjurkan tindakan aborsi/pengguguran ini. <br /><br />Tahu berarti mengetahui pelaksanaan perbuatan itu, obyek dari perbuatan itu adalah tindakan aborsi. Tahu, juga terjadi dalam hati nurani dan bersifat pertimbangan dan penilaian. Namun dalam sikap orang tua Bunga Lestari unsur ini tidak ada, karena tidak ada pertimbangan dan penilaian yang benar atas tindakan yang diambilnya. Dalam poin kerjasama ini, ada unsur tau dan mau yang memfasilitasi tindakan pengguguran/aborsi yang dilakukan oleh Bunga Lestari.<br />Syarat mau secara bebas; pertama voluntarium; orang tua dan Bunga Lestari hendak melakukan tindakan aborsi. Inilah jenis perbuatan. Mereka tahu apa akibat yang keluar dari perbuatan ini. Mereka melakukan ini oleh karena orang tua dan Bunga Lestari sebagai pelaku tindakan aborsi mengenal tujuan. Tujuan yang hendak dicapai baik oleh orang tuanya maupun Bunga Lestari sendiri tercermin dibalik motif kerjasama ini. Motif dibalik kerjasama ini, saya melihat antara lain, pertama; orang tua Bunga Lestari ingin menghindari aib lantas karena orang tuanya sebagai tokoh paroki. Kedua; mereka tidak ingin agar kesempatan yang ditawarkan kepada Bunga Lestari untuk menjadi beasiswa dilewatkan begitu saja. Ketiga; kondisi kehamilan Bunga Lestari belum terlalu tampak. Keempat; membiarkan bay itu terus bertumbuh dalam kandungan Bunga Lestari akan menambah persoalan. Menurut saya alasan di atas sangat tidak masuk akal. Sebagai orang katolik tentu mereka mengatahui bahwa tindakan penggguuran bertentangan dengan moral Katolik.<br /><br />Menganjurkan/mengajak . Meskipun orang tua Bunga Lestari tidak secara lansung melakukan tindakan pengguguran/aborsi, tetapi dengan anjuran/ajakan, ini dinilai sebagai upaya memfasilitasi tindakan pengguguran tersebut. Unsur pemaksaan dari orang tua tidak secara eksplisit diungkapkan, tetapi unsur ini ada di balik motif/alasan yang dikemukankan oleh orang tua Bunga Lestari. Unsur kebebasan sebagaimana syarat kedua dari syarat mau secara bebas tidak tampak dalam pengambilan keputusan Bunga Lestari. Bunga Lestari tidak bebas dalam kaitan dengan orang tuanya. Ketidakbebasan karena orang tuanya semacam memksa agar jalan keluar yang ditempuh adalah pengguguran/oborsi. Ia juga tidak bebas terhadap diri sendiri. Ketidakbebasannya karena pengambilan keputusannya hanya bergantung sepenuhnya pada pendapat orang tua. Ia tidak berani mengambil keputusan sendiri. Ia dikendalikan oleh orang tuanya. Karena ketidak bebasan ini, maka Bunga Lestari tidak dapat lagi membedakan apakah perbuatan ini baik atau buruk. Ia tidak bisa berbuat banyak selain menjalankna anjuran atau ajakan dari orang tuanya.<br /><br />Memfasilitasi atau membantu . Bentuk kerjasama yang tampak dibalik tindakan ini adalah memfasilitasi atau membantu. Sebagaimana yang terungkap dari alasan yang dikemukakan oleh orang tua Bunga Lestari, yang mana ayahnya menghindari aib dalam kelurga lantas ia sebagai tokoh paroki, jelas bahwa orang tuanya memfasilitasi atau membantu Bunga Lestari untuk melakukan aborsi/pengguguran. Dalam moral Katolik ini merupakan usaha untuk memperlancar tindak kejahatan. Karena itu, orang tuanya juga harus bertanggung jawab dengan aborsi/pengguguran yang dilakukan oleh Bunga Lestari. Aborsi bukan hanya tanggung jawab Bunga Lestari, tetapi juga orang tuanya. Orang tuanya tidak boleh lepas tangan apalagi dengan berbagai dalih menyelematkan diri. Di sini jelas perbuatan aborsi/pengguguran ini mempunyai akibat ganda. Akibatnya bukan hanya berkaitan dengan Bunga Lestari melainkan juga nama baik keluarganya. <br /><br />Kerjasama materil. Pada kerjasama materil si pelaku yang ikut kerjasama mengetahui perbuatannya hanya saja tidak menghendakinya secara lansung. Dalam kasus ini Bunga Lestari mengetahui perbuatanya, tetapi sebetulnya ia sendiri tidak menggendaki aborsi/pengguguran itu terjadi. Bunga Lestari tidak secara lansung menghendaki tindakan pengguguran/aborsi. Ia memang ikut dalam perbuatan ini secara batiniah, tetapi dalam batin ia tidak menyetujuinya. Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataannya sendiri, sebelum ia mensharingkan kepada orang tuanya. Ia tahu bahwa menggugurkan kandungan adalah dilarang dan termasuk dosa berat. Kerjasama ini jelas dilarang. Mengapa dilarang? Karena perbuatan aborsi/pengguguran yang dilakukan oleh Bunga Lestari dapat dikatakan tidak ada alasan yang seimbang. <br />Perbuatan ini tidak mempunyai alasan seimbang karena tuntutan sebagaimana yang dikemukankan oleh orang tuanya tidak terlalu berat. Tuntutan itu dapat diringkas, karena gensi sebagai tokoh paroki, kesempatan menjadi beasiswa tidak ingin terlewatkan, usia kandungan masih terlalu pagi, dan membiarkan bay terus bertumbuh akan mendatangkan persoalan. Alasan-alasan ini saya berpikir tidak seimbang dengan akibat yang terjadi dibalik tindakan pengguguran/aborsi ini. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa semua bentuk kerjasama yang dilakukan antara orang tua Bunga Lestari dengan Bunga Lestari sendiri terhadap tindakan pengguguran/aborsi yang dilakukan oleh Bunga Lestari bertentangan dengan moral Katolik. Dibalik kerjasama ini ada unsur mau dan tahu yang memfasilitasi Bunga Lestari untuk melakukan pengguguran/aborsi dan segala alasan yang melatarbelakangi tindakan pengguguran/aborsi tidak mempunyai alasan yang seimbang.<br /><br />Seandainya Bunga Lestari datang meminta nasehat kepada saya, apa yang saya katakan kepadanya? Pertama-tama saya mengatakan kepadanya bahwa setiap kita mempunyai tanggung jawab untuk memelihara kehidupan. Kehidupan kita sendiri juga kehidupan orang lain. Kehidupan bayi dalam kandunganmu, kehidupan yang hendak dan harus engkau jaga. Engkau harus membela kehidupan yang belum dilahirkan. Engkau perlu sadari bahwa seksualitas dan proses produksi adalah cara yang dipilih oleh Tuhan untuk meneruskan kehidupan manusia. Melalui engkau Tuhan bekerjasama untuk meneruskan kehidupan.<br />Hal kedua yang perlu engkau sadari bahwa janin yang ada dalam kandunganmu adalah ciptaan Tuhan. Dia adalah gambar dan citra Allah sendiri. Maka pantas dan layaklah engkau harus melindungi kehidupannya. Hidup saya, anda dan bayi dalam kandunganmu dalah pemberian Tuhan. Betapa mulianya manusia karena manusia adalah gambar dan citra Allah. Kita tahu bahwa Kristus mati demi kehidupan. Kehidupan yang diberikan oleh Bapa-Nya. Apakah engkau tidak tega membatasi kehidupan yang sedang berkembang dalam kandunganmu? Tuhan dalam sepuluh perintah Allah mengatakan “jangan membunuh!” karena itu, jikalau engkau melakukan tindakan aborsi itu berarti engkau merusak/membunuh hidupnya.<br />Solusi yang ditawarkan terhadap persoalan ini antara lain; pertama, perlu engkau sadari bahwa gereja Katolik melarang keras aborsi. Saya sendiri sangat tidak setuju, jikalau jalan keluar terakhir yang engkau ambil adalah melakukan pengguguran/aborsi. Menurut saya pengguguran bukanlah jalan untuk menyelesaikan persoalan yang engkau hadapi ini. Saya menganjurkan agar engkau tidak boleh melakukan pengguguran. Jikalau engkau merasa kurang puas dan bahkan bertentangan dengan suara hati nuranimu atas keputusan orang tuanmu, janganlah engkau cepat-cepat mengambil keputusan. Meskipun mereka adalah orang tuamu, tidak selamanya keputusan mereka menjadi patokan terhadap keputusanmu. Kedua, kita harus menyadari bahwa kita manusia lemah. Sebagai manusia lemah kita harus memohom bantun Tuhan agar memberikan jalan keluar yang baik terhadap masalah yang tengah engkau hadapi. Saya tahu bahwa engkau berada pada situasi dilematis. Saya mengharapkan agar engkau tidak mudah teropsesi dengan tawaran untuk menjadi beasiswa di Amerika. Itu bukanlah hal yang utama. Tanpa itu pun engaku bisa hidup. Engkau juga tidak boleh terpengaruh dengan anjuran dan nasehat orang tuamu. <br /><br />Pendapat umum mengatakan bahwa hidup seorang manusia sudah dimulai sejak terbentuknya sel pertama hasil pertemuan sperma suami dan sel telur istri. Kalau demikian pengguguran merupakan tindakan membatasi hak hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan. Bagaimana pandangan gereja Katolik terhadap aborsi/pengguguran? Gereja katolik secara ketat menolak aborsi. Namun, saya juga berpikir bahwa konsep penolakan akan aborsi jelas berbeda dari setiap negara. Katakan saja, presiden Amerika Serikat Bara Obama melegalkan aborsi. Saya mengangkat contoh ini hanya mau mengatakan bahwa setiap negara mempunyai aturan tersendiri. Gereja Katolik Roma dengan tegas menolak aborsi. Gereja Katolik mangakui bahwa tindakan pengguguran/aborsi berarti membatasi hidup manusia. Benih yang berumur satu haripun dilarang untuk dimatikan, apalagi manusia. Ini harus engkau sadari sungguh-sungguh.<br />Gereja Katolik jelas mengutuk aborsi. Mengutuk tindakan aborsi entah itu terencana atau dilakukan secara langsung dengan mengakhiri hidup bayi. Perlu disadari bahwa kita umat Katolik percaya bahwa kehidupan manusia itu kudus. Kekudusan melingkupi manusia sejak terjadi pembuahan sampai manusia itu mengakhiri hidup di dunia. Akhir kata saya hanya bisa mengatakan kepada engkau dengan mengutip pendapat gereja. Gereja mengajarkan bahwa: <br /><br />“Kehidupan manusia adalah kudus karena sejak awal ia membutuhkan 'kekuasaan Allah Pencipta' dan untuk selama-lamanya tinggal dalam hubungan khusus dengan Penciptanya, tujuan satu-satunya. Hanya Allah sajalah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir: tidak ada seorang pun boleh berpretensi mempunyai hak, dalam keadaan mana pun, untuk mengakhiri secara langsung kehidupan manusia yang tidak bersalah” . Rayakanlah kehidupanmu bersama Bayi dalam kandunganmu sebab dengan itu, engkau melihat kehadiran dia, bukan kehadiran orang lain dalam dirimu, melihat adanya, dirinya dan kehadirannya sebagai anakmu dan bukan anak orang lain. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Go.Piet. Dikta Teologi Moral Fundamental. Malang: STFT Widya Sasana, 2003. <br />Go.Piet. Teologi Moral Dasar. Malang: Dioma, 2007.<br />Hadiwardoyo. AL. Purwa, Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius, 1990.<br />Higgins. Gregory C., Dilema Moral Zaman ini. Yogyakarta: Kanisius, 2006.<br />Internet <br />http://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/id397.htm, akses Rabu, 26-11-2008.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />ABORSI <br /><br />PAPER UAS TEOLOGI MORAL FUNDAMENTAL<br /><br />DOSEN: RM. YUSTINUS,CM<br /><br /> <br /><br /><br /><br />Oleh<br /><br />Fabianus Selatang, SMM<br />07.09042.000004<br /><br />SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI<br />WIDYA SASANA MALANG<br />2008fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1310529046064318047.post-27848658566389161482009-06-13T21:55:00.000-07:002009-06-13T21:56:01.550-07:00puisi berantaiPUISI PERJUANGAN<br /><br /><br />FANO : Saat itu rembulan menerangi malam. Kau datang padaku dan tersenyum manja. Kulihat parasmu tertimpa cahaya rembulan, begitu cantik bagaikan…………..<br /><br />NANDIK : Cemohan, cibiran dan kritikan tertuju padaku dengan persiapan yang amat sistematis, tetapi aku tak gentar !!! Dengan kitab suci di tangan kiri, rosario dalam mantol dan tongkap di tangan kanan, menyandang……..<br /><br />WAWAN : Keranjang telur kubawa berkeliling tiap hari. Telur merupakan penyambung hidupku. Semua model telur kujual. Telur ayam, telur bebek dan juga telur………<br /> #################################################<br /><br />FANO : Sayang kau tersenyum padaku, aku pun tersenyum tanda cintaku padamu. Malam itu, kau dekatkan mulutmu ke telingaku seraya berbisik………<br /><br />NANDIK : Kebakaran……….kebakaran…..tolong…..tolong…..!!! Semua rakyat harus berani memekikan kata itu. Sekali lagi, semua berteriak………..<br /><br />WAWAN : Telur……..telur………telur! Begitu aku menjual telur setiap hari. Panas dan hujan bukanlah rintangan. Satu persatu kuelus telurku sambil berkata lirih, AYAMKU…………..<br /> @@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@<br /><br />FANO : Aku cinta padamu sayang. Wahai hatiku berbunga. Kubelai rambutmu yang hitam berderai. Kulekatkan sabda-Nya ke hatimu……………..<br /><br />NANDIK : (keras) Jiwa-jiwa manusia harus kita rebut. Kita harus menang. Terlalu lama direnggut setan. Mulai detik ini, kita harus……..<br /><br />WAWAN : Bertelur banyak-banyak demi kelangsungan hidup kita. Oh ya….aku pernah melihat bagaimana telur dapat keluar. Kuperhatikan ayam itu dengan seksama dan……..<br /> $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$<br />FANO : Kukecup dengan mesra. Kau mendesah dalam pelukanku. Kau semakin bergairah. Lalu kau rapatkan tubuhmu ke tubuh…………<br /><br />NANDIK : Perhimpunan kecil anak-anak sejati Maria, diserang, dianiaya (Dm13), sekali-kali aku tak gentar. Dengan doa yang menggelora dan semangat membara kuangkat sejanta cinta kasih dam keadilan; kubidik dan kutarik pelatuknya dan……<br /><br />WAWAN : PLANG……..!!! Telurku keluar. Dan segera kumasukan dalam…….<br /> %%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%<br /><br />FANO : Mulutmu, oh sayang……..Ternyata kita sama-sama dalam keadaan……………..<br /><br />NANDIK : Bernafsu untuk saling membunuh, menfitnah dan mencaci maki. Serbu…..balaslah…berlari dan mengangkat tinggi-tinggi……..<br /><br />WAWAM : Keranjang telurku kini tak ada gunanya. Aku sedih karena telurku yang……….<br /> ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^<br /><br />FANO : Dimabuk cinta. Semoga kita sama-sama berbahagia di hari ini. Boleh kau tangisi penderitaan dan kepedihan hidupmu, tapi bukan tangisan kebohongan. Aku siap menyeka air matamu dengan……….<br /><br />NANDIK : Granat dan senapan keras. Sekeras tekadku untuk mengusir penjajah. Kembali kumuntahkan peluru-peluru yang……..<br /><br />WAWAN : Sudak busuk!! Tak tahu lagi apa yang harus dijual. Aduh……..telurku. Ayam-ayamku…………<br /> &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&<br /><br /><br />FANO : Sambutlah tanganku ini. Tenanglah ! diamlah ! wajahmu akan…..<br /><br />NANDIK : Kucabik-cabik semua kekuatan setan. Kuhancurkan hingga rata tanah dan aku akan………<br /><br />WAWAN : Makan cacing yang gemuk, agar ayamku dapat seperti…..<br /> ***********************************************<br /><br />FANO : Sayangku , kau akan……..<br /><br />NANDIK : Kutusuk sampai mati. Bila pasukan setan tak mau menyerah…..lihatlah aku masih punya banyak……..<br /><br />WAWAM : Telur……dan ayamku, maukah engkau………………..<br /> *************************************************<br /><br />FANO : Menikah denganku?????...........dan kita akan tinggal di pondok depositoku yang indah. Hanya kita berdua. Lalu kau akan melahirkan……….<br /><br />NANDIK : Imam-imam, yang bebas sesuai dengan kebesan-Mu, sama sekali tidak lekat hati, tanpa ayah, ibu, saudara, saudari, sanak keluarga, persahabatan duniawi, tanpa harta dan tanpa kehendak sendiri yang membuat engkau harus………..<br /><br />WAWAN : Bertelur lagi. Lalu akan kubawa lagi keranjang telur berkeliling dan kujual……….<br /> @@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@<br /><br />FANO : Anak-anak manis Maria dan St. Montfort. Mereka akan bermain di taman gembira dan kadang-kadang berkelahi….<br /><br />NANDIK : Sampai titik darah penghabisan, aku harus berjuang membela dan mempertahankan…………….<br /><br />WAWAN : ayam-ayamku bertelur……<br /> #################################################<br /><br />FANO : Di pangkuanku, sayang…….Alangkah bahagianya kita, jika………<br /><br />NANDIK : Maju, bertempuh bersama, bertaruh nyawa!!!...dan mungkin aku akan menjadi……….<br /><br />WAWAN : Induk ayam yang baik, mana telur-telurmu………<br /> $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$<br /><br />FANO : Dalam dadaku sayang, ada cintamu. Sayang kalau kau mau, kau menjadi………..<br /><br />NANDIK : Imam-imam yang gugur di medan misi, yang dikenang menjadi……..<br />WAWAN : Anak ayam yang sehat, setelah telurku menetas di dalam………<br /> %%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%<br /><br />FANO : Kamar itu, kurekuh tubuhmu yang montok. Kutelusuri lekak lekuknya dan………<br /><br />NANDIK :DOOOOOOOOORRR !!!!!! kulepaskan tembakan peringatan, memblokir musuh di markasnya sambil…………..<br /><br />WAWAN : Kutimbang telur yang masih direbus. Kukupas lalu kumakan. Ah……….betapa nikmatnya………….<br /> <br />FANO : Malam ini, bersamamu P. Santino, P. Richard dan teman semuanya. Kita bersama melangkah menjalin kasih dan persaudaraan dalam “SEMANGAT ST. MONTFORT”.<br /><br /><br /><br />Sekian dan terima kasih.fabianohttp://www.blogger.com/profile/06755334534859506430noreply@blogger.com0